Karas

Perjumpaan Kartini dengan Naskah Jawa dan Pegon, Berkat Kiai Sholeh Darat?

Tanggal 10 Syawal diperingati sebagai haul KH. Sholeh Darat, Semarang. Pengajian, tahlilan, bahtsul masail, hingga pembacaan kitab-kitab karya Kiai Sholeh kerap dilakukan untuk memperingati haul. Masyarakat dari berbagai daerah seperti Semarang, Kendal, Demak, Kudus, bahkan dari luar Jawa Tengah juga ikut memperingati haul Sang Kiai. Mereka datang berbondong-bondong untuk

Rabu, 18 Mei 2022

644 Kali

0 Kali

20 Menit

Tanggal 10 Syawal diperingati sebagai haul KH. Sholeh Darat, Semarang. Pengajian, tahlilan, bahtsul masail, hingga pembacaan kitab-kitab karya Kiai Sholeh kerap dilakukan untuk memperingati haul. Masyarakat dari berbagai daerah seperti Semarang, Kendal, Demak, Kudus, bahkan dari luar Jawa Tengah juga ikut memperingati haul Sang Kiai. Mereka datang berbondong-bondong untuk ngalap berkah perjuangan Sang Kiai di kompleks pemakaman Bergota, Kota Semarang, Jawa Tengah.

Kiai Sholeh merupakan seorang putra dari Kiai Umar, salah satu panglima Diponegoro dari Kedung Cumpleng, Jepara. Kiai Sholeh dikenal sebagai guru para ulama di Nusantara, bahkan pernah mengajar di Haramain sewaktu rihlah ilmu ke Timur Tengah. Beberapa muridnya yang masyhur dikenal antara lain pendiri Nahdlatul Ulama (1926) KH. Hasyim Asy’ari dan pendiri Muhammadiyah (1912) KH. Ahmad Dahlan. Selain mengajar di pesantren dan blusukan ke kampung-kampung, Kiai Sholeh juga dikenal menulis banyak kitab beraksara pegon.[i]

Raden Ajeng Kartini, salah satu pahlawan nasional Indonesia disebut-sebut punya kedekatan dengan Kiai Sholeh. Banyak pendapat mengatakan bahwa Kartini adalah salah satu santri kinasih Kiai Sholeh. Konon, tafsir Al-Quran berbahasa Jawa pertama di Nusantara ditulis atas dorongan Kartini. Kitab tafsir berjudul Faid Ar-Rahman itu pula yang kemudian dihadiahkan Kiai Sholeh untuk pernikahan Kartini.[ii]

Secara pasti belum diketahui kapan mereka bertemu. Banyak pendapat yang bilang bahwa pertemuan mereka terjadi ketika Kiai Sholeh Darat mengisi pengajian di Pendopo Demak, di kediaman paman Kartini, Bupati Ario Hadiningrat. Hanya saja angka tahunnya belum diketahui secara pasti. Ada yang bilang pertemuan itu terjadi sebelum tahun 1892, sebelum Kartini dipingit.[iii] Ada juga yang bilang pertemuan itu terjadi pada tahun 1901, saat keluarga Kartini sowan ke Demak untuk mengikuti pengajian Kiai Sholeh Darat.[iv]

Satu-satunya sumber yang selama ini dirujuk terkait pertemuan tersebut, pertama kali ditulis oleh Solichin Salam dalam buku R.A. Kartini Seratus Tahun (1879-1979) yang terbit pada 1979. Dalam buku tersebut, Salam mengutip percakapan Kartini dengan Kiai Sholeh Darat berdasarkan catatan KH. Maksum, seorang ulama besar di Kota Semarang. KH. Maksum konon juga mengikuti pengajian saat Kartini mengikuti pengajian di Pendopo Demak. Disebutkan juga bahwa seminggu sebelum pernikahan Kartini, Kiai Sholeh Darat mengutus KH. Maksum memberikan hadiah kepada Kartini berupa kitab Faid Ar-Rahman. Informasi ini didapat Salam dari surat Ki Moesa Al Machfoed kepada Rahmi Hatta, tertanggal 27 Oktober 1978.

Pertemuan tersebut lantas dianggap membuat Kartini mengalami transformasi spiritual, mempunyai pandangan tentang Islam dengan lebih dalam. Kartini yang mulanya banyak mengkritik keadaan sekeliling, khususnya tentang agama dan poligami, setelah pertemuan tersebut ia dianggap lebih bisa menerima keadaan. Hanya saja, sebagai buku sejarah, Salam tidak mencantumkan catatan KH. Maksum yang ia kutip. Pencantuman ini penting dilakukan dalam penelitian sejarah supaya data-data yang ia sampaikan bisa dipertanggungjawabkan.

Pasalnya, sebagai perbandingan, dalam kumpulan surat Kartini, tidak ada satu pun kisah yang Kartini tulis tentang pertemuannya dengan Kiai Sholeh Darat. Hal ini patut dicermati kembali, sebab Kartini sebagai sosok yang “trinil”, yang periang, yang cerdas dan haus ilmu, selalu menceritakan apa saja yang ia alami kepada para sahabat pena. Misalnya, saat ia jengkel kepada guru ngaji, ia sampaikan kisah itu kepada Zeehandeelar. Begitu juga saat Kartini merasa senang karena banyak dibantu oleh kakaknya, Raden Mas Panji Sosrokartono. Saat menemukan hal-hal baru dalam kehidupannya, Kartini selalu menceritakannya kepada sahabat pena. Tidak menutup kemungkinan, seandainya memang pernah ada pertemuan antara Kartini dengan Kiai Sholeh Darat, tentunya Kartini akan menceritakannya melalui surat yang ia tulis kepada sahabat pena.

Ketika kita baca dan dalami lagi isi surat-surat Kartini, khususnya sebelum tahun 1902, ia masih nampak jengkel dan marah. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya kritik yang ia sampaikan terhadap para pemeluk Islam, dan terutama tentang poligami yang bagi Kartini “dilindungi” oleh agama. Padahal, saat itu dengan adanya dalil-dalil Al-Quran yang memperbolehkan poligami, para laki-laki dinilai semena-mena dalam urusan pernikahan. Kritik keras tersebut juga nampak dalam surat yang ia tulis kepada Nyonya Abendanon pada 23 Agustus 1900 dan tanggal 27 Maret 1902. Bahkan, surat kepada Zeehandelaar tanggal 25 April 1903, Kartini menganggap poligami sebagai musuh yang harus disembunyikan di hadapan para wali murid sekolah yang tengah ia rintis, supaya tidak mengganggu perjuangannya. Artinya, jika ditelaah surat-surat Kartini berdasarkan angka tahun tersebut, nampak bahwa pikiran-pikiran Kartini masih sama: kritis dan membawa visi menuju pencerahan. Tidak ditemukan transformasi yang berarti di dalam pikiran-pikiran Kartini, sebagaimana pendapat para pengkaji Kartini sebelumnya.

Kritik Kartini atas poligami tidak bisa disamakan dengan kritiknya atas Islam, lantaran Islam memperbolehkan poligami. Yang dikritik Kartini adalah poligami, bukan Islam. Dalam surat-suratnya, misalnya surat kepada Tuan Abendanon bulan Agustus 1900, pertimbangan utama Kartini dalam menentang keras poligami adalah faktor kemanusiaan dan martabat perempuan Jawa. Pasalnya, seorang perempuan belia harus dipingit, dikurung, diisolasi di dalam rumah hingga datang seorang pria yang akan meminangnya. Si perempuan sayangnya tidak mengetahui pria yang meminangnya, tiba-tiba diberitahu bahwa dirinya telah dinikahkan, dan seringnya bukan menjadi istri yang pertama. Meskipun, pada akhirnya Kartini mau dinikahkan sebagai selir. Pertimbangan Kartini adalah rasa kasih sayangnya kepada sang ayah, ia tak mau membuat ayahnya kecewa. Selain itu, Kartini mempertimbangkan keleluasaannya dalam membuka sekolah gratis untuk perempuan jika ia dinikahi oleh seorang bupati. Hal ini ia sampaikan antara lain dalam surat kepada Nyonya Abendanon tanggal 25 Agustus 1903.

Terkait kunjungan Kartini ke Pendopo Demak, hanya ada satu yang tercatat dalam suratnya kepada Abendanon pada tanggal 7 Juni 1903. Kartini bercerita tentang liburan ke rumah pamannya, Bupati Demak. Di sana ia bertemu dengan sahabat Kartono, sosok lelaki yang masih muda, dan banyak bercerita tentang kebudayaan Jawa, wayang, dan Islam. Mereka berdialog secara aktif. Dikisahkan saat itu sedang ada acara di Pendopo, ada pertunjukan wayang dan tari, dan banyak orang yang menonton. Saat malam semakin malam, Kartini pun tak bisa tidur, karena di pendopo masih ramai suara gending gamelan dan lantunan tembang oleh para pesinden. Selain itu, yang membuat Kartini tak kunjung bisa tidur adalah dialog-dialog yang mencerahkan bersama teman Kartono, yang masih terngiang-ngiang di kepalanya. Kisah ini Kartini tulis dalam suratnya sebagai berikut:

…Dia mulai dengan mengatakan bahwa dia mengenal Kartono dengan baik, telah mengambil ujian pada saat yang sama. Tanpa sadar aku mendengarkannya dengan penuh minat. Dia mulai berbicara tentang seni, seni Jawa kita yang indah, tentang orang-orang kita, tentang Islam, dll. Dan sebelum aku menyadarinya, aku terlibat dalam percakapan yang hidup dengannya…[v]

Selama ini bukti pertemuan Kartini dengan Kiai Soleh Darat juga diidentikkan dengan terjemahan Al-Quran berbahasa Jawa. Konon yang menyarankan Kiai Sholeh Darat menerjemahkan Al-Quran adalah Kartini. Ceritanya, setelah mengikuti pengajian Kiai Sholeh Darat di Pendopo Demak, Kartini menjadi mengerti makna Al-Quran. Saat itu Kiai Sholeh Darat menjelaskan tentang surat Al Fatihah. Kartini merasa senang mendengar penjelasan tersebut, dan menghayati keindahan maknanya. Konon, setelah pengajian selesai, Kartini meminta Kiai Soleh Darat untuk menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa.[vi]

Namun saat itu, ada kebijakan kolonial yang melarang penerjemahan kitab suci ke dalam bahasa lokal. Karena dianggap mengancam eksistensi Belanda, atau membangkitkan perlawanan seperti era-era sebelumnya. Akhirnya Kiai Sholeh Darat menyiasatinya dengan menerjemahkan Al-Quran, tetap dengan huruf Arab, namun berbahasa Jawa (Pegon), supaya tidak dicurigai oleh penjajah. Saat pernikahan Kartini dengan Bupati Rembang, Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat pada 12 November 1903[vii] (sebulan kemudian pada 18 Desember 1903 Kiai Sholeh Darat wafat), kitab Al-Quran terjemahan bahasa Jawa itu lantas dihadiahkan kepada Kartini.

Namun yang jadi pertanyaan di sini, tafsir Al-Quran berbahasa Jawa yang berjudul Faid Ar-Rahman selesai ditulis oleh Kiai Sholeh Darat pada 9 Desember 1892 dan dicetak pada 7 November 1893. Sementara surat-surat Kartini yang berisi kekesalan terhadap metode belajar agama Islam ditulis pada 1899. Yang perlu ditekankan di sini, kritik Kartini ditujukan pada metode pengajaran agama Islam, dan bagaimana pemahaman perilaku beragama masyarakat. Bukan pada Islam itu sendiri. Selain itu, tahun 1899 merupakan tahun pertama Kartini mulai berkirim surat kepada para sahabat pena di Belanda.

Dalam pengantar Kitab Faid Ar-Rahman, Kiai Sholeh menulis:

…Mekaten nyuwun marang Syaikhana mu’allif iki tafsir setengahe ikhwan kita fiddin kang supoyo iki tafsir kasebaro luwih disik senadyan mung sak surat, sebab kerono yakine hajate ba’dlul ikhwan mahu lan liyan-liyane hajat ngaweruhi iki tafsir…

Kiai Sholeh Darat menerbitkan tafsir yang ia tulis (13 juz), meskipun belum selesai, atas dasar permintaan teman-teman seagama dan masyarakat pada umumnya yang masih awam dengan agama Islam. Sebab, sebetulnya tradisi ulama zaman dulu ketika membuat karya dan belum selesai, tidak lazim jika diterbitkan. Ketika mengarang kitab tafsir Faidh ar-Rahman Kiai Sholeh Darat sesungguhnya hendak merampungkannya sampai 30 juz terlebih dahulu, baru kemudian diterbitkan. Namun ketika di tengah mengarang tafsir itu, banyak para santri yang sudah ingin membacanya, padahal tafsir itu belum rampung.

Melihat antusiasme para santri, Kiai Sholeh Darat kemudian beristikharah untuk memohon jawaban dari Tuhan. Ia mohon petunjuk dan izin kepada Allah terkait penerbitan karya tafsir yang belum selesai itu. Dan ternyata di dalam istikharahnya, Allah memberikan petunjuk yang isinya mengizinkan Kiai Sholeh Darat untuk menerbitkan kitab tafsirnya yang belum rampung.

Kondisi masyarakat Jawa yang awam terhadap agama Islam saat itulah yang antara lain mendorong Kiai Soleh Darat untuk menulis kitab-kitab berbahasa Jawa yang sarat nuansa fikih dan tasawuf, dengan penjelasan yang mudah dimengerti, misalnya Minhajul Atqiya, Minhajul Atqiya, Kitab Al-Mahabbah wal Mawaddah fi Tarjamah Qouli al-Burdah, Kitab al-Fiyatut Tauhid, Kitab Fasholatan, Kitab manasik al-Hajji wal Umroh dan banyak lagi. Semuanya beraksara pegon.

Kolofon dan bagian pembuka kitab Faid Ar-Rahman memberi petunjuk yang terang bahwa penulisan tafsir Al-Qur’an berbahasa Jawa di Nusantara bukan atas prakarsa Kartini. Dalam surat-suratnya, Kartini memang berharap adanya terjemahan Al-Quran supaya dapat dengan mudah dipahami oleh masyarakat. Namun, saat Kartini menulis surat tersebut, Al-Quran berbahasa Jawa karya Kiai Soleh Darat sudah terbit. Artinya, Kartini bukanlah sosok utama di balik penerjemahan Al-Quran berbahasa Jawa. Merujuk pada pembuka kitab Faid Ar-Rahman, saat itu, persisnya di akhir abad ke-19, banyak dari kalangan santri dan awam pada umumnya menginginkan adanya Al-Quran berbahasa Jawa. Hal ini supaya mereka dapat memahami Islam dengan lebih mudah dan lebih dalam.[viii]

Sampai pada Agustus 1902, ia banyak mengkritik praktik beragama di Jawa dan praktik-praktik politik dan kekuasaan yang berkedok agama. Termasuk metode belajar agama yang ia anggap sia-sia, sebab orang mengaji tanpa tahu artinya, tanpa tahu maksudnya. Sebagaimana suratnya yang ditulis pada Desember 1902, menurut Kartini yang salah bukan agamanya. Agama manapun sesungguhnya mengajarkan kasih sayang. Pemeluknya lah yang membuat kehidupan menjadi buruk.

Bagi Kartini, agama itu suci. Agama adalah persoalan rohani, persoalan kemanusiaan, dan tidak bisa dipaksakan. Hal ini ia sampaikan untuk merespon kegiatan zending di Jawa yang dianggap meresahkan. Menurut Kartini, agama adalah rahmat Tuhan untuk semesta, tidak melihat ras maupun latarbelakang kebudayaan pemeluknya.

Oleh karenanya, Kartini mengkritik habis-habisan aktivitas zending di Jawa kala itu, khususnya di Jepara. Karena menurut Kartini, pendidikan seyogianya tidak diembel-embeli dengan agama tertentu. Pelabelan seperti ini dilakukan Belanda dengan mengadakan kegiatan di bidang kesehatan dan bantuan sosial. Sebagaimana surat Kartini kepada Tuan Abendanon tanggal 31 Januari 1903, ia keberatan dengan aktivitas zending yang melakukan kristenisasi terhadap umat Islam di Jawa. Kenapa dikritik? Supaya masyarakat Jawa tetap harmonis. Pemaksaan terhadap pemelukan agama menurut Kartini hanya akan menimbulkan perpecahan.

Muchoiyyaroh, dalam artikelnya berjudul Rekonstruksi Pemikiran Kartini tentang Keagamaan untuk Memperkuat Integrasi Nasional (2019) menyebut bahwa transformasi pemikiran Kartini terjadi berkat pertemuannya dengan Kiai Sholeh Darat. Sama dengan penelitian-penelitian lain, pendapat ini didasarkan pada sumber Fadilah Soleh.[ix] Transformasi tersebut, kata Muchoiyyaroh, ditunjukkan dalam surat Kartini kepada Nyonya Abendanon tanggal 27 Oktober 1902, yang menunjukkan pandangan Kartini terhadap Barat berubah. Isi surat tersebut sebagai berikut:

Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban. Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan.

Sepintas paragraf surat tersebut menunjukkan kritik Kartini atas “peradaban” Barat. Hanya saja, Muchoiyyaroh melewatkan paragraf lain dalam surat tersebut, yakni yang berbunyi:

Malam itu kami menyaksikan adegan-adegan yang “mengharukan” ini dan lainnya. Kami melihat wajah-wajah pria yang memerah, “tuan-tuan,” menyebarkan bau minum yang mengerikan ketika mereka berbicara. Dan oh, tangisan dan ocehan itu, selalu terdengar. Kami menjadi dingin di hati, dan ingin sekali menjauh dari lingkungan “beradab”.

Jika surat tersebut dibaca secara utuh, barangkali anggapan Muchoiyyaroh bahwa kritik Kartini atas Barat disebabkan oleh Kiai Sholeh Darat perlu ditinjau ulang. Surat tersebut secara terang menyebutkan kritik Kartini atas “peradaban” Barat yang dianggap tidak beradab, sebagaiamana orang-orang pada umumnya menyebut mereka sebelumnya sebagai “peradaban” Barat yang ideal. Selanjutnya, Kartini berpendapat bahwa setiap bangsa mempunyai peradabannya sendiri, tidak harus membayangkan Barat sebagai “peradaban” yang ideal. Justru Kartini mewacanakan keluhuran Jawa yang sederhana. Hal ini ia suarakan sebagai kritik atas kebiasaan orang Barat yang bermewah-mewahan dan gemar pesta dan mabuk-mabukan. Respon Kartini terhadap Barat juga diakuinya berkat nasihat Sang Ayah, yang dengan jelas disampaikan dalam surat yang sama dengan kalimat Ayah pernah mengatakan kepada saya, “Ni, jangan berpikir ada banyak orang Eropa yang benar – benar mencintaimu. Jumlah mereka sangat sedikit. Ayah benar-benar tidak perlu mengatakan itu; kami tahu yang terbaik.

Yang menarik, dalam paragraf surat berikutnya, Kartini menyebut istilah mengurangi tidur dan makan. Kartini mengaku mengutipnya dari seorang guru bijak. Ia lantas memaknainya bahwa seseorang harus berpuasa dan tidur sesedikit mungkin, supaya kehidupan dan akhirat dapat berjalan dengan baik. Agaknya pemahaman tersebut diperoleh Kartini dari Serat Wulangreh karya Pakubuwana IV, pada bait ke-10 dalam Pupuh ke-2 metrum Kinanthi yang berbunyi cegah dhahar lawan guling. Bait utuhnya tertulis sebagai berikut:

Dadiya lakunireku/ cegah dhahar lawan guling/ Lan aja kasukan-sukan/ anganggoa sawatawis/ Ala watake wong suka/ suda prayitnaning batin//

Artinya:

Jadikanlah amalanmu seperti itu/ kurangi makan dan tidur/ Jangan gemar berpesta pora/ berpakaianlah sekedarnya/ Buruk tabiat orang yang gemar berpesta pora/ berkurangnya kepekaan batin//

Jika ditengok kembali riwayat perkembangan dan pergulatan pemikiran Kartini, syair tersebut boleh jadi dipengaruhi oleh kakak Kartini, Raden Mas Panji Sosrokartono. Sejak kecil, Sosrokartono gemar melahap karya-karya sastra Jawa, termasuk Serat Wulangreh. Tidak menutup kemungkinan Kartini juga membaca karya sastra tersebut. Saat masih belia, Kartini kerap berdiskusi dengan Kartono. Saat itu Kartono masih sekolah di HBS Semarang. Setiap libur, Kartono pulang.

Ketika pulang ke rumah itulah, Kartini amat senang karena dapat bertukar pikiran dengan kakaknya. Kartini dapat mengeluarkan segala pikiran dan isi hatinya. Sang kakak pun menanggapinya dengan lapang. Bahkan memberi buku-buku yang dianggap cocok untuk menjawab isi hati dan pikiran-pikiran Kartini yang ‘liar’. Sebagai seorang ningrat, sebagaimana Kartini, Kartono juga dididik di lingkungan santri. Sejak kecil ia rajin mengaji. Saat beranjak dewasa Kartono melahap karya-karya sastra Jawa, serta gemar puasa dan tirakat.[x]

Namun sayangnya, Kartini harus berpisah dengan kakak kesayangannya itu. Usai menamatkan pendidikan HBS di Semarang, Kartono melanjutkan kuliah di Belanda. Tetapi kepergian sang kakak tidak menjadi soal bagi Kartini. Ia tetap terus belajar, melalui surat-suratnya, diskusi-diskusi mencerahkan dengan seorang teman Kartono yang ia jumpai di Pendopo Demak, serta tentu saja melalui buku-buku dan surat kabar seperti de Locomotief yang bisa Kartini jangkau selama masa pertumbuhannya. Kartini juga mengaku sangat terbantu dengan ayahnya yang visioner, yang memutus kebiasaan yang telah lama berlangsung. Berkat ayahnya, Kartini bisa sekolah, tidak seperti perempuan-perempuan lainnya. Hal ini ia sampaikan dalam suratnya 27 April 1902 kepada van Kol.

Kartini juga membaca buku-buku filsafat dan sastra, serta buku-buku lain yang diberikan oleh kakaknya, dan ini turut mempengaruhi pikiran-pikirannya. Termasuk buku-buku pemberian para sahabat pena di kemudian hari.[xi] Dalam suratnya kepada Tuan Abendanon tanggal 15 Agustus 1902, Kartini bahkan mengakui bahwa surat-menyuratnya dengan Nyonya Abendanon, Van Kol, dan Dr. Adriani telah memberikan perubahan yang berarti dalam pemikirannya.

Satu hal menarik yang Kartini ungkapkan antara lain surat kepada Tuan Abendanon pada tanggal 17 Agustus 1902. Kartini bercerita, ada seorang wanita tua yang menawari koleksi bukunya kepada Kartini. Buku-buku yang ditawarkan berupa naskah kuno Jawa, dan banyak yang ditulis dengan huruf Arab (pegon). Persisnya, sebagian dari naskah-naskah tersebut berbentuk puisi dan bisa dinyanyikan (macapat), dan berisi wejangan-wejangan yang bijak lagi indah. Sejak saat itu Kartini mengaku mulai belajar dan menulis lagi. Ia juga bercerita bahwa saat itu buku-buku Jawa sangat sulit didapat karena kebanyakan ditulis tangan, hanya sedikit yang cetak. Menurut Kartini, isi buku-buku itu amatlah indah, meskipun sulit, tetapi berisi bahasa rasa yang ditulis dengan puisi dan berisi ajaran kebajikan. Dan Kartini pun mengajak Tuan Abendanon untuk ikut mempelajarinya.

Sejak kecil, Kartini sebagaimana saudara-saudaranya yang lain sudah mengaji di rumahnya. Ayahnya mendatangkan seorang guru ngaji, meskipun di kemudian hari Kartini protes karena sang guru ngaji sekadar mengajarinya membaca Al-Quran tanpa mengetahui artinya. Sebagai bangsawan, Kartini juga punya darah santri. Kakeknya, Kiai Haji Madirono, merupakan seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Kartini dan saudara-saudaranya adalah bangsawan Jawa yang hidup dalam nuansa keagamaan Islam yang dipeluk oleh orang Jawa, yang lekat dengan praktik-praktik ritual dan tradisi yang tumbuh dan berkembang di zamannya.

Hal ini nampak antara lain dalam surat Kartini kepada Mrs. Booij-Boissevain tanggal 21 Maret 1902. Kartini menjelaskan ritual pernikahan kepada Boissevain secara detil. Mulai dari riasan paes ageng, prosesi pernikahan meliputi tata cara adat, meliputi sesaji, dupa, gamelan, bunga-bunga, busana, hingga rangkaian upacara slametan. Saat pernikahan saudaranya, Kartini terlibat di dalamnya.

Melalui surat-suratnya, dapat diketahui bahwa Kartini adalah seorang muslimah yang kritis, berpikiran terbuka, moderat, pluralistik, dan humanis. Sebagai kaum elite, dirinya tidak ingin disembah-sembah layaknya elite bangsawan pada umumnya. Kartini ingin dicintai sebagaimana orang pada umumnya, dan tidak ditakuti, ia mendambakan kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan. Hal ini antara lain tercermin dalam suratnya kepada Tuan Abendanon tanggal 17 Agustus 1902.

Banyak yang mengaitkan ungkapan “Habis Gelap Terbitlah Terang” terinspirasi dari surat Al-Baqarah ayat 257 yang berbunyi orang-orang beriman dibimbing Allah dari gelap menuju cahaya. Istilah ini juga dianggap oleh sebagian orang berkat pertemuan Kartini dengan Kiai Sholeh Darat. Istilah tersebut memang banyak disebut oleh Kartini dalam surat-suratnya kepada para sahabat pena.

Sebetulnya, awal mula istilah tersebut populer berkat Armijn Pane menerjemahkan surat-surat Kartini yang telah dikumpulkan Tuan Abendanon berjudul Door Duisternis Toot Licht. Pane lalu menerjemahkannya menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku ini terbit pada 1911.

Jika dicermati kembali isi surat-surat Kartini, cita-cita untuk menyalakan pijar cahaya atau menghadirkan terang selalu ia kumandangkan dalam surat-surat yang ditulis, bahkan dari surat yang paling awal. Misalnya surat Kartini kepada Zeehandelaar pada 25 Mei 1899. Istilah gelap, cahaya, atau yang sebagian orang sebut dengan terang, Kartini gunakan untuk menggambarkan dinamika pengembaraan intelektualnya. Ketika menemui petunjuk atau kemudahan dalam suatu hal, ia menyebutnya sebagai cahaya. Begitupun sebaliknya.

Sebagai catatan di sini, cukup sulit menyimpulkan penyebab transformasi pemikiran Kartini: tentang Islam, tentang poligami, tentang kesetaraan, dan tentang banyak hal. Sejak kecil, Kartini mengalami banyak hal. Berjumpa dengan banyak hal. Membaca banyak hal dan belajar tentang banyak hal. Pemikiran Kartini tidak bisa diklaim berkembang ataupun bertransformasi berkat satu hal saja: berkat Sosrokartono, naskah-naskah Jawa dan pegon, buku-buku, surat kabar, atau perjumpaannya dengan orang-orang sekeliling maupun melalui surat-suratnya dengan orang-orang Belanda. Terutama kaitannya dengan Kiai Sholeh Darat, yang masih perlu penelitian lebih cermat.

Kartini adalah Kartini. Manusia perempuan bangsawan yang hidup di tengah kesewenang-wenangan penjajah dan kungkungan tradisi yang feodal. Kartini hidup pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Di akhir kehidupan Kartini, muncul banyak kritik terhadap Belanda dari kalangan internasional akibat kelakuannya yang dianggap semena-mena terhadap daerah jajahan. Ratu Belanda lalu menetapkan kebijakan kebijakan Politik Etis pada 17 September 1901 sebagai upaya balas budi dan turut memikirkan nasib kalangan pribumi.

Tetapi penerapan kebijakan ini bagaikan sekali mendayung dua pulau terlampaui. Ada misi terselubung dari Belanda untuk mengalihkan perhatian kaum bumiputera dari paham Islam dan paham pan-Islamisme yang sedang bergejolak di Timur Tengah waktu itu.[xii] Meskipun begitu, kaum bumiputera juga dapat mengambil hikmah. Akses menjadi terbuka. Pendidikan Eropa bisa dinikmati kaum bumiputera. Begitu juga Kartini. Ia bisa berkorespondensi dengan orang-orang Belanda, terlebih statusnya sebagai bangsawan. Meskipun awalnya ia terkurung oleh tradisi feodal, Kartini tetaplah mempunyai keistimewaan ini dan itu.

Dengan begitu Kartini dapat memperjuangkan visi pembebasan dan kesetaraan yang ia dambakan, sebagaimana yang terekam dalam surat-suratnya. Tak hanya mendirikan sekolah batik dan lukis di belakang rumah dinas ayahnya, Kartini juga memperjuangkan nasib kaum bumiputera bidang ekonomi. Melalui jejaring pertemanan sahabat pena, Kartini mempromosikan karya-karya ukir masyarakat Jepara ke Belanda. Hal ini antara lain tercermin dalam surat Kartini kepada Abendanoon tanggal 1 Januari 1901. Sebagai seorang bangsawan, Kartini memang sudah seharusnya melakukannya. Tidak ada pilihan lain.

Walau bagaimanapun, penelitian-penelitian yang telah disebutkan di atas—termasuk artikel ini—merujuk pada kumpulan surat yang telah ditulis oleh Kartini saja. Belum menjamah surat-surat jawaban dari para sahabat pena Kartini. Kumpulan surat Kartini yang telah diterbitkan pun terdapat banyak versi. Ada beberapa nomor yang tidak tercantum dalam edisi yang berbeda. Selanjutnya, penelitian tentang Kartini tentunya membutuhkan kerja lebih keras dan lebih komprehensif.[]


[i] Antara lain Minhajul Atqiya, Minhajul Atqiya, Kitab Al-Mahabbah wal Mawaddah fi Tarjamah Qouli al-Burdah, Kitab al-Fiyatut Tauhid, Kitab Fasholatan, Kitab manasik al-Hajji wal Umroh dan banyak lagi.

[ii] Kesimpulan seperti ini telah banyak ditulis di beberapa media. Antara lain Kartini, Santriwati Kesayangan Mbah Sholeh Darat (terbit 2022 di kemenag.go.id); Kiai Sholeh Darat dan Titik Balik Keislaman RA Kartini (terbit 2020 di republika.co.id); R.A Kartini Banyak Perdalam Ilmu Islam dari Kiai Sholeh Darat (terbit 2022 di liputan6.com); KH Sholeh Darat, Ulama Tanah Jawa dan Guru RA Kartini (terbit 2022 di kompas.tv); Perjalanan Spiritual Kartini Mendalami Makna Al Quran (terbit 2022 di kompas.com); dan banyak lagi. Beberapa artikel penelitian yang nampaknya lebih serius juga diterbitkan di jurnal, meskipun mempunyai kesimpulan yang sebangun dengan artikel populer yang disebutkan sebelumnya, antara lain: Muchoiyyaroh, Lilis. (2019). Rekonstruksi Pemikiran Kartini tentang Keagamaan untuk Memperkuat Integrasi Nasional. Indonesian Historical Studies, 3(1). Hlm. 58-73.; Abidin, Zainal M. (2015). Komunikasi Agama R.A. Kartini kepada Nyonya Abendanon-Mandri. Jurnal Disprotek, 6(2). Hlm. 28-47; Said, Nur. (2014). Politik Etis Kepahlawanan RA Kartini Menguak Spiritualisme Kartini yang Digelapkan. Palastren, 7 (2). Hlm. 345-368.

[iii] Lihat Ulum, Amirul. (2019). Kartini Nyantri. Yogyakarta: Global Press. Hlm. 152-220.

[iv] Angka tahun ini secara jelas diilustrasikan dalm artikel Saat Kartini Terinspirasi Dakwah Kiai Sholeh Darat (news.detik.com). Hanya saja, jika dasar penentuan angka tahun tersebut merujuk pada penelitian Salam, sebagaimana yang dijelaskan dalam artikel tersebut, nyatanya Salam tidak pernah menyebutkan pertemuan Kartini dengan Kiai Sholeh terjadi pada tahun 1901. Lihat Salam, Solichin. (1979). R.A. Kartini Seratus Tahun (1879-1979). Jakarta: Gunung Agung. Hlm. 46-51.

[v] Surat ini hanya tercantum dalam terbitan kumpulan surat-surat Kartini pada cetakan kedua (Abendanon, J.H. (1912). Door Duisternis tot Licht, Gedachten van Raden Adjeng Kartini (2nd Edition). Gravenhage: N.V. Electrische Drukkerij Luctor et Emergo). Belum diketahui secara pasti, mengapa surat bertanggal tersebut tidak tercantum dalam terbitan berbahasa Inggris (Symmers, Agnes Louise. (1920). Letters of a Javanese Princess by Raden Adjeng Kartini. London: Duckworth & Co.) Edisi berbahasa Inggris tersebut merupakan terjemahan dari buku berbahasa Belanda yang diterbitkan Abendanon. Dalam pengantarnya, Abendanon menulis bahwa kumpulan surat yang telah diterbitkan bukanlah semuanya. Ia telah menyortir surat-surat Kartini dengan pertimbangan dianggap cocok sebagai publikasi. Tentu dengan persetujuan keluarga Kartini, termasuk Ayahnya yang saat itu masih hidup. Dalam pengantar, tidak ada informasi terkait penambahan atau pun pengurangan jumlah surat. Tujuan penerbitan ulang ini untuk merespon terbitan pertama yang laku keras hanya dalam beberapa bulan. Sehingga, terbitan kedua ini juga bertujuan untuk menghimpun dana, sebagaimana terbitan pertama, untuk membangun Sekolah Raden Adjeng Kartini.

[vi] Sebagai perbandingan, lihat catatan kaki ii.

[vii] Pernikahan Kartini sebetulnya dilangsungkan lebih awal. Bukan pada tanggal 12, tetapi tanggal 8 November, pukul 5 sore. Hal ini sebagaimana suratnya kepada Nyonya Abendanon tanggal 19 Oktober 1903.

[viii] Dalam hal ini, saya sepakat dengan pendapat Saiful Umam dalam artikelnya Antara Kartini dan Kiai Soleh Darat, Relasi Kuat Guru dan Murid? (terbit 2022 di republika.id)

[ix] Sosok ini kerap dirujuk dan mengaku sebagi keturunan Kiai Sholeh Darat. Kutipan dari Fadilah Soleh kerap dijadikan rujukan, baik dalam artikel jurnal maupun artikel populer di media daring. Setelah saya konfirmasi dengan Agus Tiyanto, salah satu cucu mantu Kiai Sholeh Darat yang tekun mengaji dan meneliti karya-karya Kiai Sholeh, serta melalui pembicaraannya dengan keluarga, tidak ditemukan nama Fadilah Soleh dalam silsilah keluarga. Agus menduga—saya pun demikian—berdasarkan amatan terhadap kutipan yang dirujuk dari Fadilah Soleh, kutipan tersebut sama intinya dengan yang ditulis Solichin Salam dalam bukunya (Salam, Solichin. (1979). R.A. Kartini Seratus Tahun (1879-1979). Jakarta: Gunung Agung. Hlm. 46-51.).

[x] Soeroto, Sitisoemandari. (1986). Kartini Sebuah Biografi. Jakarta: Gunung Agung. Tentang pengakuan atas sang kakak yang banyak membantunya, baca surat Kartini kepada Tuan Abendanon tanggal 17 Agustus 1902.

[xi] Rak yang penuh dengan buku-buku pemberian dari Kartono, Tuan Abendanon, Nyonya Abendanon dan Dr. Adriani, dikisahkan Kartini dalam suratnya kepada Tuan Abendanon, tanggal 21 November 1902.

[xii] Lihat Muchoiyyaroh, Lilis. (2019). Rekonstruksi Pemikiran Kartini tentang Keagamaan untuk Memperkuat Integrasi Nasional. Indonesian Historical Studies, 3(1). Hlm. 58-73; bandingkan dengan Kahin, George McTurnan. (2013). Nasionalisme dan revolusi Indonesia. Depok: Komunitas Bambu.



Taufiq Hakim

Penulis

sajjanacarita@gmail.com

eyJtYXBfb3B0aW9ucyI6eyJjZW50ZXJfbGF0IjoiLTcuODA1MTM1NjcxOTUxNTUzIiwiY2VudGVyX2xuZyI6IjExMC4zNjQyMTM4Mjg3MzQ2NiIsInpvb20iOjEwLCJtYXBfdHlwZV9pZCI6IlJPQURNQVAiLCJmaXRfYm91bmRzIjp0cnVlLCJkcmFnZ2FibGUiOnRydWUsInNjcm9sbF93aGVlbCI6dHJ1ZSwiZGlzcGxheV80NV9pbWFnZXJ5IjoiIiwibWFya2VyX2RlZmF1bHRfaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL1wvZGVmYXVsdF9tYXJrZXIucG5nIiwiaW5mb3dpbmRvd19zZXR0aW5nIjoiPGRpdiBjbGFzcz1cImZjLWl0ZW0tYm94IGZjLWl0ZW1jb250ZW50LXBhZGRpbmcgXCI+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS10aXRsZVwiPnttYXJrZXJfdGl0bGV9IDxzcGFuIGNsYXNzPVwiZmMtYmFkZ2UgaW5mb1wiPnttYXJrZXJfY2F0ZWdvcnl9PFwvc3Bhbj48XC9kaXY+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1jb250ZW50IGZjLWl0ZW0tYm9keS10ZXh0LWNvbG9yXCI+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1mZWF0dXJlZCBmYy1sZWZ0IGZjLWl0ZW0tdG9wX3NwYWNlXCI+XG4gICAgICAgICAgICB7bWFya2VyX2ltYWdlfVxuICAgICAgICA8XC9kaXY+XG48cD4gICAgICAgIHttYXJrZXJfbWVzc2FnZX1cbiAgICA8XC9wPjxcL2Rpdj5cbjxhZGRyZXNzIGNsYXNzPVwiZmMtdGV4dFwiPnttYXJrZXJfYWRkcmVzc308XC9hZGRyZXNzPlxuPFwvZGl2PlxuIiwiaW5mb3dpbmRvd19ib3VuY2VfYW5pbWF0aW9uIjoiY2xpY2siLCJpbmZvd2luZG93X2Ryb3BfYW5pbWF0aW9uIjpmYWxzZSwiY2xvc2VfaW5mb3dpbmRvd19vbl9tYXBfY2xpY2siOmZhbHNlLCJpbmZvd2luZG93X3NraW4iOnsibmFtZSI6ImRlZmF1bHQiLCJ0eXBlIjoiaW5mb3dpbmRvdyIsInNvdXJjZWNvZGUiOiI8ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1ib3ggZmMtaXRlbWNvbnRlbnQtcGFkZGluZyBcIj5cclxuICAgIDxkaXYgY2xhc3M9XCJmYy1pdGVtLXRpdGxlXCI+e21hcmtlcl90aXRsZX0gPHNwYW4gY2xhc3M9XCJmYy1iYWRnZSBpbmZvXCI+e21hcmtlcl9jYXRlZ29yeX08XC9zcGFuPjxcL2Rpdj5cclxuICAgIDxkaXYgY2xhc3M9XCJmYy1pdGVtLWNvbnRlbnQgZmMtaXRlbS1ib2R5LXRleHQtY29sb3JcIj5cclxuICAgICAgICA8ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1mZWF0dXJlZCBmYy1sZWZ0IGZjLWl0ZW0tdG9wX3NwYWNlXCI+XHJcbiAgICAgICAgICAgIHttYXJrZXJfaW1hZ2V9XHJcbiAgICAgICAgPFwvZGl2PlxyXG4gICAgICAgIHttYXJrZXJfbWVzc2FnZX1cclxuICAgIDxcL2Rpdj5cclxuICAgIDxhZGRyZXNzIGNsYXNzPVwiZmMtdGV4dFwiPnttYXJrZXJfYWRkcmVzc308XC9hZGRyZXNzPlxyXG48XC9kaXY+In0sImRlZmF1bHRfaW5mb3dpbmRvd19vcGVuIjpmYWxzZSwiaW5mb3dpbmRvd19vcGVuX2V2ZW50IjoiY2xpY2siLCJmdWxsX3NjcmVlbl9jb250cm9sIjpmYWxzZSwic2VhcmNoX2NvbnRyb2wiOnRydWUsInpvb21fY29udHJvbCI6dHJ1ZSwibWFwX3R5cGVfY29udHJvbCI6ZmFsc2UsInN0cmVldF92aWV3X2NvbnRyb2wiOmZhbHNlLCJmdWxsX3NjcmVlbl9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJzZWFyY2hfY29udHJvbF9wb3NpdGlvbiI6IlRPUF9MRUZUIiwiem9vbV9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfdHlwZV9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfdHlwZV9jb250cm9sX3N0eWxlIjoiSE9SSVpPTlRBTF9CQVIiLCJzdHJlZXRfdmlld19jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfY29udHJvbCI6dHJ1ZSwibWFwX2NvbnRyb2xfc2V0dGluZ3MiOmZhbHNlLCJtYXBfem9vbV9hZnRlcl9zZWFyY2giOjYsIndpZHRoIjoiIiwiaGVpZ2h0IjoiMzMwIn0sInBsYWNlcyI6W3siaWQiOiIxIiwidGl0bGUiOiJLZXJhdG9uIiwiYWRkcmVzcyI6IktlcmF0b24gSm9namEiLCJzb3VyY2UiOiJtYW51YWwiLCJjb250ZW50IjoiS2VyYXRvbiBOZ2F5b2d5YWthcnRhIEhhZGluaW5ncmF0IGF0YXUgS2VyYXRvbiBZb2d5YWthcnRhIG1lcnVwYWthbiBpc3RhbmEgcmVzbWkgS2VzdWx0YW5hbiBOZ2F5b2d5YWthcnRhIEhhZGluaW5ncmF0IHlhbmcga2luaSBiZXJsb2thc2kgZGkgS290YSBZb2d5YWthcnRhLiBLZXJhdG9uIGluaSBkaWRpcmlrYW4gb2xlaCBTcmkgU3VsdGFuIEhhbWVuZ2t1YnV3YW5hIEkgcGFkYSB0YWh1biAxNzU1IHNlYmFnYWkgSXN0YW5hXC9LZXJhdG9uIFlvZ3lha2FydGEgeWFuZyBiYXJ1IGJlcmRpcmkgYWtpYmF0IHBlcnBlY2FoYW4gTWF0YXJhbSBJc2xhbSBkZW5nYW4gYWRhbnlhIFBlcmphbmppYW4gR2l5YW50aS4gS2VyYXRvbiBpbmkgYWRhbGFoIHBlY2FoYW4gZGFyaSBLZXJhdG9uIFN1cmFrYXJ0YSBIYWRpbmluZ3JhdCBkYXJpIE1hdGFyYW0gSXNsYW0gU3VyYWthcnRhIChLZXJhamFhbiBTdXJha2FydGEpLiBTZWhpbmdnYSBkaW5hc3RpIE1hdGFyYW0gZGl0ZXJ1c2thbiBvbGVoIDIgS2VyYWphYW4geWFrbmkgS2VzdWx0YW5hbiBZb2d5YWthcnRhIGRhbiBLZXN1bmFuYW4gU3VyYWthcnRhLiBUb3RhbCBsdWFzIHdpbGF5YWgga2VzZWx1cnVoYW4ga2VyYXRvbiB5b2d5YWthcnRhIG1lbmNhcGFpIDE0NCBoZWt0YXIsIHlha25pIG1lbGlwdXRpIHNlbHVydWggYXJlYSBkaSBkYWxhbSBiZW50ZW5nIEJhbHV3YXJ0aSwgYWx1bi1hbHVuIExvciwgYWx1bi1hbHVuIEtpZHVsLCBnYXB1cmEgR2xhZGFrLCBkYW4ga29tcGxla3MgTWFzamlkIEdlZGhlIFlvZ3lha2FydGEuIFNlbWVudGFyYSBsdWFzIGRhcmkga2VkaGF0b24gKGludGkga2VyYXRvbikgbWVuY2FwYWkgMTMgaGVrdGFyLiAiLCJsb2NhdGlvbiI6eyJpY29uIjoiaHR0cHM6XC9cL2phbmdrYWguaWRcL3dwLWNvbnRlbnRcL3BsdWdpbnNcL3dwLWdvb2dsZS1tYXAtcGx1Z2luXC9hc3NldHNcL2ltYWdlc1wvXC9kZWZhdWx0X21hcmtlci5wbmciLCJsYXQiOiItNy44MDUxMzU2NzE5NTE1NTMiLCJsbmciOiIxMTAuMzY0MjEzODI4NzM0NjYiLCJjaXR5IjoiWW9neWFrYXJ0YSIsInN0YXRlIjoiRGFlcmFoIElzdGltZXdhIFlvZ3lha2FydGEiLCJjb3VudHJ5IjoiSW5kb25lc2lhIiwib25jbGlja19hY3Rpb24iOiJtYXJrZXIiLCJyZWRpcmVjdF9jdXN0b21fbGluayI6IiIsIm1hcmtlcl9pbWFnZSI6IjxkaXYgY2xhc3M9J2ZjLWZlYXR1cmUtaW1nJz48aW1nIGxvYWRpbmc9J2xhenknIGRlY29kaW5nPSdhc3luYycgYWx0PSdLZXJhdG9uJyBzcmM9J2h0dHBzOlwvXC91cGxvYWQud2lraW1lZGlhLm9yZ1wvd2lraXBlZGlhXC9jb21tb25zXC90aHVtYlwvM1wvMzNcL0tyYXRvbl9Zb2d5YWthcnRhX1BhZ2VsYXJhbi5qcGdcLzEwMjRweC1LcmF0b25fWW9neWFrYXJ0YV9QYWdlbGFyYW4uanBnJyBjbGFzcz0nd3BnbXBfbWFya2VyX2ltYWdlIGZjLWl0ZW0tZmVhdHVyZWRfaW1hZ2UgZmMtaXRlbS1sYXJnZScgXC8+PFwvZGl2PiIsIm9wZW5fbmV3X3RhYiI6InllcyIsInBvc3RhbF9jb2RlIjoiIiwiZHJhZ2dhYmxlIjpmYWxzZSwiaW5mb3dpbmRvd19kZWZhdWx0X29wZW4iOmZhbHNlLCJhbmltYXRpb24iOiJCT1VOQ0UiLCJpbmZvd2luZG93X2Rpc2FibGUiOnRydWUsInpvb20iOjUsImV4dHJhX2ZpZWxkcyI6IiJ9LCJjYXRlZ29yaWVzIjpbeyJpZCI6IiIsIm5hbWUiOiIiLCJ0eXBlIjoiY2F0ZWdvcnkiLCJleHRlbnNpb25fZmllbGRzIjpbXSwiaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL1wvZGVmYXVsdF9tYXJrZXIucG5nIn1dLCJjdXN0b21fZmlsdGVycyI6IiJ9XSwic3R5bGVzIjoiIiwibGlzdGluZyI6IiIsIm1hcmtlcl9jbHVzdGVyIjp7ImdyaWQiOiIxNSIsIm1heF96b29tIjoiMSIsImltYWdlX3BhdGgiOiJodHRwczpcL1wvamFuZ2thaC5pZFwvd3AtY29udGVudFwvcGx1Z2luc1wvd3AtZ29vZ2xlLW1hcC1wbHVnaW5cL2Fzc2V0c1wvaW1hZ2VzXC9tIiwiaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL2NsdXN0ZXJcLzQucG5nIiwiaG92ZXJfaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL2NsdXN0ZXJcLzQucG5nIiwiYXBwbHlfc3R5bGUiOmZhbHNlLCJtYXJrZXJfem9vbV9sZXZlbCI6IjEifSwibWFwX3Byb3BlcnR5Ijp7Im1hcF9pZCI6IjEiLCJkZWJ1Z19tb2RlIjpmYWxzZX19

Daksinargastuti, Menyenandungkan Kembali Syair-syair Kuno Yogyakarta

Daksinargastuti merupakan kegiatan Komunitas Jangkah Nusantara yang meliputi pemetaan, preservasi naskah kuno, bengkel sastra-aksara dan macapat, serta alih aksara manuskrip.
Lihat Rekaman Baca Pengantar
poster diskusi