Karas

Meneladani Keutamaan Wanita dari Naskah Dhasaring Putri Titiga

        Naskah kuno yang dituliskan oleh leluhur-leluhur kita memuat banyak ajaran atau piwulang luhur yang dapat kita pelajari. Piwulang yang banyak terekam dalam naskah kuno di antaranya adalah piwulang tentang wanita. Salah satu naskah yang mencatat hal tersebut adalah naskah Dhasaring Putri Titiga. Naskah ini merupakan salah satu koleksi Perpustakaan Nasional

Kamis, 22 Desember 2022

135 Kali

4 Kali

7 Menit

        Naskah kuno yang dituliskan oleh leluhur-leluhur kita memuat banyak ajaran atau piwulang luhur yang dapat kita pelajari. Piwulang yang banyak terekam dalam naskah kuno di antaranya adalah piwulang tentang wanita. Salah satu naskah yang mencatat hal tersebut adalah naskah Dhasaring Putri Titiga. Naskah ini merupakan salah satu koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan kode koleksi NB 1091.

        Naskah Dhasaring Putri Titiga berukuran 10,5 x 17 cm dan berjumlah 28 halaman. Berdasarkan kolofon dapat diketahui bahwa naskah ini ditulis pada hari Jumat, 7 Agustus 1942. Nama penulis naskah kurang terbaca jelas karena berupa guratan tanda tangan beraksara Jawa dan hanya terbaca “Pratik…”. Meskipun tergolong naskah yang tipis namun naskah ini berisikan piwulang penting yang masih relevan dengan zaman sekarang, terutama bagi para wanita.

        Naskah ini berisikan tentang teladan sifat-sifat keutamaan bagi seorang wanita yang dicontohkan oleh tiga tokoh wanita wayang purwa. Ketiga tokoh wayang wanita tersebut adalah putri-putri Prabu Salya dari kerajaan Mandraka, yaitu (1) Dewi Erawati, (2) Dewi Surtikanthi, dan (3) Dewi Banuwati. Sifat dari masing-masing tokoh tersebut dijelaskan sebagai berikut.Dewi Erawati

        Dewi Erawati merupakan putri sulung Prabu Salya raja Negara Mandraka dengan permaisuri Dewi Setyawati, putri tunggal Bagawan Bagaspati dari pertapaan Argabelah. Menurut cerita pedalangan, Dewi Erawati menikah dengan Prabu Baladewa, raja Negara Mandura. Pada wayang kulit purwa, Dewi Erawati digambarkan memiliki muka yang luruh (menunduk), berwatak halus, tenang, dan bersahaja. Dalam teks Dhasaring Putri Titiga, Dewi Erawati digambarkan memiliki sifat sebagai berikut.

Dewi Erawati punika manawi mangagěm inggih sarwa prasaja, satindak-tandukipun sarwa sareh, (h.3) ragi awis ing pangandika, lumuh ngandikan ingkang botěn prělu, esěmipun namung kala-kala, awis kamirěngan suwaraning gujěngipun.

Terjemahan:

Dewi Erawati itu apabila berpenampilan serba sederhana. Tindak-tanduknya tenang. Agak jarang berbicara (dan) malas berkata yang tidak perlu. Senyumnya hanya kadang-kadang, (dan) jarang terdengar suara tawanya.

        Berdasarkan teks tersebut, jelaslah bahwa Dewi Erawati merupakan sosok wanita yang sederhana, lembut, tenang, berbicara seperlunya, serta tidak berlebihan dalam tertawa. Sifat-sifat yang demikian sangat baik untuk diteladani bagi para wanita di zaman sekarang. Meskipun tentu tidak mudah untuk meniru semua sifat tersebut karena masing-masing orang memiliki watak dasar dan pembawaan masing-masing. Pada teks juga dijelaskan bahwa apabila diterapkan di zaman sekarang, sifat kurang bicara kerap kali membuat orang salah sangka.

upami cara ajaman pasrawungan kados ing sapunika, kěrěp adaměl kěcelikipun tiyang ing pajagongan, awit tumrap ingkang dereng suměrěp, adhakan tampi pangina, botěn suměrěp manawi ngandhut kawruh linangkung.

Terjemahan:

seumpama cara bergaul di zaman sekarang, sering membuat salah sangka orang dalam percakapan. Sebab bagi yang belum mengerti, sering kali (dianggap) mendapat penghinaan. Tidak mengerti apabila (hal itu) mengandung ajaran luhur.

        Meskipun piwulang-piwulang tersebut sebenarnya baik, terkadang orang lain yang belum tahu akan salah memahami. Oleh karena itu, kiranya perlu memberikan pemahaman terhadap orang yang belum tahu agar tidak salah sangka. Akan tetapi, bagi orang yang telah memahami piwulang tersebut, seorang wanita yang meneladani watak Dewi Erawati akan sangat dihormati dan jarang digosipkan. Dewi Erawati pun ketika menjadi permaisuri Mandraka sangat dihormati dan menjadi yang dituakan.

Dewi Surtikanthi

        Dewi Surtikanthi merupakan putri penengah Prabu Salya, raja Mandaraka. Bentuk wayang Dewi Surtikanthi seperti kakaknya, yakni bermuka luruh. Dalam cerita pedalangan, Dewi Surtikanthi tidak banyak dibicarakan, kecuali sebelum dan menjelang pernikahannya dengan Prabu Karna. Setelah menikah ia lebih sering menjadi pelengkap pada saat adegan jejeran. Dalam teks Dhasaring Putri Titiga, Dewi Surtikanthi digambarkan memiliki sifat sebagai berikut.

kados kenging kangge pamawas, bilih Dewi Surtikanthi punika putri ingkang kirang pasrawungan. Aděging kaputrenipun namung wontěn ing kadhaton, sagěd měngku dhatěng para santana, nanging botěn sagěd ngasrěpi.

Terjemahan:

seperti dapat dijadikan contoh, bahwa Dewi Surtikanthi itu putri yang kurang bersosialisasi. Tegaknya keputriannya hanya ada di istana. (Ia) dapat memimpin para kerabat istana, akan tetapi tidak dapat menyejukkan (hati).

        Berdasarkan kutipan teks di atas, dapat diketahui bahwa Dewi Surtikanthi memiliki watak yang kurang dapat bergaul atau bersosialisasi. Oleh karena itu, meskipun ia dapat memimpin rakyatnya namun tidak dapat memberikan kesejukan hati. Hal ini dapat dijadikan pelajaran tentang pentingnya bersosialisasi dengan orang lain.

        Teks Dhasaring Putri Titiga juga menyebutkan bahwa Dewi Surtikanthi memiliki sifat senang terhadap harta benda serta pelit. Akan tetapi, ternyata hal tersebut didasarkan ucapan iri Dewi Banuwati kepada kakaknya. Berikut ini kutipan teksnya.

Dewi Surtikanthi dipunwastani cěthil, dados měnggah ing nalar Dewi Surtikanthi punika sawarnining tindakipun sarwa ngatos-atos, punapa tindak ingkang kados makatěn punika dipunwastani awon, malah manawi dipun manah yěktos, ingkang dipunwastani awon punika tiyang ingkang nacad dhatěng tindak kados makatěn wa-(h.12)-u, limrahipun namung saking ewa dhatěng tiyang sugih. Měnggah wosipun wawatěkanipun Dewi Surtikanthi punika ugi dados jějěr ingkang dipunwastani sae.

Terjemahan:

Dewi Surtikanthi disebut pelit, sehingga apabila dinalar Dewi Surtikanthi itu segala perbuatannya selalu dengan hati-hati. Apakah perbuatan yang seperti itu disebut buruk? Justru apabila diresapi sungguh, yang disebut buruk itu (adalah) orang yang menghina terhadap perbuatan yang demikian tadi. Umumnya (orang tersebut) hanya karena saking iri terhadap orang kaya. Adapun inti watak Dewi Surtikanthi tersebut juga menjadi tokoh yang disebut baik.

        Berdasarkan teks di atas, dapat diketahui bahwa sifat Dewi Surtikanthi sebenarnya adalah baik, yakni selalu berhati-hati dalam bertindak. Dari teks tersebut pula dapat diambil pelajaran bahwa dalam hidup ini pasti ada orang yang iri dan tidak suka terhadap pencapaian kita. Oleh karenanya, tergantung bagaimana kita menyikapinya.

Dewi Banuwati

        Dewi Banuwati merupakan putri Prabu Salya yang paling muda. Tidak seperti kedua kakaknya, bentuk muka wayang Dewi Banuwati ialah lanyap (mendongak). Dalam pewayangan ia diceritakan menikah dengan Prabu Duryudana raja negara Ngastina. Diibaratkan bahwa dalam satu kotak wayang, tidak ada wayang putri yang sering dibicarakan seperti Dewi Banuwati. Segala pujian yang bagus diberikan kepada Dewi Banuwati. Semua tindak-tanduk Dewi Banuwati serba pantas. Pakaian apa pun apabila dikenakan Dewi Banuwati akan nampak indah. Dalam teks Dhasaring Putri Titiga dituliskan pujian seorang pujangga kepada Dewi Banuwati dengan tembang macapat Dhandhanggula, sebagai berikut.

Bombrong bae rětna Banuwati/ ruweg-ruweg kalung kasěměkan/ mundhak rong dina ayune/ basěngut dadi patut/ gonas-ganes nenes mantěsi/ kabeh dadi wiraga/ salewa-(h.16)-ne patut/ tanpa ganda tanpa sěkar/ suprandene arum sědhěpe ngeběki, sakaton Nganstina//

Terjemahan:

Belum dandan saja Dewi Banuwati, acak-acakan rambutnya, berkalung, (dan) berkemben (seperti) bertambah dua hari kecantikannya. Cemberutnya menjadi indah. Indah dan pantas. Semua menjadi luwes. Tindak-tanduknya baik. Tanpa aroma tanpa bunga, namun harum sedapnya memenuhi seisi istana Ngastina.

        Demikianlah para dalang dan pujangga dalam menggambarkan keindahan Dewi Banuwati. Di dalam teks Dhasaring Putri Titiga juga dijelaskan watak Dewi Banuwati sebagai berikut.

Dewi Banuwati punika watakipun amběg mirah ing panggalih, rěměn paparing, rěměn dana, kalěrěsan sarěng krama inggih angsal ratu sugih. Mila balabanipun botěn amakewědi. Mangagěm sakarsa-karsa bo-(h.17)-těn kikirangan. Badhea ngětog suka botěn kuciwa. Dados putri ingkang kados Dewi Banuwati punika satunggiling putri sarwa pinunjul tur sarwa kasěmbadan, punapa-punapanipun.

Terjemahan:

Dewi Banuwati itu wataknya murah hati, senang berbagi, senang memberi. Kebetulan ketika menikah juga mendapatkan raja yang kaya. Maka kesederhanaannya tidak menyusahkan. Memakai apapun keinginannya tidak kekurangan. Hendak melampiaskan kesenangan tidak (akan) kecewa. Jadi putri yang seperti Dewi Banuwati itu salah satu putri yang serba unggul dan serba terturuti semuanya.

        Berdasarkan kutipan teks di atas, dapat diketahui bahwa watak Dewi Banuwati adalah seorang dermawan yang suka berbagi kepada sesama. Jadi selain cantik dari segi fisik, Dewi Banuwati juga cantik hatinya. Dewi Banuwati juga didukung oleh faktor-faktor eskternal seperti memiliki suami Duryudana yang merupakan raja yang kaya, sehingga semua keinginannya dapat terkabul dengan mudah.

        Ketiga piwulang dari masing-masing putri tersebut pada zaman sekarang agaknya tidak dapat dijalankan dengan mudah. Semua pasti melalui proses panjang dan biasanya disertai dengan penolakan ataupun cibiran dari lingkungan sekitar. Semua orang pasti memiliki kekurangan dan kelebihan. Yang dapat diteladani dari ketiga putri tersebut adalah keutamaannya. Sebab keutamaan budi, yakni luhurnya kepribadian itu dapat diterapkan di zaman apa saja. Semoga tulisan sederhana ini dapat menginspirasi khususnya para wanita di zaman sekarang.

Bahan bacaan:

Naskah Dhasaring Putri Titiga (NB 1091) Koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

Sudibyoprono, R. Rio. 1991. Ensiklopedi Wayang Purwa. Jakarta: Balai Pustaka.



Tio Cahya Sadewa

Penulis

tio.cahya.sadewa@gmail.com

eyJtYXBfb3B0aW9ucyI6eyJjZW50ZXJfbGF0IjoiLTcuODA1MTM1NjcxOTUxNTUzIiwiY2VudGVyX2xuZyI6IjExMC4zNjQyMTM4Mjg3MzQ2NiIsInpvb20iOjEwLCJtYXBfdHlwZV9pZCI6IlJPQURNQVAiLCJmaXRfYm91bmRzIjp0cnVlLCJkcmFnZ2FibGUiOnRydWUsInNjcm9sbF93aGVlbCI6dHJ1ZSwiZGlzcGxheV80NV9pbWFnZXJ5IjoiIiwibWFya2VyX2RlZmF1bHRfaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL1wvZGVmYXVsdF9tYXJrZXIucG5nIiwiaW5mb3dpbmRvd19zZXR0aW5nIjoiPGRpdiBjbGFzcz1cImZjLWl0ZW0tYm94IGZjLWl0ZW1jb250ZW50LXBhZGRpbmcgXCI+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS10aXRsZVwiPnttYXJrZXJfdGl0bGV9IDxzcGFuIGNsYXNzPVwiZmMtYmFkZ2UgaW5mb1wiPnttYXJrZXJfY2F0ZWdvcnl9PFwvc3Bhbj48XC9kaXY+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1jb250ZW50IGZjLWl0ZW0tYm9keS10ZXh0LWNvbG9yXCI+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1mZWF0dXJlZCBmYy1sZWZ0IGZjLWl0ZW0tdG9wX3NwYWNlXCI+XG4gICAgICAgICAgICB7bWFya2VyX2ltYWdlfVxuICAgICAgICA8XC9kaXY+XG48cD4gICAgICAgIHttYXJrZXJfbWVzc2FnZX1cbiAgICA8XC9wPjxcL2Rpdj5cbjxhZGRyZXNzIGNsYXNzPVwiZmMtdGV4dFwiPnttYXJrZXJfYWRkcmVzc308XC9hZGRyZXNzPlxuPFwvZGl2PlxuIiwiaW5mb3dpbmRvd19ib3VuY2VfYW5pbWF0aW9uIjoiY2xpY2siLCJpbmZvd2luZG93X2Ryb3BfYW5pbWF0aW9uIjpmYWxzZSwiY2xvc2VfaW5mb3dpbmRvd19vbl9tYXBfY2xpY2siOmZhbHNlLCJpbmZvd2luZG93X3NraW4iOnsibmFtZSI6ImRlZmF1bHQiLCJ0eXBlIjoiaW5mb3dpbmRvdyIsInNvdXJjZWNvZGUiOiI8ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1ib3ggZmMtaXRlbWNvbnRlbnQtcGFkZGluZyBcIj5cclxuICAgIDxkaXYgY2xhc3M9XCJmYy1pdGVtLXRpdGxlXCI+e21hcmtlcl90aXRsZX0gPHNwYW4gY2xhc3M9XCJmYy1iYWRnZSBpbmZvXCI+e21hcmtlcl9jYXRlZ29yeX08XC9zcGFuPjxcL2Rpdj5cclxuICAgIDxkaXYgY2xhc3M9XCJmYy1pdGVtLWNvbnRlbnQgZmMtaXRlbS1ib2R5LXRleHQtY29sb3JcIj5cclxuICAgICAgICA8ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1mZWF0dXJlZCBmYy1sZWZ0IGZjLWl0ZW0tdG9wX3NwYWNlXCI+XHJcbiAgICAgICAgICAgIHttYXJrZXJfaW1hZ2V9XHJcbiAgICAgICAgPFwvZGl2PlxyXG4gICAgICAgIHttYXJrZXJfbWVzc2FnZX1cclxuICAgIDxcL2Rpdj5cclxuICAgIDxhZGRyZXNzIGNsYXNzPVwiZmMtdGV4dFwiPnttYXJrZXJfYWRkcmVzc308XC9hZGRyZXNzPlxyXG48XC9kaXY+In0sImRlZmF1bHRfaW5mb3dpbmRvd19vcGVuIjpmYWxzZSwiaW5mb3dpbmRvd19vcGVuX2V2ZW50IjoiY2xpY2siLCJmdWxsX3NjcmVlbl9jb250cm9sIjpmYWxzZSwic2VhcmNoX2NvbnRyb2wiOnRydWUsInpvb21fY29udHJvbCI6dHJ1ZSwibWFwX3R5cGVfY29udHJvbCI6ZmFsc2UsInN0cmVldF92aWV3X2NvbnRyb2wiOmZhbHNlLCJmdWxsX3NjcmVlbl9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJzZWFyY2hfY29udHJvbF9wb3NpdGlvbiI6IlRPUF9MRUZUIiwiem9vbV9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfdHlwZV9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfdHlwZV9jb250cm9sX3N0eWxlIjoiSE9SSVpPTlRBTF9CQVIiLCJzdHJlZXRfdmlld19jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfY29udHJvbCI6dHJ1ZSwibWFwX2NvbnRyb2xfc2V0dGluZ3MiOmZhbHNlLCJtYXBfem9vbV9hZnRlcl9zZWFyY2giOjYsIndpZHRoIjoiIiwiaGVpZ2h0IjoiMzMwIn0sInBsYWNlcyI6W3siaWQiOiIxIiwidGl0bGUiOiJLZXJhdG9uIiwiYWRkcmVzcyI6IktlcmF0b24gSm9namEiLCJzb3VyY2UiOiJtYW51YWwiLCJjb250ZW50IjoiS2VyYXRvbiBOZ2F5b2d5YWthcnRhIEhhZGluaW5ncmF0IGF0YXUgS2VyYXRvbiBZb2d5YWthcnRhIG1lcnVwYWthbiBpc3RhbmEgcmVzbWkgS2VzdWx0YW5hbiBOZ2F5b2d5YWthcnRhIEhhZGluaW5ncmF0IHlhbmcga2luaSBiZXJsb2thc2kgZGkgS290YSBZb2d5YWthcnRhLiBLZXJhdG9uIGluaSBkaWRpcmlrYW4gb2xlaCBTcmkgU3VsdGFuIEhhbWVuZ2t1YnV3YW5hIEkgcGFkYSB0YWh1biAxNzU1IHNlYmFnYWkgSXN0YW5hXC9LZXJhdG9uIFlvZ3lha2FydGEgeWFuZyBiYXJ1IGJlcmRpcmkgYWtpYmF0IHBlcnBlY2FoYW4gTWF0YXJhbSBJc2xhbSBkZW5nYW4gYWRhbnlhIFBlcmphbmppYW4gR2l5YW50aS4gS2VyYXRvbiBpbmkgYWRhbGFoIHBlY2FoYW4gZGFyaSBLZXJhdG9uIFN1cmFrYXJ0YSBIYWRpbmluZ3JhdCBkYXJpIE1hdGFyYW0gSXNsYW0gU3VyYWthcnRhIChLZXJhamFhbiBTdXJha2FydGEpLiBTZWhpbmdnYSBkaW5hc3RpIE1hdGFyYW0gZGl0ZXJ1c2thbiBvbGVoIDIgS2VyYWphYW4geWFrbmkgS2VzdWx0YW5hbiBZb2d5YWthcnRhIGRhbiBLZXN1bmFuYW4gU3VyYWthcnRhLiBUb3RhbCBsdWFzIHdpbGF5YWgga2VzZWx1cnVoYW4ga2VyYXRvbiB5b2d5YWthcnRhIG1lbmNhcGFpIDE0NCBoZWt0YXIsIHlha25pIG1lbGlwdXRpIHNlbHVydWggYXJlYSBkaSBkYWxhbSBiZW50ZW5nIEJhbHV3YXJ0aSwgYWx1bi1hbHVuIExvciwgYWx1bi1hbHVuIEtpZHVsLCBnYXB1cmEgR2xhZGFrLCBkYW4ga29tcGxla3MgTWFzamlkIEdlZGhlIFlvZ3lha2FydGEuIFNlbWVudGFyYSBsdWFzIGRhcmkga2VkaGF0b24gKGludGkga2VyYXRvbikgbWVuY2FwYWkgMTMgaGVrdGFyLiAiLCJsb2NhdGlvbiI6eyJpY29uIjoiaHR0cHM6XC9cL2phbmdrYWguaWRcL3dwLWNvbnRlbnRcL3BsdWdpbnNcL3dwLWdvb2dsZS1tYXAtcGx1Z2luXC9hc3NldHNcL2ltYWdlc1wvXC9kZWZhdWx0X21hcmtlci5wbmciLCJsYXQiOiItNy44MDUxMzU2NzE5NTE1NTMiLCJsbmciOiIxMTAuMzY0MjEzODI4NzM0NjYiLCJjaXR5IjoiWW9neWFrYXJ0YSIsInN0YXRlIjoiRGFlcmFoIElzdGltZXdhIFlvZ3lha2FydGEiLCJjb3VudHJ5IjoiSW5kb25lc2lhIiwib25jbGlja19hY3Rpb24iOiJtYXJrZXIiLCJyZWRpcmVjdF9jdXN0b21fbGluayI6IiIsIm1hcmtlcl9pbWFnZSI6IjxkaXYgY2xhc3M9J2ZjLWZlYXR1cmUtaW1nJz48aW1nIGxvYWRpbmc9J2xhenknIGRlY29kaW5nPSdhc3luYycgYWx0PSdLZXJhdG9uJyBzcmM9J2h0dHBzOlwvXC91cGxvYWQud2lraW1lZGlhLm9yZ1wvd2lraXBlZGlhXC9jb21tb25zXC90aHVtYlwvM1wvMzNcL0tyYXRvbl9Zb2d5YWthcnRhX1BhZ2VsYXJhbi5qcGdcLzEwMjRweC1LcmF0b25fWW9neWFrYXJ0YV9QYWdlbGFyYW4uanBnJyBjbGFzcz0nd3BnbXBfbWFya2VyX2ltYWdlIGZjLWl0ZW0tZmVhdHVyZWRfaW1hZ2UgZmMtaXRlbS1sYXJnZScgXC8+PFwvZGl2PiIsIm9wZW5fbmV3X3RhYiI6InllcyIsInBvc3RhbF9jb2RlIjoiIiwiZHJhZ2dhYmxlIjpmYWxzZSwiaW5mb3dpbmRvd19kZWZhdWx0X29wZW4iOmZhbHNlLCJhbmltYXRpb24iOiJCT1VOQ0UiLCJpbmZvd2luZG93X2Rpc2FibGUiOnRydWUsInpvb20iOjUsImV4dHJhX2ZpZWxkcyI6IiJ9LCJjYXRlZ29yaWVzIjpbeyJpZCI6IiIsIm5hbWUiOiIiLCJ0eXBlIjoiY2F0ZWdvcnkiLCJleHRlbnNpb25fZmllbGRzIjpbXSwiaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL1wvZGVmYXVsdF9tYXJrZXIucG5nIn1dLCJjdXN0b21fZmlsdGVycyI6IiJ9XSwic3R5bGVzIjoiIiwibGlzdGluZyI6IiIsIm1hcmtlcl9jbHVzdGVyIjp7ImdyaWQiOiIxNSIsIm1heF96b29tIjoiMSIsImltYWdlX3BhdGgiOiJodHRwczpcL1wvamFuZ2thaC5pZFwvd3AtY29udGVudFwvcGx1Z2luc1wvd3AtZ29vZ2xlLW1hcC1wbHVnaW5cL2Fzc2V0c1wvaW1hZ2VzXC9tIiwiaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL2NsdXN0ZXJcLzQucG5nIiwiaG92ZXJfaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL2NsdXN0ZXJcLzQucG5nIiwiYXBwbHlfc3R5bGUiOmZhbHNlLCJtYXJrZXJfem9vbV9sZXZlbCI6IjEifSwibWFwX3Byb3BlcnR5Ijp7Im1hcF9pZCI6IjEiLCJkZWJ1Z19tb2RlIjpmYWxzZX19

Daksinargastuti, Menyenandungkan Kembali Syair-syair Kuno Yogyakarta

Daksinargastuti merupakan kegiatan Komunitas Jangkah Nusantara yang meliputi pemetaan, preservasi naskah kuno, bengkel sastra-aksara dan macapat, serta alih aksara manuskrip.
Lihat Rekaman Baca Pengantar
poster diskusi