Skriptorium

Takdir yang Berubah: Syair Kanak-Kanak dalam Perbincangan Awal

Anak-anak, lewat negosiasinya terhadap kekuasaan, bahkan mampu menjungkirbalikkan takdir orang tuanya, yang semula terpanggang di api neraka, lalu terbebas dan merasakan angin surga.

Kamis, 21 Desember 2023

302 Kali

0 Kali

12 Menit

Dalam tulisan ini, saya mendiskusikan sebuah naskah yang memuat teks eskatologis (kehidupan akhirat), yaitu Syair Cerita Kanak’ Mengeluarkan Ibu Bapanya dari dalam Neraka serta Menyongsong Keduanya di Padang Mahsyar (untuk kepentingan teknis disingkat Syair Kanak-Kanak). Diskusi ini diawali dengan ulasan kodikologis dan naratif, lalu dilanjutkan dengan komentar kultural yang memungkinkan untuk dibahas lebih memadai.

Syair Kanak-Kanak merupakan koleksi British Library dan dapat diakses pada laman Endangered Archives Programme (EAP). Naskah ini tergolong ke dalam koleksi EAP153/8, yakni koleksi naskah Islam Raja Fahrul. Teks berbahasa Melayu dan beraksara Jawi. Karena teks ini dicetak, tidak ditulis, karakter aksara yang dihasilkan sangat seragam, rapi, teratur, dan mudah dibaca. Naskah ini berformat buku yang dijilid dengan staples; terdiri dari tiga bagian, yaitu halaman sampul berilustrasi, halaman judul, dan teks. Sampul terdiri atas dua bagian: atas dan bawah. Bagian atas memuat gambar gunung, masjid lengkap dengan menara dan kubah, serta, tampaknya, pohon kurma dalam mode siluet hitam. Bagian bawah bertuliskan judul teks ini, yang juga tertera ulang pada halaman judul. Sementara itu, teks tersurat dalam 15 halaman, tetapi halaman 5 dan 6 tidak ada, entah rusak atau hilang.

Pada laman EAP, dijelaskan bahwa halaman teks berukuran 14 x 9,2 cm; teks dicetak dalam dua bingkai berukuran 14 x 4,6 cm. Secara umum naskah tampak berkondisi baik, tetapi pada sejumlah halaman (12—15) terdapat sobekan yang sedikit mengganggu pembacaan. Pada akhir teks terdapat kolofon yang memuat informasi tempat ruang dan waktu produksi naskah serta pemiliknya sebagai berikut.

Lubuk Kelumpang orang katakan
Hari Jumat orang sebutkan
?-w-h-b-w tiga ratus mula dikatakan

Dusun itu syair dikhatamkan
Lima Rabi’ul Awal mula nambahkan
Empat puluh enam pula tambahkan

Kita menemukan informasi eksplisit bahwa syair ini diproduksi di Lubuk Kelumpang. Sejak 2012 desa ini masuk dalam Kecamatan Saling, tetapi sebelumnya merupakan bagian dari Kecamatan Tebing Tinggi di Sumatera Selatan. Oleh karenanya, pengarang (barangkali juga pencetak), Haji Muhammad Abdullah, mengenalkan dirinya secara eksplisit sebagai orang Tebing Tinggi. Mengenai waktunya, naskah ini selesai diproduksi pada Jumat, 5 Rabiulawal, tetapi untuk tahunnya tidak terbaca karena kertas rusak tepat pada kata ?-w-h-b-w. Saya menduga, yang dimaksud adalah kata seribu, maka didapatkan 1346.

Jika 1 Rabiulawal 1346 hijriah jatuh pada Senin, 29 Agustus 1927 (lihat Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, 2002:66), tanggal penyelesaian naskah ini sama dengan 2 September 1927 atau abad ke-20. Dugaan tahun ini bisa berterima mengingat kedekatannya dengan tahun penomoran registrasi naskah, yaitu 1941 atau 14 tahun kemudian. Penomoran ini menunjukkan bahwa tampaknya, pemilik naskah memiliki sistem penyimpanan naskah atau perpustakaan yang terorganisasi dan terkatalogisasi dengan baik. Bahkan, ia menyadari urgensi hak cipta dengan memperingatkan pembacanya untuk tidak memplagiasi karya ini. Dalam hal kepemilikannya, rupanya terjadi peralihan tangan dari Haji Muhammad Abdullah kepada Raja Fahrul dari Riau dan menjadi koleksi pribadinya (lihat https://eap.bl.uk/project/EAP153). Hal ini bukan hanya soal perpindahan pemilik, melainkan juga ruang dari Palembang ke Riau, yang dapat ditelaah lebih jauh bagaimana perpindahan itu terjadi dan dimungkinkan.

Surga yang Hampa, Negosiasi kepada Tuhan, dan Neraka yang Padam

Teks Syair Kanak-Kanak secara naratif terdiri dari lima bagian. Selain yang pertama (pengantar, hlm. 1—3), pengarang memberikan judul pada bagian kedua hingga kelima, secara berturut-turut, yaitu “Kanak-Kanak Keluar dari dalam Syurga” (hlm. 4, 7, dan sebagian kecil 8), “Kanak-Kanak Bertemu Ayah dan Bunda” (hlm. 8—sebagian kecil 10), “Kanak-Kanak Sedang Cerita dengan Ayah dan Bunda” (hlm. 10—sebagian besar 11), dan “Kanak-Kanak Mencari Ayah dan Bunda” (hlm. 11—15).

Pada bagian pertama, kita ditunjukkan gambaran kenikmatan surga yang diterima oleh anak-anak. Mereka bermain-main dan bersenang hati; makanan dan minuman tidak berputusan diberikan oleh Allah. Mereka mengenakan pakaian yang amat indah, lengkap dengan perhiasan yang gemilang dan bercahaya. Namun, rasa nikmat itu buyar. Mereka bersedih saat mendapati bahwa saat hari Kiamat, ayah dan ibunya tidak selamat sebagaimana tampak pada kutipan ini.

Rusuhya itu terlalu sangat
Ayah dan bunda saja teringat
Ayah dan bunda betapa sifat
Tentu neraka dia berdapat

Sehingga datang hari kiamat
Malam dan siang setiap saat
Dalam dunia kurang ibadat
Tiada ibadat di situ tempat

(Syair Kanak-Kanak, hlm.1)

Ketidakselamatan orang tua, berupa ganjaran neraka yang mereka terima, merupakan konsekuensi eskatologis karena selama di dunia, mereka tidak mendirikan ibadat. Mereka tidak memiliki amal kebajikan yang cukup untuk mengantarkannya ke surga sehingga tidak bisa bertemu dengan anak-anaknya. Narasi ini lebih lanjut mengimplikasikan identitas anak-anak. Anak-anak ini adalah mereka yang telah lama menghuni surga jauh sebelum terjadinya kiamat. Artinya, mereka telah lama meninggal dan meninggalkan alam dunia, termasuk orang tuanya. Mereka sejak lama menikmati surga dan barulah ketika terjadi kiamat, mereka teringat pada orang tua. Narasi semacam ini ditemukan dalam Islam bahwa apabila bayi atau anak-anak yang belum balig meninggal, mereka akan ditempatkan di surga (lihat Harbani, 2023). Adapun selanjutnya, datanglah Jibril sebagai utusan Allah yang menjumpai dan menggiring anak-anak ke Padang Mahsyar untuk menjemput ayah bundanya.

Memasuki bagian kedua, meskipun ada teks yang hilang, bagian ini menarasikan anak-anak yang tengah mencari orang tuanya setelah tiba di padang penantian. Saya meyakini bahwa anak-anak yang dimaksud dalam teks ini adalah mereka yang meninggal ketika berusia bayi atau balita sehingga belum mengenal orang tuanya. Hal tersebut terimplikasikan dari kutipan berikut ini.

Kanak-kanak menjawab dengan berani         
Betulkah engkau ayah dan umi                     
Jawablah kaum dengan sabda                        
Hari apa waktuku ada

Wahailah kaum yang lalu ini
Kami bertanya sekarang ini
Sebenarlah engkau ayah dan bunda
Waktu matiku terangkan pula

(Syair Kanak-Kanak, hlm. 7)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa anak-anak tidak mengenali siapa dan mana orang tuanya sehingga mereka mengajukan pertanyaan tentang kapan mereka lahir dan kapan mereka mati. Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi jalan untuk menemukan orang tuanya. Di padang itu, mereka juga menjumpai seluruh manusia yang dikumpulkan untuk menunggu pembalasan. Dalam kondisi tersebut, saya menduga pada halaman yang hilang, mereka menemui satu demi satu kaum di tempat tersebut, kemudian mengajukan pertanyaan yang sama. Dugaan ini saya dasarkan pada fakta bahwa pada hlm. 8, akhirnya mereka baru bertemu dengan orang tuanya.

Selanjutnya, secara naratif, pembaca dibawa pada bagian ketiga, yakni “Kanak-Kanak Bertemu Ayah dan Bunda”. Bagian ini menceritakan percakapan orang tua dan anak-anak yang terpisah oleh kematian. Orang tua digambarkan sangat mengasihi anaknya. Mereka begitu bersedih ketika menyaksikan jasad anak-anaknya dimasukkan ke liang kubur sehingga selama di dunia, tubuh mereka kurus kering akibat menangis, memikirkan, dan mengenang sang buah hati yang telah tiada. Dalam perjumpaan ini, anak-anak juga menolong orang tuanya dari lelahnya penantian di Padang Mahsyar dengan membawakan air yang manis dan sejuk dalam kendi. Orang tua juga merasa senang menyaksikan anak-anaknya berpakaian indah rupawan karena selama di surga diberikan kenikmatan oleh Allah dan dirawat oleh bidadari.

Setelah berjumpa dan bercerita, narasi beralih pada perintah Allah kepada Jibril untuk menggiring semua manusia ke Padang Mahsyar karena pengadilan akan segera diberikan. Maka dari itu, nyata sudah siapa yang menikmati surga dan yang mendekam di neraka. Dengan judul yang tertulis “Kanak-Kanak Sedang Cerita dengan Ayah dan Bunda”, judul ini sama sekali tidak menggambarkan isi cerita. Pada bagian ini, narator cenderung menghadirkan Tuhan dan malaikatnya sebagai aktor yang bertindak dalam kesinambungan cerita. Bersama Allah dan Jibril, anak-anak kembali menjadi aktor utama dalam syair pada pungkasan, yaitu “Kanak-Kanak Mencari Ayah dan Bunda”. Ketika tidak menjumpai orang tuanya, mereka sadar bahwa orang tuanya telah dimasukkan ke dalam neraka. Mereka pun menangis lantaran teringat kebajikan ayah dan bunda yang telah bersusah payah merawatnya.

Kanak-kanak menangis lalu menggarung
Masa di dunia kami dibedung
Wahailah bunda untung yang malang
Mengasuh kami tinggal sembahyang
Masa di dunia beranak susah
Mengais kain ingus dan mutah

Wahailah ayah bunda kandung
Kini bercerai diburuk untu[ng]
Masa di dunia berapa sayang
Kini bercerai diuntung malang
Mengasuh kami sangatlah payah
Tinggal sembahyang karena susah

(Syair Kanak-Kanak, hlm. 12)

Kutipan di atas memperlihatan argumentasi anak-anak bahwa orang tuanya tidak layak dimasukkan ke neraka. Mereka tidak mendirikan ibadat bukan karena malas, melainkan karena selama di dunia bersusah payah mengasuh dan merawat anak-anaknya. Menangis dan menyebutkan jasa baik ini ialah jalan negosiasi kepada Allah untuk mengubah ketetapannya—mengangkat orang tuanya dari api neraka. Bahkan, negosiasi dilontarkan lebih keras dan radikal ketika anak-anak meminta kepada Allah agar mereka dimasukkan saja ke neraka agar berenang dalam api jika Allah tidak mengampuni orang tuanya.

Mendengar hal itu, Allah pun akhirnya memerintahkan Jibril membawa anak-anak untuk pergi ke neraka mengeluarkan orang tuanya. Setelah itu, api neraka menjadi hangat dan berangsur-angsur dingin. Lantas, anak-anak dan orang tuanya pergi menyucikan diri di sungai yang terletak di Bukit Arafah, sebuah bukit yang mengantarai surga dan neraka, kenikmatan dan siksa. Mereka pun akhirnya masuk ke dalam dan hidup bersama-sama di surga Janah Al-Manan yang penuh dengan kenikmatan.

Syair Didaktik di antara Tradisi dan Politik Kolonial

Uraian di atas menunjukkan bahwa aspek kodikologis, seperti sampul yang bergambar masjid, dan bangunan naratif terhubung dan menegaskan bahwa teks ini adalah teks Islam dengan kehidupan akhirat sebagai muatan utamanya. Daripada membatasi Syair Kanak-Kanak sebagai syair religius-mistik seperti pendapat Braginsky (2004:363—364), saya menyetujui pendapat Gallop (2020:106) yang menyebutnya syair didaktik bagi anak-anak. Artinya, narasi kehidupan akhirat menjadi topik pengajaran. Namun, Gallop tidak menawarkan argumentasi apa pun untuk menjelaskan mengapa anak-anak menjadi sasaran pembaca syair ini. Mengapa anak-anak?

Perbincangan naratif sebelumnya dengan jelas menunjukkan bahwa anak-anak adalah subjek yang diutamakan sebagai aktor dalam cerita. Dalam kaitannya dengan Allah, malaikat, dan orang tua, anak-anak secara aktif dan emansipatif bernegosiasi dengan Allah yang dalam literatur keagamaan disebut sebagai kekuatan yang mengatur alam semesta dan segala hal yang terjadi merupakan kehendak-Nya. Anak-anak, lewat negosiasinya terhadap kekuasaan, bahkan mampu menjungkirbalikkan takdir orang tuanya, yang semula terpanggang di api neraka, lalu terbebas dan merasakan angin surga. Oleh sebab itu, adalah wajar dan masuk akal apabila teks syair yang mendudukkan subjek anak-anak diberikan kepada anak-anak sebagai bahan bacaan dan bahan pengajaran. Boleh jadi teks ini ditujukan untuk mengajarkan peran dan keutamaan anak-anak—tentu saja mereka yang saleh, yang kelak menjadi sumber keselamatan bagi orang tuanya di akhirat.

Selain argumentasi naratif, penggunaan syair ini bagi anak-anak juga terimplikasikan sedikit banyak dari aspek kodikologis. Sebagaimana dikemukakan, naskah ini hanya memuat 15 halaman—naskah yang tipis dengan syair yang singkat. Tebal-tipis ini bukan tanpa alasan. Menurut saya, karena diperuntukkan bagi anak-anak, pilihan teks yang singkat memungkinkan anak-anak lebih fleksibel menyambut, menerima, dan memahami substansinya. Pilihan untuk menghasilkan teks yang singkat, dengan demikian, bukan alasan teknis, melainkan kepekaan dan pemahaman tentang pembaca yang disasar. Selanjutnya, yang dapat dibincangkan adalah di mana syair ini digunakan sebagai media didaktisme bagi anak-anak. Persoalan ini penting dengan menempatkan teks ini dalam konteks yang lebih luas, yaitu relasi dan kontinuitas tradisi tulis ke tradisi cetak serta perkembangan pendidikan di Palembang pada abad ke-20.

Dalam tulisan awal ini, saya berpendapat bahwa Syair Kanak-Kanak digunakan pada pendidikan formal, yang tidak terpisahkan dari politik pendidikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Menurut Hadijah bte Rahmat (1996: 66), sejalan dengan teknologi percetakan, teks-teks tradisional, yang dihasilkan oleh tradisi tulis, dipindahkan ke media cetak untuk memenuhi kebutuhan bahan bacaan di sekolah. Syair merupakan genre utama yang disajikan ulang dalam bentuk tercetak karena genre ini menjangkau semua lapisan masyarakat atau audiens (Hadijah bte Rahmat, 1996:67). Syair Kanak-Kanak, dengan demikian, boleh jadi ialah salinan-cetak dari teks tulis. Hal ini diperlukan eksplorasi lebih jauh.

Perkembangan tradisi cetak di atas beririsan dengan pendidikan agama formal ketika pengajaran agama pada abad ke-20 mulai terinstitusionalisasi. Institusi pendidikan Islam yang formal lahir dalam bentuk sistem pendidikan pemerintah pada 1925 oleh pemerintah kolonial (Suradi, 2022:63). Oleh karena itu, kita menemukan hubungan logis antara waktu produksi naskah, yaitu 1927, dengan waktu pendirian lembaga formal, yang keduanya hanya berjarak dua tahun. Hal ini makin membuktikan kemungkinan bahwa teks ini digunakan sebagai bahan pengajaran di sekolah formal.

Selanjutnya, penting untuk mempertimbangkan mengapa naskah teregistrasi oleh Haji Muhammad Abdullah pada 1941. Apakah Haji Muhammad Abdullah adalah penulis-pencetak naskah, lalu menyerahkan naskah ini kepada pemerintah kolonial sebagai patronnya—relasi patron-klien antara penulis-penyalin dan pemerintah kolonial yang bertahan hingga abad ke-19 seperti di Batavia (Jakarta)? Atau, jika nomor registrasi ini menandai kepemilikannya, mungkinkah terjadi perubahan fungsi naskah dari pendidikan formal ke pendidikan nonformal, dalam arti beliau menjadikan naskah ini sebagai media pengajaran di luar sekolah? Pertanyaan ini bisa digarisbawahi karena sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, agama diajarkan di rumah dalam konteks di Palembang (Suradi, 2022:62). Barangkali tradisi pendidikan ini tetap bertahan dan bertumpang tindih dengan tradisi pendidikan formal kolonial pada dekade-dekade berikutnya sepanjang abad ke-20.

Penjelajahan Lebih Lanjut

Akhirnya, hanya dengan menyajikan ulasan kodikologis, naratif, dan kontekstual tanpa pegangan teoretik dan metodologis yang ketat, saya semata-mata memaksudkan tulisan ini sebagai kajian awal untuk menguraikan substansi dan kedudukan teks ini dalam konteks yang sedikit lebih luas secara dialektik. Saya meyakini kajian tekstual yang lebih mendalam bisa dilakukan atas teks ini, terutama, yang menarik, melihat pensubjekkan anak-anak—sesuatu yang bagi saya tidak banyak disorot dalam perbincangan tradisi sastra Melayu. Perbandingan lintas teks dan bahkan lintas tradisi juga menjanjikan untuk ditelaah agar teks ini memiliki dan mendapatkan pemaknaan yang signifikan. Demikian pula, uraian-uraian di atas memungkinkan untuk dibelah menjadi beberapa cabang, yang bisa dilalui untuk penjelajahan filologis yang lebih luas dan mendalam bagi peneliti-peneliti sastra Melayu berikutnya.[]

Daftar Pustaka

Gallop, Annabel Teh. 2020. “Shifting Landscapes: Remapping the Writing Traditions of Islamic Southeast Asia through Digitisation”. Humaniora, 32(2):97—109.

Braginsky, Vladimir. 2004. The Heritage of Traditional Malay Literature: A historical survey of genres, writings and literary views. Leiden: KITLV Press.

Direktorat Pembinaan Peradilan Agama. 2002. Perbandingan Tarikh Tahun 1800—2001. Jakarta: Direktorat Pembinaan Peradilan Agama.

Hadijah bte Rahmat. 1996. “ The Printing Press and the Changing Concepts of Literature, Authorship and Notions of Self in Malay Literature”. Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, 69(1) (270):64—84.

Haji Muhammad Abdullah. 1346 H atau 1927 M [1941]. Syair Cerita Kanak’ Mengeluarkan Ibu Bapanya dari dalam Neraka serta Menyongsong Keduanya di Padang Mahsyar. British Library, Endangered Archives Programme, Riau manuscripts: the gateway to the Malay intellectual world, Raja Fahrul Collection of Islamic Manuscripts. Diakses dari https://eap.bl.uk/archive-file/EAP153-8-7.

Harbani, Rahma. 2023, Januari 10. “Nasib Akhir Bayi dan Anak-anak yang Wafat Sebelum Baligh”. Detik. Diakses dari https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-6506534/nasib-akhir-bayi-dan-anak-anak-yang-wafat-sebelum-baligh.

Riau manuscripts: the gateway to the Malay intellectual world (EAP153). Diakses dari https://eap.bl.uk/project/EAP153.

Suradi, A. 2022. “The Social, Political, and Cultural Perspective of Islamic Education in Palembang Malay”. Journal of Ethnic and Cultural Studies, 9(3):56—71.



Ricko Nur Ardi Windayanto

Alumnus dan asisten peneliti di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Belajar filologi Melayu.

riqko.nur.ardi@mail.ugm.ac.id

eyJtYXBfb3B0aW9ucyI6eyJjZW50ZXJfbGF0IjoiLTcuODA1MTM1NjcxOTUxNTUzIiwiY2VudGVyX2xuZyI6IjExMC4zNjQyMTM4Mjg3MzQ2NiIsInpvb20iOjEwLCJtYXBfdHlwZV9pZCI6IlJPQURNQVAiLCJmaXRfYm91bmRzIjp0cnVlLCJkcmFnZ2FibGUiOnRydWUsInNjcm9sbF93aGVlbCI6dHJ1ZSwiZGlzcGxheV80NV9pbWFnZXJ5IjoiIiwibWFya2VyX2RlZmF1bHRfaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL1wvZGVmYXVsdF9tYXJrZXIucG5nIiwiaW5mb3dpbmRvd19zZXR0aW5nIjoiPGRpdiBjbGFzcz1cImZjLWl0ZW0tYm94IGZjLWl0ZW1jb250ZW50LXBhZGRpbmcgXCI+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS10aXRsZVwiPnttYXJrZXJfdGl0bGV9IDxzcGFuIGNsYXNzPVwiZmMtYmFkZ2UgaW5mb1wiPnttYXJrZXJfY2F0ZWdvcnl9PFwvc3Bhbj48XC9kaXY+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1jb250ZW50IGZjLWl0ZW0tYm9keS10ZXh0LWNvbG9yXCI+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1mZWF0dXJlZCBmYy1sZWZ0IGZjLWl0ZW0tdG9wX3NwYWNlXCI+XG4gICAgICAgICAgICB7bWFya2VyX2ltYWdlfVxuICAgICAgICA8XC9kaXY+XG48cD4gICAgICAgIHttYXJrZXJfbWVzc2FnZX1cbiAgICA8XC9wPjxcL2Rpdj5cbjxhZGRyZXNzIGNsYXNzPVwiZmMtdGV4dFwiPnttYXJrZXJfYWRkcmVzc308XC9hZGRyZXNzPlxuPFwvZGl2PlxuIiwiaW5mb3dpbmRvd19ib3VuY2VfYW5pbWF0aW9uIjoiY2xpY2siLCJpbmZvd2luZG93X2Ryb3BfYW5pbWF0aW9uIjpmYWxzZSwiY2xvc2VfaW5mb3dpbmRvd19vbl9tYXBfY2xpY2siOmZhbHNlLCJpbmZvd2luZG93X3NraW4iOnsibmFtZSI6ImRlZmF1bHQiLCJ0eXBlIjoiaW5mb3dpbmRvdyIsInNvdXJjZWNvZGUiOiI8ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1ib3ggZmMtaXRlbWNvbnRlbnQtcGFkZGluZyBcIj5cclxuICAgIDxkaXYgY2xhc3M9XCJmYy1pdGVtLXRpdGxlXCI+e21hcmtlcl90aXRsZX0gPHNwYW4gY2xhc3M9XCJmYy1iYWRnZSBpbmZvXCI+e21hcmtlcl9jYXRlZ29yeX08XC9zcGFuPjxcL2Rpdj5cclxuICAgIDxkaXYgY2xhc3M9XCJmYy1pdGVtLWNvbnRlbnQgZmMtaXRlbS1ib2R5LXRleHQtY29sb3JcIj5cclxuICAgICAgICA8ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1mZWF0dXJlZCBmYy1sZWZ0IGZjLWl0ZW0tdG9wX3NwYWNlXCI+XHJcbiAgICAgICAgICAgIHttYXJrZXJfaW1hZ2V9XHJcbiAgICAgICAgPFwvZGl2PlxyXG4gICAgICAgIHttYXJrZXJfbWVzc2FnZX1cclxuICAgIDxcL2Rpdj5cclxuICAgIDxhZGRyZXNzIGNsYXNzPVwiZmMtdGV4dFwiPnttYXJrZXJfYWRkcmVzc308XC9hZGRyZXNzPlxyXG48XC9kaXY+In0sImRlZmF1bHRfaW5mb3dpbmRvd19vcGVuIjpmYWxzZSwiaW5mb3dpbmRvd19vcGVuX2V2ZW50IjoiY2xpY2siLCJmdWxsX3NjcmVlbl9jb250cm9sIjpmYWxzZSwic2VhcmNoX2NvbnRyb2wiOnRydWUsInpvb21fY29udHJvbCI6dHJ1ZSwibWFwX3R5cGVfY29udHJvbCI6ZmFsc2UsInN0cmVldF92aWV3X2NvbnRyb2wiOmZhbHNlLCJmdWxsX3NjcmVlbl9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJzZWFyY2hfY29udHJvbF9wb3NpdGlvbiI6IlRPUF9MRUZUIiwiem9vbV9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfdHlwZV9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfdHlwZV9jb250cm9sX3N0eWxlIjoiSE9SSVpPTlRBTF9CQVIiLCJzdHJlZXRfdmlld19jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfY29udHJvbCI6dHJ1ZSwibWFwX2NvbnRyb2xfc2V0dGluZ3MiOmZhbHNlLCJtYXBfem9vbV9hZnRlcl9zZWFyY2giOjYsIndpZHRoIjoiIiwiaGVpZ2h0IjoiMzMwIn0sInBsYWNlcyI6W3siaWQiOiIxIiwidGl0bGUiOiJLZXJhdG9uIiwiYWRkcmVzcyI6IktlcmF0b24gSm9namEiLCJzb3VyY2UiOiJtYW51YWwiLCJjb250ZW50IjoiS2VyYXRvbiBOZ2F5b2d5YWthcnRhIEhhZGluaW5ncmF0IGF0YXUgS2VyYXRvbiBZb2d5YWthcnRhIG1lcnVwYWthbiBpc3RhbmEgcmVzbWkgS2VzdWx0YW5hbiBOZ2F5b2d5YWthcnRhIEhhZGluaW5ncmF0IHlhbmcga2luaSBiZXJsb2thc2kgZGkgS290YSBZb2d5YWthcnRhLiBLZXJhdG9uIGluaSBkaWRpcmlrYW4gb2xlaCBTcmkgU3VsdGFuIEhhbWVuZ2t1YnV3YW5hIEkgcGFkYSB0YWh1biAxNzU1IHNlYmFnYWkgSXN0YW5hXC9LZXJhdG9uIFlvZ3lha2FydGEgeWFuZyBiYXJ1IGJlcmRpcmkgYWtpYmF0IHBlcnBlY2FoYW4gTWF0YXJhbSBJc2xhbSBkZW5nYW4gYWRhbnlhIFBlcmphbmppYW4gR2l5YW50aS4gS2VyYXRvbiBpbmkgYWRhbGFoIHBlY2FoYW4gZGFyaSBLZXJhdG9uIFN1cmFrYXJ0YSBIYWRpbmluZ3JhdCBkYXJpIE1hdGFyYW0gSXNsYW0gU3VyYWthcnRhIChLZXJhamFhbiBTdXJha2FydGEpLiBTZWhpbmdnYSBkaW5hc3RpIE1hdGFyYW0gZGl0ZXJ1c2thbiBvbGVoIDIgS2VyYWphYW4geWFrbmkgS2VzdWx0YW5hbiBZb2d5YWthcnRhIGRhbiBLZXN1bmFuYW4gU3VyYWthcnRhLiBUb3RhbCBsdWFzIHdpbGF5YWgga2VzZWx1cnVoYW4ga2VyYXRvbiB5b2d5YWthcnRhIG1lbmNhcGFpIDE0NCBoZWt0YXIsIHlha25pIG1lbGlwdXRpIHNlbHVydWggYXJlYSBkaSBkYWxhbSBiZW50ZW5nIEJhbHV3YXJ0aSwgYWx1bi1hbHVuIExvciwgYWx1bi1hbHVuIEtpZHVsLCBnYXB1cmEgR2xhZGFrLCBkYW4ga29tcGxla3MgTWFzamlkIEdlZGhlIFlvZ3lha2FydGEuIFNlbWVudGFyYSBsdWFzIGRhcmkga2VkaGF0b24gKGludGkga2VyYXRvbikgbWVuY2FwYWkgMTMgaGVrdGFyLiAiLCJsb2NhdGlvbiI6eyJpY29uIjoiaHR0cHM6XC9cL2phbmdrYWguaWRcL3dwLWNvbnRlbnRcL3BsdWdpbnNcL3dwLWdvb2dsZS1tYXAtcGx1Z2luXC9hc3NldHNcL2ltYWdlc1wvXC9kZWZhdWx0X21hcmtlci5wbmciLCJsYXQiOiItNy44MDUxMzU2NzE5NTE1NTMiLCJsbmciOiIxMTAuMzY0MjEzODI4NzM0NjYiLCJjaXR5IjoiWW9neWFrYXJ0YSIsInN0YXRlIjoiRGFlcmFoIElzdGltZXdhIFlvZ3lha2FydGEiLCJjb3VudHJ5IjoiSW5kb25lc2lhIiwib25jbGlja19hY3Rpb24iOiJtYXJrZXIiLCJyZWRpcmVjdF9jdXN0b21fbGluayI6IiIsIm1hcmtlcl9pbWFnZSI6IjxkaXYgY2xhc3M9J2ZjLWZlYXR1cmUtaW1nJz48aW1nIGxvYWRpbmc9J2xhenknIGRlY29kaW5nPSdhc3luYycgYWx0PSdLZXJhdG9uJyBzcmM9J2h0dHBzOlwvXC91cGxvYWQud2lraW1lZGlhLm9yZ1wvd2lraXBlZGlhXC9jb21tb25zXC90aHVtYlwvM1wvMzNcL0tyYXRvbl9Zb2d5YWthcnRhX1BhZ2VsYXJhbi5qcGdcLzEwMjRweC1LcmF0b25fWW9neWFrYXJ0YV9QYWdlbGFyYW4uanBnJyBjbGFzcz0nd3BnbXBfbWFya2VyX2ltYWdlIGZjLWl0ZW0tZmVhdHVyZWRfaW1hZ2UgZmMtaXRlbS1sYXJnZScgXC8+PFwvZGl2PiIsIm9wZW5fbmV3X3RhYiI6InllcyIsInBvc3RhbF9jb2RlIjoiIiwiZHJhZ2dhYmxlIjpmYWxzZSwiaW5mb3dpbmRvd19kZWZhdWx0X29wZW4iOmZhbHNlLCJhbmltYXRpb24iOiJCT1VOQ0UiLCJpbmZvd2luZG93X2Rpc2FibGUiOnRydWUsInpvb20iOjUsImV4dHJhX2ZpZWxkcyI6IiJ9LCJjYXRlZ29yaWVzIjpbeyJpZCI6IiIsIm5hbWUiOiIiLCJ0eXBlIjoiY2F0ZWdvcnkiLCJleHRlbnNpb25fZmllbGRzIjpbXSwiaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL1wvZGVmYXVsdF9tYXJrZXIucG5nIn1dLCJjdXN0b21fZmlsdGVycyI6IiJ9XSwic3R5bGVzIjoiIiwibGlzdGluZyI6IiIsIm1hcmtlcl9jbHVzdGVyIjp7ImdyaWQiOiIxNSIsIm1heF96b29tIjoiMSIsImltYWdlX3BhdGgiOiJodHRwczpcL1wvamFuZ2thaC5pZFwvd3AtY29udGVudFwvcGx1Z2luc1wvd3AtZ29vZ2xlLW1hcC1wbHVnaW5cL2Fzc2V0c1wvaW1hZ2VzXC9tIiwiaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL2NsdXN0ZXJcLzQucG5nIiwiaG92ZXJfaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL2NsdXN0ZXJcLzQucG5nIiwiYXBwbHlfc3R5bGUiOmZhbHNlLCJtYXJrZXJfem9vbV9sZXZlbCI6IjEifSwibWFwX3Byb3BlcnR5Ijp7Im1hcF9pZCI6IjEiLCJkZWJ1Z19tb2RlIjpmYWxzZX19

Daksinargastuti, Menyenandungkan Kembali Syair-syair Kuno Yogyakarta

Daksinargastuti merupakan kegiatan Komunitas Jangkah Nusantara yang meliputi pemetaan, preservasi naskah kuno, bengkel sastra-aksara dan macapat, serta alih aksara manuskrip.
Lihat Rekaman Baca Pengantar
poster diskusi