Ajar

Kritik Poerbatjaraka atas Suntingan Kakawin Ramayana Karya H. Kern

Buku Rāmāyaóa Djawa-Kuna terbitan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia ini sejatinya merupakan sebuah catatan tulisan tangan R.Ng. Poerbatjaraka yang selesai ditulis pada hari Selasa, 8 Januari 1952 dan tersimpan dalam beberapa map di almari Jurusan Sastra Nusantara, FIB, UGM. Dalam catatan pengantar, Kuntara (2010:xv-xvi) memberikan keterangan secara rinci mengenai edisi terbitan

Sabtu, 27 Maret 2021

1,047 Kali

0 Kali

13 Menit

Buku Rāmāyaóa Djawa-Kuna terbitan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia ini sejatinya merupakan sebuah catatan tulisan tangan R.Ng. Poerbatjaraka yang selesai ditulis pada hari Selasa, 8 Januari 1952 dan tersimpan dalam beberapa map di almari Jurusan Sastra Nusantara, FIB, UGM. Dalam catatan pengantar, Kuntara (2010:xv-xvi) memberikan keterangan secara rinci mengenai edisi terbitan Poerbatjaraka (2010) sebagai berikut. Teks Rāmāyaóa ini ditulis berdasar pada terbitan H.Kern (1900) dengan edisi perbaikan bacaan dilengkapi pembetulan partikel penanda orang yang menurut Poerbatjaraka salah. Kekurangan satu bait pada sarga VIII.135 dalam terbitan Kern, kekurangan tersebut oleh Poerbatjaraka tidak diperhitungakan. Selain itu Poerbatjaraka juga memperbaiki kesalahan penomoran pada terbitan Kern yaitu sarga XXI.94-243.

Dalam terbitan ini, Poerbatjaraka menambahkan satu bait sesudah sarga VII.74 dari terbitan Kern dengan nomor 74a. bait ini diambilnya dari naskah KBG 208 dan 239 dan diperbaiki menurut teks lontar KBG 335, serta ditambah nama “saò Maya” dari Uttarakaóða Jawa Kuna. Perbaikan teks dilakukan Poerbatjaraka pada sarga XXI.7 dan memberi catatan “Baris jang penghabisan lebih sesuku ‘kitāku’ ”. Begitu pula pada sarga XXI.13 yang memiliki kasus sama dengan strophe 7, Poerbatjaraka pun memperbaiki teks dengan mengurangi ‘ku’.

Selanjutnya mengenai bentuk terjemahan, Poerbatjaraka memberikan penjelasan pada sarga III

Di bawah ini hendak ditjoba, supaja arti jang diberikan sebagai terdjemahan, terus didjadikan kalimah jang agak sehat, menurut lagu katanya (idioomnja).” (2010:105)

Bila ada suatu bait yang tidak dipahaminya, maka ia memberikan penjelasan seperti pada sarga XXIV.85. Dan apabila terjemahan dalam bahasa Indonesia kurang tepat atau kurang bisa mencari padanan katanya maka Poerbatjaraka memberikan alternatif terjemahan dalam bahasa Jawa dan bahasa Belanda, seperti dalam sarga XXIV.229. Selain itu, dalam menterjemahkan Poerbatjaraka juga menyertakan keterangan tentang bentuk kata, arti kata, kenyataan (realita) yang ditunjuk oleh kata-kata. Bahkan kebanyakan disertai pula asal-asul kata dan padananya dalam bahasa-bahasa Nusantara lainnya.

Dalam edisi teks dan terjemahan ini ada beberapa bait yang tidak diterjemahkan dan bahkan tidak dihadirkan sama sekali suntingan teksnya. Hal ini tampak pada Sarga XVIII.17-18 tidak diterjemahkan karena dianggapnya hanya memuat nama-nama monyet pahlawan. Pada sarga XV.23-28 yang dihilangkan sama sekali suntingan teksnya dengan alasan hanya memumat nama-nama ikan, sarga XVI.43-46 dan XVII.135-138 karena dianggap mengganggu jalan pikiran, sarga XVII.103-133 dianggap mengganggu jalan cerita, dan sarga XII.4-46; XXIII.56-59; XXIV.97, 101-123, 250-252; XXV.7-34, 37-49, 53-117; XXVI.4-6, 11-16, karena dianggap sisipan.

Yang lebih penting lagi dalam terbitan Poerbatjaraka (2010) ini meberikan catatan-catatan sanggahan dan kritikan terhadap Rāmāyaóa Old Javanese terbitan H.Kern (1900). Bangsa Jawa menurut Poerbatjaraka sesungguhnya telah lupa sama sekali dengan Kakawin Rāmāyaóa, kecuali namanya saja dengan sebutan Rama Kawi serta beberapa kuplet masih digunakan dalam suluk oleh para dalang dalam memainkan wayang, itupun sudah jauh dari kebenaran pengucapan. Memang bangsa Jawa gemar terhadap cerita Rama, sayangnya itu hanya dalam bentuk terjemahan atau jarwan berupa Serat Rama karya Kyai Yasadipura yang sejatinya sudah jauh dari sumbernya, yaitu Kakawin Rāmāyaóa (Poerbatjaraka, 2010:3).

Kritikan selanjut terhadap terbitan Kern adalah bentuk aksara yang digunakan yaitu aksara Jawa. Hal itu, menurut Poerbatjaraka membatasi bagi kalangan para pembaca, karena tidak semua orang mampu membaca aksara Jawa atau mampu membaca namun sudah tidak paham dengan bahasanya sehingga pemenggalan bacaanya menjadi kacau. Oleh karenanya Poerbtjaraka menerbitkan dalam edisi aksara Latin. Aksara Latin menurutnya sangat mudah dipahami oleh orang yang tak pandai membaca aksara Jawa namun ingin mempelajarinya.

Poerbatjaraka sependapat dengan Kern mengenai keindahan bahasa dan kekakayaan kosa kata dalam Kakawin Rāmāyaóa. Keindahan bahasa pada Kakawin Rāmāyaóa memang tiada tanding bahkan belum pernah ditemui dalam naskah-naskah lainnya. Kepiawaian sang kawya dalam mencipta keindahan bahasa tentu tak luput dari kemahiran dalam berbahasa Sanskåta sebagai bahasa induk cerita Rāmāyaóa. Hal ini juga menjadi bantahan Poerbatjaraka terhadap pernyataan Kern yang kemudian diikuti pula oleh Dr. Stutterheim dan Himansu Bhusan yang menyatakan bahwa penulis Kakawin Rāmāyaóa tak pandai dalam bahasa Sanskåta. Keyakinan Poerbatjaraka ini berdasar atas kutipan dari pasal X Bhagavad-gìta yang dikutip dan diterjemahkan dalam bahasa Jawa Kuna oleh kawya secara benar dan tepat. Pendapat ini dibenarkan sepenuhnya oleh Manomohan Gosh, bahwa ada banyak bagian dalam Kakawin Rāmāyaóa ini merupakan terjemahan dari beberapa kuplet dalam cerita Rāvaóavadha karya Bhaþþikavya yang juga mengisahkan tentang Rāma.

Dari pernyataan Manomohan Gosh tersebut di atas dapat ditarik pula mengenai babon naskah Kakawin Rāmāyaóa. Hasil penelitian yang dilakukan Poerbatjaraka mengarah pada pendapat Manomohan Gosh, bahwa Kakawin Rāmāyaóa menginduk pada cerita Rāvaóavadha karya Bhaþþikavya bukan pada Rāmāyaóa Vālmikì. Pernyataan ini dibuktikan pada beberapa kuplet di dalam Kakawin Rāmāyaóa yang artinya setelah dibandingan sama persis dengan yang ada dalam Rāvaóavadha. Rāvaóavadha karya Bhaþþikavya merupakan karya indah yang ditulis dengan bahasa sastra Sanskåta yang “berat”. Maka dengan demikian semakin memantapkan pendapat bahwa sang kawya Kakawin Rāmāyaóa sungguh pandai dalam hal tata bahasa Sanskåta serta Kakawin Rāmāyaóa bukan pula ciptaan imajinasi sendiri dari sang kawya yang tanpa induk.

Bujangga atau kawya Kakawin Rāmāyaóa secara eksplisit tidak tertulis dalam teks. Kata Yogìśwara yang terdapat di akhir cerita menurut Poerbatjaraka bukanlah menunjuk nama pengarang, namun hanyalah kata-kata biasa.

Saò Yogìśwara śiûþa saò sujana śuddha manahira huwus mace sira. (XXVI.50)

Terjemahan:

Sang yogi besar (menjadi lebih) bijaksana, (dan) orang baik (menjadi) bersih hatinya sesudah membaca dia (Kakawin Rāmāyaóa).

Dengan menilik arti kalimat tersebut, maka yogìśwara bukanlah nama, tetapi kata biasa. Selanjutnya mengenai kehidupan sang kawya dapat dirunut dari waktu pembuatan naskah. Naskah Kakawin Rāmāyaóa dibuat pada masa Rake Watukura Dyah Balitung bertahta sekitar tahun 822-830 Úaka atau sekitar 900-908 Masehi. Dengan demikian Kakawin Rāmāyaóa merupakan naskah tertua. Sang kawya merupakan penganut agama Úiwa yang nampak pada seluruh karanganya menunjukkan semangat yang berkobar adanya propaganda menentang agama Buddha tinggalan jaman Úailendra.

Hal menarik lainnya berkaitan dengan hubunganya teks Kakawin Rāmāyaóa dengan relief candi. Ada dua candi yang mengisahkan cerita Rāmāyaóa yaitu candi Prambanan dan candi Panataran. Candi Prambanan dibangun pada akhir abad ke-9 atau awal abad ke-10 Masehi yang diperkirakan bersamaan dengan ditulisnya Kakawin Rāmāyaóa. Dugaan awal Poerbatjaraka mengarah pada perbedaan alur cerita relief candi Prambanan dengan Kakawin Rāmāyaóa. Hal ini dengan asumsi bahwa penerbitan buku pada masa itu tak sama dengan era jaman percetakaan. Sehingga walau pun Kakawin Rāmāyaóa sudah ada pada jaman dibangunnya candi Prambanan, namun belumlah masyhur. Oleh karena itu alur cerita Rāmāyaóa yang terpahat di relief candi Prambanan lebih dekat dengan alur pada Hikayat Sri Rama dalam tradisi Melayu. Sedangkan relief pada dinding candi Pantaran yang dibangun pada abad ke-13 Masehi terang sekali berdasar pada cerita Kakawin Rāmāyaóa. Rentang waktu 400 tahun dari ditulisnya Kakawin Rāmāyaóa dengan dibangunnya candi Panataran adalah waktu yang cukup untuk masa kemasyhurannya dengan pembacaan yang berkali-kali dan turun-temurun oleh pembacanya.

Kecermataan Poerbatjaraka tidak hanya masalah kesejarahan Kakawin Rāmāyaóa saja, namun lebih dalam pada masalah tata bahasa dan terjemahan. Generasi awal penerjemahan Kakawin Rāmāyaóa dilakukan oleh Kern dan Juynboll, bahkan telah menerbitkan pula glosarium atau kamus bersifat tafsir. Kamus tersebut sayangnya sebagian besar berisi tafsir naluri para pedanda di Bali, sehingga ada banyak kata yang kurang tepat keterangannya. Terjemahan awal Kern dan Juynboll diterbitkan dalam bahasa Belanda. Kelemahan penerjemahan oleh sarjana Barat menurutnya adalah pada rasa, banyak kata yang diterjemahkan hanya berdasar pada salinan kata-kata yang ada di teks tersebut.

Tata bahasa yang disoroti oleh Poerbatjaraka mengenai kata kerja yang memuat kata ganti orang dalam bentuknya yang pendek-yang mengerjakan, atau dalam kalimat pasif yang dikenai pekerjaan, ia menyebutnya “vervoegede werkwoorden”. Uraian ini bertujuan untuk membantu pembaca Kakawin Rāmāyaóa memahami terjemahan yang dikerjakannya. Terjemahan yang dilakukan Poerbatjarakan tergolong kaku. Namun demikian uraian tatabahasa yang ada disebagian besar terjemahannya kiranya dapat membantu dan menjadi petunjuk untuk mengetahui maksud yang asli.

Pembahasan

Cerita Rāmāyaóa yang tersebar dan dituturkan dalam tradisi tulis di berbagai wilayah seperti di Jawa era Jawa Kuna dalam Kakawin Rāmāyaóa, era Jawa Baru dalam Rama Kěling, Sěrat Rama dan lakon-lakon wayang; di Melayu dalam Hikayat Sri Rama maka dapat disimpulkan tidak berasal dari induk naskah atau literer yang sama. Akan tetapi benang merahnya adalah hampir sebagian besar memiliki kemiripan dengan Rāmāyaóa Sanskåta karya Vālmìki. Oleh karena itu layak jika para sarjana banyak melacak asal-usul Kakakwin Rāmāyaóa.

Sanggahan Poerbatjaraka dan Manomohan Gosh terhadap pendapat Kern mengenai asal-usul Kakawin Rāmāyaóa adalah langkah awal kritis yang mampu memberikan sumbang sih besar terhadap kemajuan dan pengayaan ilmu pengetahuan. Sanggahan mereka menjadi tonggak kelanjutan penelitian kritis dikemudian waktu. Salah satunya oleh Zoetmulder (1985:289) menguatkan pendapat kritis Poerbatjaraka dan Manomohan Gosh yang menyimpulkan bahwasanya naskah yang menjadi sumber Yogìśwara ialah Rāvaóavadha karya Bhaþþikavya dengan mengambil alih tema karangan India sampai ke segala seluk-beluk dan sebanyak mungkin juga memakai sejumlah ungkapan yang sama. Selain itu C. Bulcke dan C. Hooykaas secara sendiri-sendiri terpancing melakukan penelitian kembali terhadap asal-usul Kakawin Rāmāyaóa. Dengan pendekatan bandingan bait demi bait terhadap isi Kakawin Rāmāyaóa dengan kawya dari India, maka kesimpulan mereka lagi-lagi menguatkan dan membenarkan dugaan temuan Poerbatjaraka dan Manomohan Gosh.

Hooykas dan Bulcke menemukan hal lain yang lebih menarik yaitu hubungan erat Kakawin Rāmāyaóa dengan karya Bhaþþikāvya tidak berlaku untuk keseluruhan teks. Mulai sarga ke-17 atau sepertiga dari seluruh Kakawin Rāmāyaóa, penyair menempuh jalannya sendiri (Zoetmulder, 1985:290). Sehingga mulai sarga 17 hingga akhir hingga saat ini belum ditemukan dalam versi Rāmāyaóa Sanskåta.

Pemilihan Yogìśwara terhadap karya Bhaþþikāvya tentu berdasar. Karya Bhaþþikāvya sangatlah indah. Bhaþþikāvya memiliki dua tujuan ketika menuliskan kāvya-nya yaitu menuturkan cerita Rāma namun sekaligus menerangkan contoh-contoh kaidah-kaidah gramatika Sanskåta serta kiasan-kiasan serta cara lain yang memperindah puisi Sanskåta, sehingga karyanya cenderung sulit dipahami. Sang Bhaþþi mengatakan hal ini dalam teksnya:

Syair ini hanya dapat dimengerti dengan bantuan sebuah komentar; cukuplah bahwa syair ini merupakan sebuah sumber kegembiaraan bagi mereka yang cerdas, sedangkan orang bodoh hanya akan merasa sedih, akibat cintaku untuk pengetahuan.” (Zoetmulder, 1985:291)

Pernyataan Bhaþþikāvya ini kembali menegguhkan pendapat dan sanggahan Poerbatjaraka terhadap H.Kern mengenai tingkat kepandaian sang Yogìśwara. Pengetahuan sang Yogìśwara terhadap bahasa Sanskåta ternyata cukup luas, sehingga ia mampu membaca dan memahami teks yang menampilkan banyak masalah. Ia pastinya juga harus menguasai bahasanya sendiri (Jawa Kuna) dengan sempurna guna menerjemahkan prototipe Sanskåta yang sukar. Dua syarat ini yang tentunya wajib dipenuhi oleh kawya sehingga hampir semua kerumitan gramatikal dan stilis teks asli dapat dialihkan oleh kawya ke dalam bahasa Jawa Kuna yang sangat berbeda dari bahasa Sanskåta. Namun demikian Kakawin Rāmāyaóa ini bukan semata-mata hanya terjemahan teks Sanskåta, karena pada permulaan kawya sudah merasa bebas untuk menyimpang dari contohnya dan memberikan penambahan penejelasan-penjelasan bila dianggap perlu serta mempersingkat atau mengubah bagian yang dikiranya kurang penting atau sukar dimengerti.

Keserasian antara Kakawin Rāmāyaóa dengan Rāmāyaóa karya Bhaþþikāvya hanya terdapat dalam sarga awal. Sesudah sarga ke-13 keserasian itu mulai berkurang, hingga sarga ke-17 sampai sarga akhir hilang sama sekali. Dan semakin nampak perbedaan itu sejak sarga ke-24 bait 100 dan seterusnya. Contoh kasus dalam karya Kakawin Rāmāyaóa ini latar dan unsur yang ditampilkan tidak sepunuhnya merujuk persis dengan Rāmāyaóa Sanskåta. Sang kawya atau Yogìśwara memasukkan latar Jawa. Beberapa unsur dan latar Jawa dapat ditemukan dalam sarga ke-8 yaitu adanya deskripsi yang cukup panjang mengenai sebuah candi Úiwa di Lěngka. Latar demikian ini tidak didapati dalam teks Sanskåta karya Bhaþþìi. Menurut Poerbatjaraka ini adalah imajinasi kawya dalam menggambarkan candi Prambanan (Zoetmulder, 1985:291-292).

Masalah yang lebih pelik lagi adalah mengenai waktu penulisan. Karya Kakawin Rāmāyaóa ditulis tanpa menggunakan manggala yang mengawali syair itu serta epilognya sebetulnya dapat mempermudah informasi untuk indikasi berharga mengenai pengarang dan taun pembuatan. Oleh karena dalam penentuan waktu penulisan para sarjana menggunakan pendekatan bahasa untuk pedomannya (Zoetmulder, 1985:293). H. Kern seperti tersebut di atas memperkirakan pada paruh kedua abad ke-12 ditulis sesudah Bhāratayuddha dan Bhomāntaka. Sedangkan Poerbatjaraka lebih tua yaitu pada masa Rake Watukura Dyah Balitung bertahta sekitar tahun 822-830 Úaka atau sekitar 900-908 Masehi.

Selain itu berkiatan dengan tempat penulisan, menurut Poerbatjaraka Kakawin Rāmāyaóa berasal dari tradisi Jawa Tengah di luar tradisi Kakawin Jawa Timuran atau Bali. Sehingga Kakawin Rāmāyaóa adalah satu-satunya karya puisi yang berasal dari Jawa Tengah. Hal berdasarkan pada manggala yang sering kali didapati pada teks Jawa Timuran. Dari sudut kosa kata langő, lěngěng dan berapa kosa kata yang lazim muncul dalam kakawin sama sekali tidak muncul pada Kakawin Rāmāyaóa. Banyaknya kosa kata serapan atau pinjaman dari bahasa Sanskåta pada Kakakwin Rāmāyaóa yang jarang ditemukan dalam karya-karya Jawa Timur (Zoetmulder, 1985:294). Oleh karena itu, Hooykaas menempatkan Rāmāyaóa sebagai ādikāvya ‘syair yang pertama dan teladan’ bagi karya serupa dalam sastra Jawa-Bali yang tersebar sepanjang kurun waktu seribu tahun.

Dasar selanjutnya yang menguatkan Kakawin Rāmāyaóa sebagai karya sastra Jawa Tengah adalah lebih mempertahankan sifat Indianya dibanding dengan pola pada kakawin-kakawin lainnya. Sedangkan dalam pola karya sastra Jawa Timuran latar India banyak diganti dengan gambaran alam dan budaya Jawa (Zoetmulder, 1985:294-295).

Selain keunggulan-keunggulan Poerbatjaraka tersebut di atas ada beberapa catatan kritis yang sangat disayangkan dalam hal sajian edisi teks dan terjemahan. Telah dijelaskan di bagian awal, bahwa ada beberapa sarga yang tidak diterjemahkan dan bahkan dihilangkan sama sekali edisi teksnya. Alangkah bijaknya jika Poerbatjaraka tetap menghadirkan terjemahan dan edisi teksnya dengan mengikuti kaidah-kaidah kritik teks seperti memberikan catatan-catatan khusus yang menerangkan isi dari teks-teks itu. Hal demikan dalam rangka untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada para khalayak pembaca.

Kesimpulan

Peorbatjaraka adalah tokoh besar yang Indonesia miliki. Kecerdasan dan ketekunannya mampu menjadikan dirinya sebagai ilmuan serta pendapat-pendapatnya mampu dipertanggungjawabkan secara akademis dan menjadi titik acuan para sarjana barat dan timur. Sanggahannya terhadap Kakawin Rāmāyaóa edisiH. Kern, mampu menggugah ilmuan-ilmuan dunia untuk tidak berhenti mengkaji dan saling mengkritisi dalam rangka melengkapi temuan para sarjana dari masa ke masa. Perbedaan pendapat bukanlah hal yang perlu dipertentangkan namun didiskusikan dalam kajian akademis untuk menambah khazanah pengetahuan dan peradaban bangsa yang lebih maju.[]

Daftar Pustaka

Kern, H. 2015. Rāmāyaóa: The Story of Rāma and Sìtā in Old Javanese Romanized by Willem van der Molen. Tokyo: Research Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa Tokyo University of Foreign Studies.

Poerbatjaraka, R.Ng. 2010. Rāmāyaóa Djawa-Kuna Teks dan Terjemahan. Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

Ras, J.J. 2014. Masyarakat dan Kesusastraan di Jawa. Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Yayasan Pernasakahan Nusantara (Yanassa), dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Zoetmulder. 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Penerbit Djambatan.



Muhammad Bagus Febriyanto

Penulis

gantiemailnya1@email.com

eyJtYXBfb3B0aW9ucyI6eyJjZW50ZXJfbGF0IjoiLTcuODA1MTM1NjcxOTUxNTUzIiwiY2VudGVyX2xuZyI6IjExMC4zNjQyMTM4Mjg3MzQ2NiIsInpvb20iOjEwLCJtYXBfdHlwZV9pZCI6IlJPQURNQVAiLCJmaXRfYm91bmRzIjp0cnVlLCJkcmFnZ2FibGUiOnRydWUsInNjcm9sbF93aGVlbCI6dHJ1ZSwiZGlzcGxheV80NV9pbWFnZXJ5IjoiIiwibWFya2VyX2RlZmF1bHRfaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL1wvZGVmYXVsdF9tYXJrZXIucG5nIiwiaW5mb3dpbmRvd19zZXR0aW5nIjoiPGRpdiBjbGFzcz1cImZjLWl0ZW0tYm94IGZjLWl0ZW1jb250ZW50LXBhZGRpbmcgXCI+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS10aXRsZVwiPnttYXJrZXJfdGl0bGV9IDxzcGFuIGNsYXNzPVwiZmMtYmFkZ2UgaW5mb1wiPnttYXJrZXJfY2F0ZWdvcnl9PFwvc3Bhbj48XC9kaXY+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1jb250ZW50IGZjLWl0ZW0tYm9keS10ZXh0LWNvbG9yXCI+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1mZWF0dXJlZCBmYy1sZWZ0IGZjLWl0ZW0tdG9wX3NwYWNlXCI+XG4gICAgICAgICAgICB7bWFya2VyX2ltYWdlfVxuICAgICAgICA8XC9kaXY+XG48cD4gICAgICAgIHttYXJrZXJfbWVzc2FnZX1cbiAgICA8XC9wPjxcL2Rpdj5cbjxhZGRyZXNzIGNsYXNzPVwiZmMtdGV4dFwiPnttYXJrZXJfYWRkcmVzc308XC9hZGRyZXNzPlxuPFwvZGl2PlxuIiwiaW5mb3dpbmRvd19ib3VuY2VfYW5pbWF0aW9uIjoiY2xpY2siLCJpbmZvd2luZG93X2Ryb3BfYW5pbWF0aW9uIjpmYWxzZSwiY2xvc2VfaW5mb3dpbmRvd19vbl9tYXBfY2xpY2siOmZhbHNlLCJpbmZvd2luZG93X3NraW4iOnsibmFtZSI6ImRlZmF1bHQiLCJ0eXBlIjoiaW5mb3dpbmRvdyIsInNvdXJjZWNvZGUiOiI8ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1ib3ggZmMtaXRlbWNvbnRlbnQtcGFkZGluZyBcIj5cclxuICAgIDxkaXYgY2xhc3M9XCJmYy1pdGVtLXRpdGxlXCI+e21hcmtlcl90aXRsZX0gPHNwYW4gY2xhc3M9XCJmYy1iYWRnZSBpbmZvXCI+e21hcmtlcl9jYXRlZ29yeX08XC9zcGFuPjxcL2Rpdj5cclxuICAgIDxkaXYgY2xhc3M9XCJmYy1pdGVtLWNvbnRlbnQgZmMtaXRlbS1ib2R5LXRleHQtY29sb3JcIj5cclxuICAgICAgICA8ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1mZWF0dXJlZCBmYy1sZWZ0IGZjLWl0ZW0tdG9wX3NwYWNlXCI+XHJcbiAgICAgICAgICAgIHttYXJrZXJfaW1hZ2V9XHJcbiAgICAgICAgPFwvZGl2PlxyXG4gICAgICAgIHttYXJrZXJfbWVzc2FnZX1cclxuICAgIDxcL2Rpdj5cclxuICAgIDxhZGRyZXNzIGNsYXNzPVwiZmMtdGV4dFwiPnttYXJrZXJfYWRkcmVzc308XC9hZGRyZXNzPlxyXG48XC9kaXY+In0sImRlZmF1bHRfaW5mb3dpbmRvd19vcGVuIjpmYWxzZSwiaW5mb3dpbmRvd19vcGVuX2V2ZW50IjoiY2xpY2siLCJmdWxsX3NjcmVlbl9jb250cm9sIjpmYWxzZSwic2VhcmNoX2NvbnRyb2wiOnRydWUsInpvb21fY29udHJvbCI6dHJ1ZSwibWFwX3R5cGVfY29udHJvbCI6ZmFsc2UsInN0cmVldF92aWV3X2NvbnRyb2wiOmZhbHNlLCJmdWxsX3NjcmVlbl9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJzZWFyY2hfY29udHJvbF9wb3NpdGlvbiI6IlRPUF9MRUZUIiwiem9vbV9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfdHlwZV9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfdHlwZV9jb250cm9sX3N0eWxlIjoiSE9SSVpPTlRBTF9CQVIiLCJzdHJlZXRfdmlld19jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfY29udHJvbCI6dHJ1ZSwibWFwX2NvbnRyb2xfc2V0dGluZ3MiOmZhbHNlLCJtYXBfem9vbV9hZnRlcl9zZWFyY2giOjYsIndpZHRoIjoiIiwiaGVpZ2h0IjoiMzMwIn0sInBsYWNlcyI6W3siaWQiOiIxIiwidGl0bGUiOiJLZXJhdG9uIiwiYWRkcmVzcyI6IktlcmF0b24gSm9namEiLCJzb3VyY2UiOiJtYW51YWwiLCJjb250ZW50IjoiS2VyYXRvbiBOZ2F5b2d5YWthcnRhIEhhZGluaW5ncmF0IGF0YXUgS2VyYXRvbiBZb2d5YWthcnRhIG1lcnVwYWthbiBpc3RhbmEgcmVzbWkgS2VzdWx0YW5hbiBOZ2F5b2d5YWthcnRhIEhhZGluaW5ncmF0IHlhbmcga2luaSBiZXJsb2thc2kgZGkgS290YSBZb2d5YWthcnRhLiBLZXJhdG9uIGluaSBkaWRpcmlrYW4gb2xlaCBTcmkgU3VsdGFuIEhhbWVuZ2t1YnV3YW5hIEkgcGFkYSB0YWh1biAxNzU1IHNlYmFnYWkgSXN0YW5hXC9LZXJhdG9uIFlvZ3lha2FydGEgeWFuZyBiYXJ1IGJlcmRpcmkgYWtpYmF0IHBlcnBlY2FoYW4gTWF0YXJhbSBJc2xhbSBkZW5nYW4gYWRhbnlhIFBlcmphbmppYW4gR2l5YW50aS4gS2VyYXRvbiBpbmkgYWRhbGFoIHBlY2FoYW4gZGFyaSBLZXJhdG9uIFN1cmFrYXJ0YSBIYWRpbmluZ3JhdCBkYXJpIE1hdGFyYW0gSXNsYW0gU3VyYWthcnRhIChLZXJhamFhbiBTdXJha2FydGEpLiBTZWhpbmdnYSBkaW5hc3RpIE1hdGFyYW0gZGl0ZXJ1c2thbiBvbGVoIDIgS2VyYWphYW4geWFrbmkgS2VzdWx0YW5hbiBZb2d5YWthcnRhIGRhbiBLZXN1bmFuYW4gU3VyYWthcnRhLiBUb3RhbCBsdWFzIHdpbGF5YWgga2VzZWx1cnVoYW4ga2VyYXRvbiB5b2d5YWthcnRhIG1lbmNhcGFpIDE0NCBoZWt0YXIsIHlha25pIG1lbGlwdXRpIHNlbHVydWggYXJlYSBkaSBkYWxhbSBiZW50ZW5nIEJhbHV3YXJ0aSwgYWx1bi1hbHVuIExvciwgYWx1bi1hbHVuIEtpZHVsLCBnYXB1cmEgR2xhZGFrLCBkYW4ga29tcGxla3MgTWFzamlkIEdlZGhlIFlvZ3lha2FydGEuIFNlbWVudGFyYSBsdWFzIGRhcmkga2VkaGF0b24gKGludGkga2VyYXRvbikgbWVuY2FwYWkgMTMgaGVrdGFyLiAiLCJsb2NhdGlvbiI6eyJpY29uIjoiaHR0cHM6XC9cL2phbmdrYWguaWRcL3dwLWNvbnRlbnRcL3BsdWdpbnNcL3dwLWdvb2dsZS1tYXAtcGx1Z2luXC9hc3NldHNcL2ltYWdlc1wvXC9kZWZhdWx0X21hcmtlci5wbmciLCJsYXQiOiItNy44MDUxMzU2NzE5NTE1NTMiLCJsbmciOiIxMTAuMzY0MjEzODI4NzM0NjYiLCJjaXR5IjoiWW9neWFrYXJ0YSIsInN0YXRlIjoiRGFlcmFoIElzdGltZXdhIFlvZ3lha2FydGEiLCJjb3VudHJ5IjoiSW5kb25lc2lhIiwib25jbGlja19hY3Rpb24iOiJtYXJrZXIiLCJyZWRpcmVjdF9jdXN0b21fbGluayI6IiIsIm1hcmtlcl9pbWFnZSI6IjxkaXYgY2xhc3M9J2ZjLWZlYXR1cmUtaW1nJz48aW1nIGxvYWRpbmc9J2xhenknIGRlY29kaW5nPSdhc3luYycgYWx0PSdLZXJhdG9uJyBzcmM9J2h0dHBzOlwvXC91cGxvYWQud2lraW1lZGlhLm9yZ1wvd2lraXBlZGlhXC9jb21tb25zXC90aHVtYlwvM1wvMzNcL0tyYXRvbl9Zb2d5YWthcnRhX1BhZ2VsYXJhbi5qcGdcLzEwMjRweC1LcmF0b25fWW9neWFrYXJ0YV9QYWdlbGFyYW4uanBnJyBjbGFzcz0nd3BnbXBfbWFya2VyX2ltYWdlIGZjLWl0ZW0tZmVhdHVyZWRfaW1hZ2UgZmMtaXRlbS1sYXJnZScgXC8+PFwvZGl2PiIsIm9wZW5fbmV3X3RhYiI6InllcyIsInBvc3RhbF9jb2RlIjoiIiwiZHJhZ2dhYmxlIjpmYWxzZSwiaW5mb3dpbmRvd19kZWZhdWx0X29wZW4iOmZhbHNlLCJhbmltYXRpb24iOiJCT1VOQ0UiLCJpbmZvd2luZG93X2Rpc2FibGUiOnRydWUsInpvb20iOjUsImV4dHJhX2ZpZWxkcyI6IiJ9LCJjYXRlZ29yaWVzIjpbeyJpZCI6IiIsIm5hbWUiOiIiLCJ0eXBlIjoiY2F0ZWdvcnkiLCJleHRlbnNpb25fZmllbGRzIjpbXSwiaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL1wvZGVmYXVsdF9tYXJrZXIucG5nIn1dLCJjdXN0b21fZmlsdGVycyI6IiJ9XSwic3R5bGVzIjoiIiwibGlzdGluZyI6IiIsIm1hcmtlcl9jbHVzdGVyIjp7ImdyaWQiOiIxNSIsIm1heF96b29tIjoiMSIsImltYWdlX3BhdGgiOiJodHRwczpcL1wvamFuZ2thaC5pZFwvd3AtY29udGVudFwvcGx1Z2luc1wvd3AtZ29vZ2xlLW1hcC1wbHVnaW5cL2Fzc2V0c1wvaW1hZ2VzXC9tIiwiaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL2NsdXN0ZXJcLzQucG5nIiwiaG92ZXJfaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL2NsdXN0ZXJcLzQucG5nIiwiYXBwbHlfc3R5bGUiOmZhbHNlLCJtYXJrZXJfem9vbV9sZXZlbCI6IjEifSwibWFwX3Byb3BlcnR5Ijp7Im1hcF9pZCI6IjEiLCJkZWJ1Z19tb2RlIjpmYWxzZX19

Daksinargastuti, Menyenandungkan Kembali Syair-syair Kuno Yogyakarta

Daksinargastuti merupakan kegiatan Komunitas Jangkah Nusantara yang meliputi pemetaan, preservasi naskah kuno, bengkel sastra-aksara dan macapat, serta alih aksara manuskrip.
Lihat Rekaman Baca Pengantar
poster diskusi