Karas

Islam, Akses Literasi, dan Pribumisasi: Pelajaran dari Dua Manuskrip Kitab Fikih dengan Terjemah Pégon Jawa Tahun 1610 M

Ini soal proses pendidikan pesantrén di masa lalu. Kita bisa melihatnya dari dua manuskrip fikih dari awal abad ke-17 di Perpustakaan Universitas Amsterdam. Dua dokumen yang kita bahas ini mungkin contoh awal dari asal-usul bentuk pendidikan ala pesantrén.

Kamis, 11 Januari 2024

520 Kali

3 Kali

6 Menit

I ni soal proses pendidikan pesantrén di masa lalu. Kita bisa melihatnya dari dua manuskrip fikih dari awal abad ke-17 di Perpustakaan Universitas Amsterdam. Dua dokumen yang kita bahas ini mungkin contoh awal dari asal-usul bentuk pendidikan ala pesantrén.

Orang-orang banyak berkata bahwa Belanda membawa semua dokumen penting dari tanah air. Ini salah besar tentu. Penjajahan memang menjadikan banyak artefak dan dokumen dari tanah jajahan untuk dibawa ke Ibukota Negara. Tapi tidak semuanya. Di tanah air, di banyak museum, perpustakaan, atau tangan-tangan perorangan, dokumen-dokumen kita masih ada. Soal disimpan atau tidak itu urusan lain. Soal akses yang sulit juga tidak perlu dibahas.

Perubahan Kurikulum

Dua manuskrip yang sekarang tersimpan di Perpustakaan Universitas Amsterdam mengandung informasi praktik akses terhadap ilmu dan metodenya. Keduanya mengandung teks dengan terjemahan gandul utawi-iku dalam aksara pégon. Keduanya sama-sama sebelumnya dimiliki oleh Jan Van Theunisz yang membeli keduanya sekitar tahun 1610. Plus, keduanya sama-sama mengandung teks fikih dari mazhab Syafiʿiyyah.

Manuskrip ini krusial karena mengandung tulisan aksara pégon Jawa yang sangat tua. Proses penanggalan karbon yang akan membantu mengungkapkan seberapa tua manuskrip ini juga sayangnya belum dilakukan. Namun, sayangnya, keduanya belum dikaji secara dengan serius. Tidak heran, kita hanya bisa menemukan deskripsi sangat singkat dalam Handlist of Arabic Manuscripts in the Library of the University of Leiden and Other Collections in the Netherlands (Voorhoeve 1980, h. 122 dan 368). Tanpa memberikan tambahan informasi, Drewes dalam The Admonitions of Seh Bari. A 16th Century Javanese Muslim Text Attributed to the Saint of Bonang (1969, h. 1-2) mengenalkan keduanya sebagai manuskrip yang sangat awal datang ke Eropa dari Nusantara.

Halaman pertama MS I F 31 berisi pembukaan kitab Taqrib disertai dengan makna gandul Jawa. Dok. Penulis
Halaman pertama MS I F 31 berisi pembukaan kitab Taqrib disertai dengan makna gandul Jawa. Dok. Penulis

Manuskrip pertama adalah MS I H 1 yang disalin pada kertas yang umum digunakan di Jawa sejak lama, yaitu daluwang. Manuskrip ini mengandung salinan tidak lengkap kitab fikih legendaris berjudul al-Iā fil fiqh. Dalam sekitar 200 halaman lebih, MS I H 1 mengandung 53 bab fikih dari bersuci (ahārah) hingga sumpah (aimān). Sejauh ini, salinan al-Iḍāḥ yang berhasil diidentifikasi berasal dari Indonesia. Sebagian besar disertai dengan makna gandul Pégon Jawa, dan sebagian kecil dengan makna Jawi Melayu.

Di Jawa, al-Iḍāḥ sejak lama menjadi rujukan utama dalam bidang fikih. Di manuskrip koleksi Thomas Epernius (w. 1624) yang merupakan manuskrip Jawa tertua yang ada di Perpustakaan Universitas Cambridge (Gg. 5. 22) yang berasal tidak lebih muda dari 1609, al-Iḍāḥ sudah disebut sebagai rujukan fikih bersama Muḥarrar dan Matn Abū Syujāʿ yang lebih dikenal dengan Ghāyat al-Taqrīb.1 Di Serat Centhini, yang kemungkinan besar mulai digubah pada 1820-an atas inisiatif Pakubuwana I, al-Iḍāḥ masih disebut sebagai rujukan fikih, kali ini bersama dengan empat kitab lainnya.2

Fakta ini cukup menarik, karena setelah masa itu, paling tidak sejak akhir abad kesembilanbelas, kitab ini tidak disebut sebagai rujukan fikih. Dalam laporan kurikulum pesantrén yang dikumpulkan Snouck Hurgronje dari berbagai pesantrén di Jawa pada tahun 1886, al-Iḍāḥ tidak disebut sama sekali.3 Nasib yang berbeda dengan al-Taqrīb yang terus bertahan hingga hari ini di dunia pesantrén.

Pada manuskrip kedua kita menemukan  bahwa kajian al-Taqrīb sama tuanya dengan al-Iā. Manuskrip berkode MS I F 31 dan berbahan kertas daluwang ini terdiri dari 100-an halaman lebih. Di dalamnya salinan al-Taqrīb juga belum selesai. Dari bab bersuci (ahārah), salinan kitab berakhir pada bab waris (Farāʾi).

Akses Literasi dan Pribumisasi

Dua manuskrip ini menunjukkan bahwa Islam menjadi pendorong pada akses pendidikan di masyarakat. Dengan proses pertukaran ide dari dua bahasa, Arab dan Jawa, proses kajian di masyarakat terjadi. Selain itu, keduanya memberikan gambaran baru mengenai objek ilmu yang disampaikan kepada masyarakat. Selain kajian tasawwuf, seperti tergambar dari dua manuskrip tua dari masa yang sama yang dikaji Drewes,4 kajian fikih di Jawa juga sudah sangat lama dilakukan. Oleh sebab itu, dengan mempertimbangkan kurikulum pendidikan Islam tradisional, Jawa tidak melakukan anomali dengan hanya memperhatikan tasawwuf tanpa shariat. Kita bisa melihat beriringan dengan kajian tasawwuf, Jawa juga melakukan kajian shariat.

Dua manuskrip ini juga menunjukkan semacam bentuk pribumisasinya. Selain menggunakan aksara Pégon dengan bahasa Jawa, yang menunjukkan perkembangan pesat pada proses pembelajaran kitab-kitab Arab dalam konteks lokal, pilihan diksi atas kata-kata Arab yang diberikan juga mengindikasikan aspek lokalitas yang kuat. Misalnya, penerjemahan al-siwāk dengan asusur menunjukkan bahwa bagi orang yang memberikan pengajian, bukanlah hal yang krusial untuk mempertahankan kayu arak sebagai alat membersihkan mulut. Asusur (susuran atau nginang) dengan menggunakan tembakau dan bahan-bahan lokal lainnya sama sunahnya dengan kayu arak.

Raja Tuban di tahun 1601 saat menyambut kedatangan van Neck di pantai di luar kota Tuban. Pada bagian kiri atas kita dapat melihat masjid ( Het Tweede, p. 110). Dok. Penulis
Raja Tuban di tahun 1601 saat menyambut kedatangan van Neck di pantai di luar kota Tuban. Pada bagian kiri atas kita dapat melihat masjid ( Het Tweede, p. 110). Dok. Penulis

Contoh lainnya adalah ketika menerjemahkan kata al-safar. Makna dasarnya dalam konteks fikih adalah “bepergian” atau “dalam perjalanan”. Oleh sebab itu dalam tradisi pesantrén hari ini, ia dimaknai dengan lelungan (bepergian). Seringkali, seperti dalam bab batas jarak bepergian yang memberikan keringanan seseorang untuk bisa menggabungkan dua salat, konteks bepergian yang dimaksud adalah melalui darat. Namun dalam manuskrip kita, kata ini diterjemahkan dengan “alayar” yaitu berlayar. Artinya, di masyarakat dimana kajian kitab fikih ini dilakukan, bepergian jauh yang umum dilakukan adalah melalui jalur laut.

Fakta ini juga memberikan informasi kemungkinan dari mana manuskrip ini berasal. Dalam dua perjalanan paling awal pelaut Belanda ke Nusantara, di daerah-daerah pesisirlah para penjelajah itu berhenti dan berdagang. Kita bisa membatasi kemungkinan ini pada pesisir pantai utara Jawa, seperti Banten, Tuban, dan Madura. Dalam catatan perjalanan kedua ke Nusantara yang dipimpin oleh Jacob Cornelius van Neck pada tahun 1598, dia menyaksikan kemakmuran Tuban sebagai kota pesisir Muslim. Di pantai dan di rumah pemimpin Tuban (dia menyebutnya Raja Tuban), kita bisa melihat hewan transportasi yang digunakan adalah gajah dan kuda, serta bagaimana masjid selalu ada di pantai dan di dalam kota.5

Pada akhirnya, kajian mendalam terkait dua manuskrip ini perlu dilakukan. Misalnya, bisa diungkapkan bagaimana proses pemaknaan Pégon dilakukan di masa awal tersebut. Betapapun, pembacaan awal cukup menunjukkan bahwa kehadiran Islam di masa lalu, menjadi pendorong gerak literasi di masyarakat. Selain itu, keduanya juga menjadi bukti terkait penerimaan atas kebaikan lokal yang berjalan beriringan dengan ajaran universal Islam. Terakhir, masyarakat kita adalah masyarakat pelaut, negara maritim yang menjadikan bepergian melalui laut adalah kewajaran. Dalam kondisi negara kepulauan, transportasi publik laut kita hari ini nampaknya masih jauh dari kondisi membanggakan. Bukan? []

Footnotes

  1. 1. Daneshgar, Majid. “The Oldest Javanese Islamic Text at Cambridge University Library – Cambridge University Library Special Collections,” May 22, 2023. https://specialcollections-blog.lib.cam.ac.uk/?p=25175. ↩︎

  2. 2. Soebardi. “Santri-Religious Elements as Reflected in the Book of Tjentini.” _Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia_ 127, no. 3 (January 1, 1971): 331–49. ↩︎

  3. 3. Leiden Or. 7572 mengandung laporan terkait kurikulum pendidikan agama dari berbagai daerah di Jawa seperti Banten, Kendal, Semarang Jepara, Kedu, Ponorogo, dan Surabaya. Laporan ini bertanggal acak mulai 1883 hingga 1886. Snouck mendapatkan laporan ini dari resident atau bupati setempat. ↩︎

  4. 4. Drewes, Geradus Willebrordus Joannes. _An Early Javanese Code of Muslim Ethics_. The Hague: Nijhoff, 1978. Drewes, G. W. J., ed. _The Admonitions of Seh Bari. A 16th Century Javanese Muslim Text Attributed to the Saint of Bonang Re-Edited and Translated with an Introduction_. Translated by G. W. J. Drewes. Bibliotheca Indonesica 4. The Hague: Martinus Nijhoff, 1969. ↩︎

  5. 5. Jacob Cornelisz van Neck, _Het tweede boeck, Journael oft dagh-register, inhoudende een warachtich verhael ende historische vertellinghe vande reyse, gedaen door de acht schepen van Amstelredamme, gheseylt inden maent martij 1598: Onder ’tbeleydt vanden Admirael Iacob Cornelisz. Neck, ende Wybrant van VVarvvijck als vice-admirael. Van hare gedenckwaerdighste … gheschiedenissen … Midtsgaders … historisch verhael vande plaetsen die sy beseylt hebben inde Molucken … Met achthien coperen platen verciert, met hare beschrijvinghe daer by, ende een vocabulaer_ (Men vintse te coop by Barent Langhenes, boeckvercooper tot Middelburch, 1601). ↩︎


Nur Ahmad

Dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, UIN Walisongo, Semarang. Kandidat PhD Universitas Leiden, Belanda.

n.ahmad@hum.leidenuniv.nl

eyJtYXBfb3B0aW9ucyI6eyJjZW50ZXJfbGF0IjoiLTcuODA1MTM1NjcxOTUxNTUzIiwiY2VudGVyX2xuZyI6IjExMC4zNjQyMTM4Mjg3MzQ2NiIsInpvb20iOjEwLCJtYXBfdHlwZV9pZCI6IlJPQURNQVAiLCJmaXRfYm91bmRzIjp0cnVlLCJkcmFnZ2FibGUiOnRydWUsInNjcm9sbF93aGVlbCI6dHJ1ZSwiZGlzcGxheV80NV9pbWFnZXJ5IjoiIiwibWFya2VyX2RlZmF1bHRfaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL1wvZGVmYXVsdF9tYXJrZXIucG5nIiwiaW5mb3dpbmRvd19zZXR0aW5nIjoiPGRpdiBjbGFzcz1cImZjLWl0ZW0tYm94IGZjLWl0ZW1jb250ZW50LXBhZGRpbmcgXCI+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS10aXRsZVwiPnttYXJrZXJfdGl0bGV9IDxzcGFuIGNsYXNzPVwiZmMtYmFkZ2UgaW5mb1wiPnttYXJrZXJfY2F0ZWdvcnl9PFwvc3Bhbj48XC9kaXY+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1jb250ZW50IGZjLWl0ZW0tYm9keS10ZXh0LWNvbG9yXCI+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1mZWF0dXJlZCBmYy1sZWZ0IGZjLWl0ZW0tdG9wX3NwYWNlXCI+XG4gICAgICAgICAgICB7bWFya2VyX2ltYWdlfVxuICAgICAgICA8XC9kaXY+XG48cD4gICAgICAgIHttYXJrZXJfbWVzc2FnZX1cbiAgICA8XC9wPjxcL2Rpdj5cbjxhZGRyZXNzIGNsYXNzPVwiZmMtdGV4dFwiPnttYXJrZXJfYWRkcmVzc308XC9hZGRyZXNzPlxuPFwvZGl2PlxuIiwiaW5mb3dpbmRvd19ib3VuY2VfYW5pbWF0aW9uIjoiY2xpY2siLCJpbmZvd2luZG93X2Ryb3BfYW5pbWF0aW9uIjpmYWxzZSwiY2xvc2VfaW5mb3dpbmRvd19vbl9tYXBfY2xpY2siOmZhbHNlLCJpbmZvd2luZG93X3NraW4iOnsibmFtZSI6ImRlZmF1bHQiLCJ0eXBlIjoiaW5mb3dpbmRvdyIsInNvdXJjZWNvZGUiOiI8ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1ib3ggZmMtaXRlbWNvbnRlbnQtcGFkZGluZyBcIj5cclxuICAgIDxkaXYgY2xhc3M9XCJmYy1pdGVtLXRpdGxlXCI+e21hcmtlcl90aXRsZX0gPHNwYW4gY2xhc3M9XCJmYy1iYWRnZSBpbmZvXCI+e21hcmtlcl9jYXRlZ29yeX08XC9zcGFuPjxcL2Rpdj5cclxuICAgIDxkaXYgY2xhc3M9XCJmYy1pdGVtLWNvbnRlbnQgZmMtaXRlbS1ib2R5LXRleHQtY29sb3JcIj5cclxuICAgICAgICA8ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1mZWF0dXJlZCBmYy1sZWZ0IGZjLWl0ZW0tdG9wX3NwYWNlXCI+XHJcbiAgICAgICAgICAgIHttYXJrZXJfaW1hZ2V9XHJcbiAgICAgICAgPFwvZGl2PlxyXG4gICAgICAgIHttYXJrZXJfbWVzc2FnZX1cclxuICAgIDxcL2Rpdj5cclxuICAgIDxhZGRyZXNzIGNsYXNzPVwiZmMtdGV4dFwiPnttYXJrZXJfYWRkcmVzc308XC9hZGRyZXNzPlxyXG48XC9kaXY+In0sImRlZmF1bHRfaW5mb3dpbmRvd19vcGVuIjpmYWxzZSwiaW5mb3dpbmRvd19vcGVuX2V2ZW50IjoiY2xpY2siLCJmdWxsX3NjcmVlbl9jb250cm9sIjpmYWxzZSwic2VhcmNoX2NvbnRyb2wiOnRydWUsInpvb21fY29udHJvbCI6dHJ1ZSwibWFwX3R5cGVfY29udHJvbCI6ZmFsc2UsInN0cmVldF92aWV3X2NvbnRyb2wiOmZhbHNlLCJmdWxsX3NjcmVlbl9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJzZWFyY2hfY29udHJvbF9wb3NpdGlvbiI6IlRPUF9MRUZUIiwiem9vbV9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfdHlwZV9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfdHlwZV9jb250cm9sX3N0eWxlIjoiSE9SSVpPTlRBTF9CQVIiLCJzdHJlZXRfdmlld19jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfY29udHJvbCI6dHJ1ZSwibWFwX2NvbnRyb2xfc2V0dGluZ3MiOmZhbHNlLCJtYXBfem9vbV9hZnRlcl9zZWFyY2giOjYsIndpZHRoIjoiIiwiaGVpZ2h0IjoiMzMwIn0sInBsYWNlcyI6W3siaWQiOiIxIiwidGl0bGUiOiJLZXJhdG9uIiwiYWRkcmVzcyI6IktlcmF0b24gSm9namEiLCJzb3VyY2UiOiJtYW51YWwiLCJjb250ZW50IjoiS2VyYXRvbiBOZ2F5b2d5YWthcnRhIEhhZGluaW5ncmF0IGF0YXUgS2VyYXRvbiBZb2d5YWthcnRhIG1lcnVwYWthbiBpc3RhbmEgcmVzbWkgS2VzdWx0YW5hbiBOZ2F5b2d5YWthcnRhIEhhZGluaW5ncmF0IHlhbmcga2luaSBiZXJsb2thc2kgZGkgS290YSBZb2d5YWthcnRhLiBLZXJhdG9uIGluaSBkaWRpcmlrYW4gb2xlaCBTcmkgU3VsdGFuIEhhbWVuZ2t1YnV3YW5hIEkgcGFkYSB0YWh1biAxNzU1IHNlYmFnYWkgSXN0YW5hXC9LZXJhdG9uIFlvZ3lha2FydGEgeWFuZyBiYXJ1IGJlcmRpcmkgYWtpYmF0IHBlcnBlY2FoYW4gTWF0YXJhbSBJc2xhbSBkZW5nYW4gYWRhbnlhIFBlcmphbmppYW4gR2l5YW50aS4gS2VyYXRvbiBpbmkgYWRhbGFoIHBlY2FoYW4gZGFyaSBLZXJhdG9uIFN1cmFrYXJ0YSBIYWRpbmluZ3JhdCBkYXJpIE1hdGFyYW0gSXNsYW0gU3VyYWthcnRhIChLZXJhamFhbiBTdXJha2FydGEpLiBTZWhpbmdnYSBkaW5hc3RpIE1hdGFyYW0gZGl0ZXJ1c2thbiBvbGVoIDIgS2VyYWphYW4geWFrbmkgS2VzdWx0YW5hbiBZb2d5YWthcnRhIGRhbiBLZXN1bmFuYW4gU3VyYWthcnRhLiBUb3RhbCBsdWFzIHdpbGF5YWgga2VzZWx1cnVoYW4ga2VyYXRvbiB5b2d5YWthcnRhIG1lbmNhcGFpIDE0NCBoZWt0YXIsIHlha25pIG1lbGlwdXRpIHNlbHVydWggYXJlYSBkaSBkYWxhbSBiZW50ZW5nIEJhbHV3YXJ0aSwgYWx1bi1hbHVuIExvciwgYWx1bi1hbHVuIEtpZHVsLCBnYXB1cmEgR2xhZGFrLCBkYW4ga29tcGxla3MgTWFzamlkIEdlZGhlIFlvZ3lha2FydGEuIFNlbWVudGFyYSBsdWFzIGRhcmkga2VkaGF0b24gKGludGkga2VyYXRvbikgbWVuY2FwYWkgMTMgaGVrdGFyLiAiLCJsb2NhdGlvbiI6eyJpY29uIjoiaHR0cHM6XC9cL2phbmdrYWguaWRcL3dwLWNvbnRlbnRcL3BsdWdpbnNcL3dwLWdvb2dsZS1tYXAtcGx1Z2luXC9hc3NldHNcL2ltYWdlc1wvXC9kZWZhdWx0X21hcmtlci5wbmciLCJsYXQiOiItNy44MDUxMzU2NzE5NTE1NTMiLCJsbmciOiIxMTAuMzY0MjEzODI4NzM0NjYiLCJjaXR5IjoiWW9neWFrYXJ0YSIsInN0YXRlIjoiRGFlcmFoIElzdGltZXdhIFlvZ3lha2FydGEiLCJjb3VudHJ5IjoiSW5kb25lc2lhIiwib25jbGlja19hY3Rpb24iOiJtYXJrZXIiLCJyZWRpcmVjdF9jdXN0b21fbGluayI6IiIsIm1hcmtlcl9pbWFnZSI6IjxkaXYgY2xhc3M9J2ZjLWZlYXR1cmUtaW1nJz48aW1nIGxvYWRpbmc9J2xhenknIGRlY29kaW5nPSdhc3luYycgYWx0PSdLZXJhdG9uJyBzcmM9J2h0dHBzOlwvXC91cGxvYWQud2lraW1lZGlhLm9yZ1wvd2lraXBlZGlhXC9jb21tb25zXC90aHVtYlwvM1wvMzNcL0tyYXRvbl9Zb2d5YWthcnRhX1BhZ2VsYXJhbi5qcGdcLzEwMjRweC1LcmF0b25fWW9neWFrYXJ0YV9QYWdlbGFyYW4uanBnJyBjbGFzcz0nd3BnbXBfbWFya2VyX2ltYWdlIGZjLWl0ZW0tZmVhdHVyZWRfaW1hZ2UgZmMtaXRlbS1sYXJnZScgXC8+PFwvZGl2PiIsIm9wZW5fbmV3X3RhYiI6InllcyIsInBvc3RhbF9jb2RlIjoiIiwiZHJhZ2dhYmxlIjpmYWxzZSwiaW5mb3dpbmRvd19kZWZhdWx0X29wZW4iOmZhbHNlLCJhbmltYXRpb24iOiJCT1VOQ0UiLCJpbmZvd2luZG93X2Rpc2FibGUiOnRydWUsInpvb20iOjUsImV4dHJhX2ZpZWxkcyI6IiJ9LCJjYXRlZ29yaWVzIjpbeyJpZCI6IiIsIm5hbWUiOiIiLCJ0eXBlIjoiY2F0ZWdvcnkiLCJleHRlbnNpb25fZmllbGRzIjpbXSwiaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL1wvZGVmYXVsdF9tYXJrZXIucG5nIn1dLCJjdXN0b21fZmlsdGVycyI6IiJ9XSwic3R5bGVzIjoiIiwibGlzdGluZyI6IiIsIm1hcmtlcl9jbHVzdGVyIjp7ImdyaWQiOiIxNSIsIm1heF96b29tIjoiMSIsImltYWdlX3BhdGgiOiJodHRwczpcL1wvamFuZ2thaC5pZFwvd3AtY29udGVudFwvcGx1Z2luc1wvd3AtZ29vZ2xlLW1hcC1wbHVnaW5cL2Fzc2V0c1wvaW1hZ2VzXC9tIiwiaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL2NsdXN0ZXJcLzQucG5nIiwiaG92ZXJfaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL2NsdXN0ZXJcLzQucG5nIiwiYXBwbHlfc3R5bGUiOmZhbHNlLCJtYXJrZXJfem9vbV9sZXZlbCI6IjEifSwibWFwX3Byb3BlcnR5Ijp7Im1hcF9pZCI6IjEiLCJkZWJ1Z19tb2RlIjpmYWxzZX19

Daksinargastuti, Menyenandungkan Kembali Syair-syair Kuno Yogyakarta

Daksinargastuti merupakan kegiatan Komunitas Jangkah Nusantara yang meliputi pemetaan, preservasi naskah kuno, bengkel sastra-aksara dan macapat, serta alih aksara manuskrip.
Lihat Rekaman Baca Pengantar
poster diskusi