Pustaka

Kiai Sholeh Darat dan Gerakan Pencerahan untuk Bangsa Jawa

Guru pendiri NU dan Muhammadiyah yang menyisipkan ajakan perlawanan dalam kitab beraksara pegon.

Sabtu, 27 Maret 2021

503 Kali

1 Kali

16 Menit

Abad 19, sebagai bagian dari era modern, bisa dikatakan sebagai masa-masa pengukuhan atau pelembagaan imperialisme global. Hal ini sebelumnya telah disemai sejak abad 15 M. Di abad 19 inilah term imperialisme semakin jelas maknanya sebagai usaha menguasai dan menindas. Winks (1977) mencatat, upaya tersebut dilakukan oleh masyarakat Eropa terhadap masyarakat Eropa baik secara ekonomi, politik dan budaya.


Secara umum, imperialisme di masa itu lebih merujuk pada praktik ekspansionisme bangsa-bangsa Eropa ke bangsa-bangsa lain, khususnya terhadap bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Proyek imperialisme dan kolonialisme inilah yang pada puncaknya melahirkan Perang Dunia I dan Perang Dunia II pada abad 20. Jika dilihat dari akar masalahnya, PD I dan PD II merupakan konsekuensi negara-negara Eropa dalam berebut koloni. Karenanya di abad 19 tersebut, bangsa-bangsa Eropa banyak mempunyai koloni di berbagai negara. Selain itu, awal pada abad 19 (1800) juga merupakan masa lahirnya modernisme Islam. Di abad inilah muncul sederetan pemikir yang dikenal sebagai pembaharu Islam, seperti At-Tahtawi (1801-1873), Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897), Muhammad Abduh (1849-1905), Rasyid Ridlo (1865-1935) dan seterusnya.


Abad modern dalam Islam (tahun 1800 dan seterusnya), oleh Harun Nasution (1975) juga disebut sebagai awal renaissance Islam. Munculnya kebangkitan Islam ini juga akibat imperialisme dan kolonialisme yang dilancarkan oleh bangsa–bangsa Barat ke dunia Islam. Jatuhnya Mesir ke dalam kekuasaan Barat membangunkan umat Islam dari tidur panjangnya, sekaligus menyadarkan bahwa di Barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan secara politik telah menjadi ancaman Islam. Akibat maraknya imperialisme Barat ke negara-negara Islam inilah, di masa-masa itu para tokoh Islam mulai memikirkan kembali perlunya memajukan kualitas kehidupan umat Islam. sehingga lahir yang disebut dengan modernisasi atau pembaharuan Islam. Gerakan pembaharuan Islam yang ada di Timur Tengah ini kelak juga berhembus ke Nusantara, yang diusung oleh para kelompok Islam modernis.


Salah satu bangsa yang menjadi objek jajahan dan koloni dari proyek imperialisme abad 19 adalah Nusantara, khususnya Jawa. Di abad ini, Belanda menancapkan kuku penjajahannya di Indonesia dalam waktu yang lama. Namun sebelum abad tersebut, Nusantara sudah diduduki oleh bangsa-bangsa Eropa. Bila ditelusuri, imperialisme bangsa Eropa di bumi Nusantara sudah terjadi pada abad 16, dengan datangnya bangsa Portugis (1512-1850). Kemudian pada abad 17, lahir persekutuan dagang bangsa Eropa di Nusantara, VOC (1602-1800) dan dengan bercokolnya bangsa Belanda (1800-1950).


Dengan demikian, awal abad 19 merupakan transformasi penting dalam sejarah politik Nusantara. Dalam konteks relasi antara kekuasaan kraton-kraton di Jawa Tengah dengan pihak kolonial, Peter Cerey (2012) menyebutnya sebagai era baru. Sebab pada 1812-1816 terjadi perubahan yang signifikan atas hubungan politik antara pihak kraton dengan pihak kolonial Belanda. Kekuatan militer dan politik kala itu lebih bayak bergeser ke pihak kolonial, sehingga para gubernur jenderal Belanda banyak yang tidak takut dengan berbagai ancaman kekuatan para raja-raja kraton, baik di Surakatra maupun Yogyakarta.


Singkatnya, pihak kolonial di era ini semakin leluasa bergerak menguasai struktur politik di Jawa saat itu. Inilah yang kemudian disebut dengan transformasi baru di abad 18 dalam konteks politik Jawa. Selain menandai lahirnya pola dan penguasa baru dalam sejarah imperialisme di Indonesia, di abad tersebut juga muncul berbagai peristiwa penting di bumi Nusantara sebagai bagian dari konstelasi politik global kala itu. Di abad 19 dunia sedang bergemuruh, dan dampaknya merengsek hingga ke Nusantara, khususnya ke Jawa.


Di tengah transformasi politik di Jawa kala itu, perlawanan tidak lagi ditempuh dengan gencatan senjata seperti peperangan yang terjadi sebelumnya, misalnya Perang Diponegoro. Kala itu, Kiai Sholeh Darat menanamkan ‘perlawanan kultural’ di tengah masyarakat untuk menentang penjajah. Perlawanan tersebut ia bangun melalui gerakan pencerahan dan pendidikan masyarakat. Ia menulis banyak kitab keagamaan beraksara pegon dan disisipi dengan semangat kebangsaan. Pilihannya untuk menulis kitab dengan aksara pegon guna menyiasati represi kolonial yang kala itu melarang aktivitas keagamaan dengan media aksara latin.
Larangan tersebut disinyalir untuk membuat masyarakat Jawa semakin tidak memahami Islam. Selain itu, mufti yang selama bertahun-tahun menuntut ilmu di timur tengah ini memilih pegon supaya masyarakat Jawa mudah memahami kitab-kitab yang ditulisnya. Melalui aksara pegon, kitab-kitab karya Kiai Sholeh—yang tidak hanya membahas ikhwal ritual keagamaan namun juga disisipi semangat ideologis untuk melawan Belanda—dapat dengan mudah dipahami oleh masyarakat Jawa kala itu. Semaian ideologis perlawanan kultural melalui literasi inilah yang melahirkan tokoh-tokoh revolusioner di kemudian hari.


Nama lengkapnya adalah KH. Muhammad Sholeh bin Umar As-Samarani. Ensiklopedia Nahdlatul Ulama mencatat, ia merupakan putra dari Kiai Umar, seorang ulama, pejuang dan penasihat keagamaan pangeran Dipenogoro dalam Perang Jawa. Nama asli Kiai Sholeh, seperti yang diberikan oleh orangtuanya adalah Muhammad Sholeh, namun dalam kitab-kitab karangannya sering ditulis Muhammad Sholeh bin Umar As-Samarani.
Berdasarkan sumber-sumber yang ada, Kiai Sholeh Darat lahir pada 1820 M/1238 H di desa Kedung Jumbleng, (versi lain menyebut Kedung Cumpleng), Mayong, Jepara. Ia meninggal pada Desember 1903 da dimakamkan di Bergota, Semarang. Ketika Sholeh Darat baru berusia lima tahun, Perang Jawa yang dipimpin oleh Diponegoro meletus. Di usia inilah Sholeh Darat sudah ditinggal perang oleh ayahandanya, Kiai Umar. Sebab kala itu, sang ayah menjadi salah satu prajurit Pangeran Diponegoro. Dalam sejarah Perang Jawa, nama Kiai Umar memang tidak nampak tertulis. Peter Carey sendiri hanya menulis Kiai Maja, sebagai representasi para kiai yang turut mendukung dan sekaligus menjadi penasihat keagamaan Diponegoro dalam Perang Jawa.

Sejak belia, Kiai Sholeh Darat sudah dikirim ke berbagai pesantren oleh ayahandanya. Ia menjelajah ke berbagai pesantren di Jawa seperti Pati, Kudus, hingga Semarang. Selanjutnya, lantaran kondisi sosial-politik Jawa pasca Perang Diponegoro yang kurang stabil, membuat ia beserta keluarganya berhijrah ke Mekkah. Hijrahnya tersebut juga dimanfaatkan untuk menuntut ilmu. Dzahir (tth) mencatat, kira-kira mereka hijrah ke Mekkah pada 1835, paska selesainya Perang Jawa. Bisa dipastikan kala itu Kiai Sholeh Darat baru berusia lima belas tahun.

Ketika Kiai Sholeh pulang dari Mekkah pada tahun 1870-an dan menetap di Jawa, namanya populer menjadi Sholeh Darat. Nama ‘Darat’ yang menempel di akhir namanya merupakan nama daerah yang ada di Semarang. Sebab ketika pulang ke Jawa, ia menetap di kampung Mlayu Darat, Semarang. Disebut ‘Darat’, karena konon kampung ini merupakan tempat mendarat orang-orang dari luar Jawa.

Gerakan Pencerahan Kiai Sholeh Darat

Sepulang Kiai Sholeh Darat dari Mekkah, Jawa berada di bawah kekuasaan rezim kolonial Belanda; pemerintah Belanda secara formal telah melembagakan kekuasaannya dan mengatur seluruh akitivitas sosial dan politik di Jawa. Kepulangan kiai Sholeh Darat ke Nusantara merupakan tantangan tersendiri bagi Belanda. Sebab pemikiran dan pergerakan Sholeh Darat dipandang sebagai ancaman bagi kekuasaan rezim kolonial yang telah mapan dan tersutruktur. Karenanya, setelah menetap di Darat dan mendirikan pesantren, Kiai Sholeh Darat termasuk sosok yang paling diawasi secara ketat oleh Belanda.


Satu langkah penting yang dilakukan oleh Kiai Sholeh Darat untuk menghadapi rezim kolonial adalah memberikan ‘pencerahan pemikiran’ kepada masyarakat. Ini merupakan langkah strategis dan visioner yang dilakukan oleh Kiai Sholeh Darat untuk melawan penjajahan.


Saat ia tiba di Semarang pada abad 19, mengangkat senjata untuk melawan kekuasaan kolonial merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Di abad 19 itu paska kalahnya Pangeran Diponegoro, revolusi fisik secara besar-besaran sudah tidak ada—dan baru muncul revolusi fisik lagi pada abad 20 yakni pada 1945. Sebab di pertengahan abad 19 tersebut kekuasaan kolonial sudah demikian melembaga. Sementara itu, masyarakat masih terbelenggu oleh kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. Di masa ini melawan penjajahan secara frontal sama saja dengan bunuh diri.
Maka perlawanan terhadap penjajahan harus dilakukan melalui cara-cara yang strategis, rasional dan jangka panjang. Salah satunya dengan melakukan pencerahan pemikiran. Inilah yang dilakukan oleh Kiai Sholeh Darat. Posisi Kiai Sholeh Darat sendiri, dalam konteks perjuangan kemerdekaan berada di antara gerakan revolusi fisik: era Revolusi Diponegoro (1825-1830) dan Revolusi 1945. Di masa inilah peran penting dan strategis yang diambil oleh Kiai Sholeh Darat adalah menanamkan nilai-nilai perjuangan. Hal itu ia lakukan melalui gerakan pemikiran kepada para santrinya dan masyarakat Jawa secara umum. Alhasil, para santri hasil didikan Kiai Sholeh Darat pada abad berikutnya (abad 20) menjadi tokoh pejuang kemerdekaan, di antaranya adalah KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan,1 dua sosok yang dikenal sebagai pendiri ormas Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.


Dengan kata lain, kala itu Kiai Sholeh Darat bisa dikatakan lebih fokus mempersiapkan generasi-generasi pejuang melalui pendidikan dan pencerahan pemikiran. Sehingga para kiai dan ulama yang ia didik merupakan kiai-kiai dan ulama yang sangat nasionalis, yang di masa revolusi 1945 mempunyai kontribusi besar. Inilah strategi perjuangan jangka panjang yang dilakukan Kiai Sholeh Darat.


Dalam memberikan pencerahan pemikiran kepada masyarakat itu, Kiai Sholeh Darat lebih banyak menggunakan pendekaran tasawuf. Karenanya hampir seluruh karyanya selalu berorientasi kepada kajian-kajian sufistik. Karangan kitab-kitab fikihnya juga lebih banyak bernafaskan tasawuf. Tasawuf merupakan disiplin ilmu yang tepat untuk membangkitkan pemikiran dan penyegaran rohani. Karena yang ia persiapkan adalah pencerahan jiwa, mental, pemikiran dan spiritual, maka tasawuf menjadi pintu utama Kiai Sholeh Darat untuk mendidik dan membina masyarakat.


Dalam konteks sosial dan kebangsaan yang lebih luas, kenyataannya masyarakat Jawa kala itu masih berada dalam cengkeraman penjajahan. Maka dari itu, yang dilakukan Kiai Sholeh Darat melalui pemikiran tasawufnya seolah menegaskan sebuah makna bahwa sebelum kemerdekaan jasmani tercapai, maka pertama-tama yang harus dilakukan adalah memerdekakan rohani. Dengan kata lain, sebelum kemerdekaan material itu bisa dicapai, maka harus terlebih dahulu ditempuh kemerdekaan spiritual; jiwa-jiwa masyarakat Nusantara harus dimerdekakan terlebih dahulu, sebelum mereka meraih kemerdekaan fisiknya dari tangan penjajah.


Kitab Beraksara Pegon


Kiai Sholeh Darat menulis kitab-kitabnya dengan aksara Pegon. Ikhtiar ini, selain sebagai strategi, juga menyesuaikan dengan kondisi masyarakat Jawa yang tidak bisa berbahasa Arab. Karena itu, Kiai Sholeh Darat juga dikenal sebagai salah satu pelopor dan penyebar metode penulisan Pegon (Arab-Jawa). Strategi penulisan Pegon ini pada tahap selanjutnya juga diteruskan oleh para santrinya. Dzahir (tth) mencatat, para santri tersebut antara lain KH. Hasyim Asy’ari, KH. Dalhar Muntilan, KH. Cholil Rembang, KH. Syahli, KH. Abdul Hamid Kendal, KH. Ihsan Jampes dan para kiai Jawa lainnya.


Hingga saat ini, kitab-kitab anggitan Kiai Sholeh Darat yang dikumpulkan oleh Komunitas Pencinta Kiai Sholeh Darat (KOPISHODA), Semarang, berjumlah 15. Yakni Majmu’ Syariah al-Kafiyat lil Awam, Tarjamah Sabilul Abid ala Jauharotut Tauhid, Kitab Munjiyat, Methik Saking Ihya Ulumiddin, Matan Al-Hikam, Lathoifut Thoharoh wa Asrorus Sholat, Tafsir Faidhur Rohman, Minhajul Atqiya fi Syarhi Ma’rifatil Adzkiya, Almursyidul Wajiz fi Ilmil Quranil Aziz, Syarah al-Burdah, Manasik Haji wal Umroh wa Adabu Ziyaroti Rosulillah, Kitab Pasolatan, Tafsir Hidayatur Rohman, Hadis Ghoity Tafsir Al-Barzanji, Aqiqotut Tajwid, dan Alfiyatut Tauhid. Semuanya rata-rata ditulis pada akhir abad 19.


Dengan medium pegon, Kiai Sholeh Darat berharap agar masyarakat Jawa yang kebanyakan tidak paham bahasa Arab bisa memahami berbagai ilmu keislaman melalui kita-kitab yang ia karang. Maksud dan tujuan ini, ia tegaskan sendiri dalam kitab Faidh ar-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam al-Malik al-Dayyan, Juz I halaman 6:

Lamun kita awam butuh marang ilmu tasawuf mangka iya wis ana karangane kaya kang wus diarani (Kitab Munjiyat), lan butuh ilmu fiqh iya wis ana kitab Majmu’, lan butuh ajar sembahyang wis ana karangane kaya kitab Mursidul Wajiz, lan bab Haji Kiai ya wis ngarang kitab Manasik Haji, lan kepingin arep weruh ceritane Kanjeng Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, iya wis ana kaya kitab Syarah Burdah, lan liya-liyane kaya2 wis nyukupi olehe gawe karangan tumrap butuhe para awame tanah Jawa kene.

Artinya:
Apabila kita membutuhkan terhadap ilmu tasawuf maka sudah ada kitab yang bernama (Kitab Munjiyat), dan bila membutuhkan ilmu fiqh maka sudah ada kitab Majmu’, dan apabila membutuhkan panduan belajar sholat sudah ada kitab Mursyidul Wajiz, dan tentang Hajji kiai juga sudah mengarang kitab Manasik Haji, dan apabila hendak mengetahui kisahnya Kanjeng Nabi Muhammad SAW., maka sudah ada kitab syarah Burdah, dan yang lainnya, sepertinya sudah mencukupi untuk kaum awam yang ada di tanah Jawa ini”

Pilihan Kiai Sholeh Darat untuk menulis kitab dengan aksara Pegon berbahasa Jawa jelas mempunyai dasar dan alasan yang kuat. Dengan aksara Pegon berbahasa Jawa, Kiai Sholeh Darat bertujuan agar masyarakat Jawa bisa lebih mudah dalam memahami agama Islam. Kiai Sholeh Darat mempunyai istilah khusus untuk menyebut istilah pegon tersebut, yaitu Bilisanil Jawi al-Mirikiyah: bahasa Jawa yang sehari-hari dipakai dan mudah dimengerti oleh masyarakatnya di kawasan pesisir utara pulau Jawa.


Melalui aksara Pegon berbahasa Jawa, masyarakat Jawa lebih mudah mencerna dan memahami ajaran-ajaran Kiai Sholeh Darat. Pasalnya, bahasanya sama dengan yang digunakan masyarakat sehari-hari. Sebagai contoh, salah satu santrinya, R.A Kartini yang awalnya berpikiran sinis terhadap Islam, akhirnya berubah mencintai Islam setelah mendengar pengajian tafsir al-Fatihah dengan bahasa Jawa oleh Kiai Sholeh Darat di Pendopo Agung Demak.


Dengan jasa besar Kiai Sholeh Darat itulah, masyarakat Jawa secara umum semakin banyak mengetahui tentang Islam. Atas jasa Kiai Sholeh Darat tersebut, sampai ada sebagian orang yang bilang bahwa bila seandainya tidak ada Kiai Sholeh Darat, bisa jadi masyarakat Jawa tidak akan memahami ajaran-ajaran Islam, dan tidak bisa beribadah dan mengamalkan ritual-ritual Islam.2 Artinya, kitab-kitab beraksara Pegon dan berbahasa Jawa anggotan Kiai Sholeh Darat berdampak pada pemahaman masyarakat Jawa atas Islam.


Pegon sebagai Alat Perjuangan


Saat pertama kali sampai di Jawa, Kiai Sholeh Darat melihat kenyataan bahwa masyarakat Jawa kala itu masih sangat awam dengan agama. Meski Islam telah lama hadir di bumi Nusantara, namun pemahaman masyarakat Jawa terhadap Islam menurutnya masih rendah. Hal ini diperparah dengan hadirnya penjajahan. Rezim penjajahan yang ada kala itu cenderung mengekang masyarakat pribumi untuk memahami Islam secara bebas, apalagi jiksa diduga ada unsur politiknya, maka aktivitas keislaman akan diberantas.3


Melalui rezim penjajahan yang sangat hegemonik ini, maka banyak masyarakat Islam di Jawa yang tidak bebas mengenal Islam secara lebih dekat. Ditambah dengan sedikit orang yang menguasai bahasa Arab, membuat masyarakat Jawa semakin terasing dari Islam. Intervensi rezim penjajah ke dalam ranah agama sudah tergolong keterlaluan. Manurut kajian yang dilakukan Ulum dan Mufarohah (2016), penjajah Belanda secara resmi melarang masyarakat menerjemahkan al-Qur’an, sehingga ketika dijumpai ada terjemahan al-Qur’an baik dalam bentuk aksara Latin maupun aksara Jawa, maka Belanda akan membakarnya.


Atas dasar itulah, Kiai Sholeh Darat, termasuk para ulama Nusantara lainnya, berusaha menemukan strategi dalam berdakwah. Yakni menyebarkan Islam dengan cara mentransformasikannya ke dalam konteks bahasa lokal, sehingga mudah dicerna dan dipraktikkan oleh masyarakat sehari-hari. Kiai Sholeh Darat dan para ulama Nusantara lainnya banyak yang mengkompromikan antara Islam dengan budaya lokal, dengan cara menciptakan sumber-sumber atau media-media pembelajaran Islam yang mudah dipahami oleh masyarakat awam. Salah satu strateginya adalah para ulama Nusantara, termasuk Kiai Sholeh Darat, meneruskan tradisi sebelumnya dengan menuliskan ajaran-ajaran keagamaan dalam bentuk aksara Pegon. Pasalnya, menurut catatan Bizawie (2016, kebijakan kolonial Belanda kala itu menetapkan penghulunya untuk menggunakan aksara Latin, seperti Kiai Hasan Mustafa. Alhasil, strategi Kiai Sholeh Darat membuatnya tetap bisa menerjemahkan dan menyebarkan tafsir-tafsir al-Qur’an kepada masyarakat luas.


Jadi, di masa itu pihak kolonial Belanda juga melakukan imperialisme kebudayaan. Mereka berusaha menggusur budaya-budaya lokal di Jawa dengan budaya kaum penjajah. Salah satu aspek kebudayaan yang hendak dimusnahkan oleh kelompok penjajah adalah bahasa. Dalam hal ini masyarakat Jawa didorong untuk lebih banyak memahami bahasa lokal dengan menggunakan aksara latin, sehingga aspek-aspek tradisional berusaha dijauhkan dari masyarakat Jawa oleh kolonial Belanda. Dengan demikian, upaya kelompok kolonial untuk menindas masyarakat Nusantara, bukan hanya dilakukan melalui represi politik dan ekonomi, tetapi juga melalui represi budaya. Masyarakat Jawa dipaksa untuk tercerabut dari akar budayanya sendiri.


Terkait dengan persoalan di atas, maka bangkitnya aksara Pegon di abad 19, termasuk yang digalakkan oleh Kiai Sholeh Darat ini, banyak menimbulkan keresahan di kalangan kolonial. Menjelang laporannya soal pendidikan di 1887, Van den Berg (dalam Bizawie: 2016) menyampaikan keresahannya tentang gerakan keilmuan dengan menggunakan aksara Pegon. Ia menegaskan bahwa para ulama Hadrami, terutama yang menjadi mitra kerjanya merasa kehilangan wibawa dan pengaruhnya atas beberapa pesantren. Hal ini disebabkan banyaknya tokoh Jawa yang menduduki peran strategis dalam pendidikan hukum-hukum Islam. Sebaliknya, banyak ulama Hadrami terkucilkan, yang salah satu faktornya karena banyak aktivitas pengajaran agama Islam yang berlangsung dengan menggunakan Bahasa Jawa, bukan Melayu yang menggunakan aksara Latin (Ulum & Mufarohah, 2016).


Pada masa abad 19 hingga masa-masa berikutnya, tradisi keilmuan yang berkembang di pesantren-pesantren tradisional di Jawa banyak menggunakan aksara Pegon. Hal ini tercermin dari kalangan santri tradisional yang memberi makna terhadap kitab-kitab kuning dengan bahasa Jawa, tetapi beraksara Arab alias Pegon-Jawa. Selain itu, para kiai dan ulama dalam membuat karangan kitab-kitab juga banyak menggunakan aksara Pegon. Mereka memberi syarah maupun membuat syair banyak menggunakan aksara Pegon.
Pertanyaannya kemudian, kenapa tidak menggunakan aksara Jawa? Dugaan sementara karena aksara Jawa yang sudah eksis di masa itu lebih banyak digunakan di kalangan bangsawan Kraton, ditambah dengan diterapkannya aksara Latin sebagai bentuk intervensi kaum kolonial. Sehingga, kalaupun aksara itu menyentuh kalangan masyarakat umum, maka perkembangannya sangat lambat dan tidak bisa menyeluruh, termasuk wilayah pesisir yang menjadi basis kaum santri. Kehidupan mereka boleh dibilang jarang bersentuhan dengan aksara Jawa, meskipun di kemudian hari juga ditemukan kitab-kitab tradisi pesantren yang menggunakan aksara Jawa.
Penggunaan aksara Pegon yang dilakukan oleh Kiai Sholeh Darat tidak menutup kemungkinan merupakan bagian dari sikap antipatinya terhadap Belanda. Sebab kala itu kelompok Belanda memaksakan penggunaan aksara Latin terhadap masyarakat pribumi. Aksara Pegon yang diusung oleh Kiai Sholeh Darat ini tidak menutup kemungkinan juga dalam bagian dari sikapnya untuk tidak meniru budaya kaum kolonial.


Pada masa penjajahan Belanda di Nusantara, khususnya di Jawa, invasi Belanda bukan hanya ke ranah politik dan ekonomi, tetapi mulai merambah ke ranah budaya dan agama. Dari sinilah muncul kebencian yang luar biasa dari kalangan santri ke pihak Belanda. Maka sebagai bentuk konsekuensinya, para ulama seperti Kiai Sholeh Darat menyerukan kepada masyarakat untuk tidak meniru gaya hidup dan budaya kaum kolonial.


Memang di dalam kitab-kitabnya tidak disebutkan secara eksplisit pengharaman penggunaan aksara Latin. Yang dilarang adalah tata cara berpakaian seperti menggunakan jas, dasi, topi dan atribut-atribut lainnya yang sama dengan Belanda. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa aksara Latin kala itu dikenalkan oleh Belanda dan merupakan bagian dari budaya Barat. Sehingga, aksara Pegon dimaksudkan Kiai Sholeh Darat agar para santri dan masyarakat Jawa secara umum tidak meniru, apalagi mengagumi budaya kolonial. Termasuk aksara Latin yang saat itu dianggap sebagai tulisan kaum Walandi.


Atas dasar itulah, maka para ulama Nusantara, termasuk Kiai Sholeh Darat, dengan mengusung aksara Pegon, pada hakikatnya dalam rangka peneguhan identitas kultural sebagai bentuk perlawanan terhadap arogansi kolonialisme. Selain itu, upaya Kiai Sholeh tak lain adalah mencerdaskan masyarakat Jawa dengan pemahaman keagamaan melalui kitab-kitab pegonnya dengan disisipi semangat kebangsaan.[]

As-Samarani, Muhammad Sholeh bin Umar. 1935. Faidh ar-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam al-Malik al-Dayyan, Juz I. Mesir.
Bizawie, Zainul Milal. 2016. Masterpiece Islam Nusantara: Sanad Jejaring Ulama-Santri 1830-1945. Ciputat Baru: Pustaka Compass.
Cerey, Peter. 2012. Kuasa Ramalan dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855, Jilid 2, (Terj.) Parakitri T. Simbolon. Jakarta: KPG bekerja sama dengan KITLV.

Dzahir, Abu Malikus Shalih. Tanpa tahun. Kiai & Perjuangan Kyai Sholeh Darat Semarang. Semarang: Perhimpunan Remaja Islam Masjid Kyai Sholeh Darat Semarang/PRIMAKISADA.

Ensiklopedia Nahdlatul Ulama. Tanpa tahun. Jilid 4. Jakarta: Mata Bangsa dan PBNU bekerja sama dengan PT. Bank Mandiri Persero.

Hakim, Taufiq. 2016. Kiai Sholeh Darat dan Dinamika Politik di Nusantara Abad XIX. Yogyakarta: Indes Publishing

Nasution, Harun. 1975. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang.

Siraj, Said Aqil. 2016. “Kata Pengantar” dalam Syarah Al-Hikam: KH. Sholeh Darat, Maha Guru Para Ulama Besar Nusantara 1820-1903, (terj.) Miftahul Ulum dan Agustin Mufarohah. Depok: Penerbit Sahifa.

Ulum, Miftahul dan Mufarohah, Agustin (penj.). 2016. “Biografi KH. Sholeh Darat” dalam Syarah Al-Hikam: KH. Sholeh Darat, Maha Guru Para Ulama Besar Nusantara 1820-1903. Depok: Penerbit Sahifa, 2016.

Winks, Robin W. 1977. “Imperialism” dalam Encyclopedia Americana, Vol.14 New York: Americana Corporation.

Wawancara:

Wawancara Mohammad Ichwan, seorang jurnalis, tokoh muda NU dan salah satu penggagas berdirinya komunitas KOPISODA (Komunitas Pencinta Kiai Sholeh Darat) Semarang, di rumahnya Semarang, pada 20/08/2016.

Wawancara dengan Agus Tiyanto, menantu ipar dari cucunya Mbah Sholeh Darat pada 14 Agustus 2016 di rumahnya, Sempol Bimo no.17 RT 01 RW 02 desa Kiringan, Kec. Tulung Klaten, Klaten, Jawa tengah.

Wawancara dengan Muhsin Jamil, Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang, di kampus I, pada 20/08/2016



Taufiq Hakim

Penulis

sajjanacarita@gmail.com

eyJtYXBfb3B0aW9ucyI6eyJjZW50ZXJfbGF0IjoiLTcuODA1MTM1NjcxOTUxNTUzIiwiY2VudGVyX2xuZyI6IjExMC4zNjQyMTM4Mjg3MzQ2NiIsInpvb20iOjEwLCJtYXBfdHlwZV9pZCI6IlJPQURNQVAiLCJmaXRfYm91bmRzIjp0cnVlLCJkcmFnZ2FibGUiOnRydWUsInNjcm9sbF93aGVlbCI6dHJ1ZSwiZGlzcGxheV80NV9pbWFnZXJ5IjoiIiwibWFya2VyX2RlZmF1bHRfaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL1wvZGVmYXVsdF9tYXJrZXIucG5nIiwiaW5mb3dpbmRvd19zZXR0aW5nIjoiPGRpdiBjbGFzcz1cImZjLWl0ZW0tYm94IGZjLWl0ZW1jb250ZW50LXBhZGRpbmcgXCI+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS10aXRsZVwiPnttYXJrZXJfdGl0bGV9IDxzcGFuIGNsYXNzPVwiZmMtYmFkZ2UgaW5mb1wiPnttYXJrZXJfY2F0ZWdvcnl9PFwvc3Bhbj48XC9kaXY+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1jb250ZW50IGZjLWl0ZW0tYm9keS10ZXh0LWNvbG9yXCI+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1mZWF0dXJlZCBmYy1sZWZ0IGZjLWl0ZW0tdG9wX3NwYWNlXCI+XG4gICAgICAgICAgICB7bWFya2VyX2ltYWdlfVxuICAgICAgICA8XC9kaXY+XG48cD4gICAgICAgIHttYXJrZXJfbWVzc2FnZX1cbiAgICA8XC9wPjxcL2Rpdj5cbjxhZGRyZXNzIGNsYXNzPVwiZmMtdGV4dFwiPnttYXJrZXJfYWRkcmVzc308XC9hZGRyZXNzPlxuPFwvZGl2PlxuIiwiaW5mb3dpbmRvd19ib3VuY2VfYW5pbWF0aW9uIjoiY2xpY2siLCJpbmZvd2luZG93X2Ryb3BfYW5pbWF0aW9uIjpmYWxzZSwiY2xvc2VfaW5mb3dpbmRvd19vbl9tYXBfY2xpY2siOmZhbHNlLCJpbmZvd2luZG93X3NraW4iOnsibmFtZSI6ImRlZmF1bHQiLCJ0eXBlIjoiaW5mb3dpbmRvdyIsInNvdXJjZWNvZGUiOiI8ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1ib3ggZmMtaXRlbWNvbnRlbnQtcGFkZGluZyBcIj5cclxuICAgIDxkaXYgY2xhc3M9XCJmYy1pdGVtLXRpdGxlXCI+e21hcmtlcl90aXRsZX0gPHNwYW4gY2xhc3M9XCJmYy1iYWRnZSBpbmZvXCI+e21hcmtlcl9jYXRlZ29yeX08XC9zcGFuPjxcL2Rpdj5cclxuICAgIDxkaXYgY2xhc3M9XCJmYy1pdGVtLWNvbnRlbnQgZmMtaXRlbS1ib2R5LXRleHQtY29sb3JcIj5cclxuICAgICAgICA8ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1mZWF0dXJlZCBmYy1sZWZ0IGZjLWl0ZW0tdG9wX3NwYWNlXCI+XHJcbiAgICAgICAgICAgIHttYXJrZXJfaW1hZ2V9XHJcbiAgICAgICAgPFwvZGl2PlxyXG4gICAgICAgIHttYXJrZXJfbWVzc2FnZX1cclxuICAgIDxcL2Rpdj5cclxuICAgIDxhZGRyZXNzIGNsYXNzPVwiZmMtdGV4dFwiPnttYXJrZXJfYWRkcmVzc308XC9hZGRyZXNzPlxyXG48XC9kaXY+In0sImRlZmF1bHRfaW5mb3dpbmRvd19vcGVuIjpmYWxzZSwiaW5mb3dpbmRvd19vcGVuX2V2ZW50IjoiY2xpY2siLCJmdWxsX3NjcmVlbl9jb250cm9sIjpmYWxzZSwic2VhcmNoX2NvbnRyb2wiOnRydWUsInpvb21fY29udHJvbCI6dHJ1ZSwibWFwX3R5cGVfY29udHJvbCI6ZmFsc2UsInN0cmVldF92aWV3X2NvbnRyb2wiOmZhbHNlLCJmdWxsX3NjcmVlbl9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJzZWFyY2hfY29udHJvbF9wb3NpdGlvbiI6IlRPUF9MRUZUIiwiem9vbV9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfdHlwZV9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfdHlwZV9jb250cm9sX3N0eWxlIjoiSE9SSVpPTlRBTF9CQVIiLCJzdHJlZXRfdmlld19jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfY29udHJvbCI6dHJ1ZSwibWFwX2NvbnRyb2xfc2V0dGluZ3MiOmZhbHNlLCJtYXBfem9vbV9hZnRlcl9zZWFyY2giOjYsIndpZHRoIjoiIiwiaGVpZ2h0IjoiMzMwIn0sInBsYWNlcyI6W3siaWQiOiIxIiwidGl0bGUiOiJLZXJhdG9uIiwiYWRkcmVzcyI6IktlcmF0b24gSm9namEiLCJzb3VyY2UiOiJtYW51YWwiLCJjb250ZW50IjoiS2VyYXRvbiBOZ2F5b2d5YWthcnRhIEhhZGluaW5ncmF0IGF0YXUgS2VyYXRvbiBZb2d5YWthcnRhIG1lcnVwYWthbiBpc3RhbmEgcmVzbWkgS2VzdWx0YW5hbiBOZ2F5b2d5YWthcnRhIEhhZGluaW5ncmF0IHlhbmcga2luaSBiZXJsb2thc2kgZGkgS290YSBZb2d5YWthcnRhLiBLZXJhdG9uIGluaSBkaWRpcmlrYW4gb2xlaCBTcmkgU3VsdGFuIEhhbWVuZ2t1YnV3YW5hIEkgcGFkYSB0YWh1biAxNzU1IHNlYmFnYWkgSXN0YW5hXC9LZXJhdG9uIFlvZ3lha2FydGEgeWFuZyBiYXJ1IGJlcmRpcmkgYWtpYmF0IHBlcnBlY2FoYW4gTWF0YXJhbSBJc2xhbSBkZW5nYW4gYWRhbnlhIFBlcmphbmppYW4gR2l5YW50aS4gS2VyYXRvbiBpbmkgYWRhbGFoIHBlY2FoYW4gZGFyaSBLZXJhdG9uIFN1cmFrYXJ0YSBIYWRpbmluZ3JhdCBkYXJpIE1hdGFyYW0gSXNsYW0gU3VyYWthcnRhIChLZXJhamFhbiBTdXJha2FydGEpLiBTZWhpbmdnYSBkaW5hc3RpIE1hdGFyYW0gZGl0ZXJ1c2thbiBvbGVoIDIgS2VyYWphYW4geWFrbmkgS2VzdWx0YW5hbiBZb2d5YWthcnRhIGRhbiBLZXN1bmFuYW4gU3VyYWthcnRhLiBUb3RhbCBsdWFzIHdpbGF5YWgga2VzZWx1cnVoYW4ga2VyYXRvbiB5b2d5YWthcnRhIG1lbmNhcGFpIDE0NCBoZWt0YXIsIHlha25pIG1lbGlwdXRpIHNlbHVydWggYXJlYSBkaSBkYWxhbSBiZW50ZW5nIEJhbHV3YXJ0aSwgYWx1bi1hbHVuIExvciwgYWx1bi1hbHVuIEtpZHVsLCBnYXB1cmEgR2xhZGFrLCBkYW4ga29tcGxla3MgTWFzamlkIEdlZGhlIFlvZ3lha2FydGEuIFNlbWVudGFyYSBsdWFzIGRhcmkga2VkaGF0b24gKGludGkga2VyYXRvbikgbWVuY2FwYWkgMTMgaGVrdGFyLiAiLCJsb2NhdGlvbiI6eyJpY29uIjoiaHR0cHM6XC9cL2phbmdrYWguaWRcL3dwLWNvbnRlbnRcL3BsdWdpbnNcL3dwLWdvb2dsZS1tYXAtcGx1Z2luXC9hc3NldHNcL2ltYWdlc1wvXC9kZWZhdWx0X21hcmtlci5wbmciLCJsYXQiOiItNy44MDUxMzU2NzE5NTE1NTMiLCJsbmciOiIxMTAuMzY0MjEzODI4NzM0NjYiLCJjaXR5IjoiWW9neWFrYXJ0YSIsInN0YXRlIjoiRGFlcmFoIElzdGltZXdhIFlvZ3lha2FydGEiLCJjb3VudHJ5IjoiSW5kb25lc2lhIiwib25jbGlja19hY3Rpb24iOiJtYXJrZXIiLCJyZWRpcmVjdF9jdXN0b21fbGluayI6IiIsIm1hcmtlcl9pbWFnZSI6IjxkaXYgY2xhc3M9J2ZjLWZlYXR1cmUtaW1nJz48aW1nIGxvYWRpbmc9J2xhenknIGRlY29kaW5nPSdhc3luYycgYWx0PSdLZXJhdG9uJyBzcmM9J2h0dHBzOlwvXC91cGxvYWQud2lraW1lZGlhLm9yZ1wvd2lraXBlZGlhXC9jb21tb25zXC90aHVtYlwvM1wvMzNcL0tyYXRvbl9Zb2d5YWthcnRhX1BhZ2VsYXJhbi5qcGdcLzEwMjRweC1LcmF0b25fWW9neWFrYXJ0YV9QYWdlbGFyYW4uanBnJyBjbGFzcz0nd3BnbXBfbWFya2VyX2ltYWdlIGZjLWl0ZW0tZmVhdHVyZWRfaW1hZ2UgZmMtaXRlbS1sYXJnZScgXC8+PFwvZGl2PiIsIm9wZW5fbmV3X3RhYiI6InllcyIsInBvc3RhbF9jb2RlIjoiIiwiZHJhZ2dhYmxlIjpmYWxzZSwiaW5mb3dpbmRvd19kZWZhdWx0X29wZW4iOmZhbHNlLCJhbmltYXRpb24iOiJCT1VOQ0UiLCJpbmZvd2luZG93X2Rpc2FibGUiOnRydWUsInpvb20iOjUsImV4dHJhX2ZpZWxkcyI6IiJ9LCJjYXRlZ29yaWVzIjpbeyJpZCI6IiIsIm5hbWUiOiIiLCJ0eXBlIjoiY2F0ZWdvcnkiLCJleHRlbnNpb25fZmllbGRzIjpbXSwiaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL1wvZGVmYXVsdF9tYXJrZXIucG5nIn1dLCJjdXN0b21fZmlsdGVycyI6IiJ9XSwic3R5bGVzIjoiIiwibGlzdGluZyI6IiIsIm1hcmtlcl9jbHVzdGVyIjp7ImdyaWQiOiIxNSIsIm1heF96b29tIjoiMSIsImltYWdlX3BhdGgiOiJodHRwczpcL1wvamFuZ2thaC5pZFwvd3AtY29udGVudFwvcGx1Z2luc1wvd3AtZ29vZ2xlLW1hcC1wbHVnaW5cL2Fzc2V0c1wvaW1hZ2VzXC9tIiwiaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL2NsdXN0ZXJcLzQucG5nIiwiaG92ZXJfaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL2NsdXN0ZXJcLzQucG5nIiwiYXBwbHlfc3R5bGUiOmZhbHNlLCJtYXJrZXJfem9vbV9sZXZlbCI6IjEifSwibWFwX3Byb3BlcnR5Ijp7Im1hcF9pZCI6IjEiLCJkZWJ1Z19tb2RlIjpmYWxzZX19

Daksinargastuti, Menyenandungkan Kembali Syair-syair Kuno Yogyakarta

Daksinargastuti merupakan kegiatan Komunitas Jangkah Nusantara yang meliputi pemetaan, preservasi naskah kuno, bengkel sastra-aksara dan macapat, serta alih aksara manuskrip.
Lihat Rekaman Baca Pengantar
poster diskusi