Skriptorium

Naskah Merapi-Merbabu dalam Jaringan Skriptorium

Ketika orang-orang suruhan Baron Van der Capellen, gubernur jenderal yang memerintah antara tahun 1819-1826, melaporkan melalui survei kebudayaan tahun 1822 di daerah Dakan, lereng barat Gunung Merbabu, naskah-naskah itu masih terkumpul di dalam satu peti yang ditempatkan pada sebuah langgar tempat salat. Naskah-naskah itu diatribusikan kepada Kiai Windusana, sosok

Kamis, 28 April 2022

399 Kali

0 Kali

6 Menit

Ketika orang-orang suruhan Baron Van der Capellen, gubernur jenderal yang memerintah antara tahun 1819-1826, melaporkan melalui survei kebudayaan tahun 1822 di daerah Dakan, lereng barat Gunung Merbabu, naskah-naskah itu masih terkumpul di dalam satu peti yang ditempatkan pada sebuah langgar tempat salat. Naskah-naskah itu diatribusikan kepada Kiai Windusana, sosok pemuka spiritual yang sangat dihormati oleh masyarakat setempat. Mereka saat itu menyakini bahwa Kiai Windusana telah meninggal delapan windu sebelumnya, atau sekitar pertengahan abad ke-18. Ia mewariskan ratusan naskah itu kepada anak keturunannya. Sayangnya, tidak ada lagi keturunan Kiai Windusana yang bisa membaca naskah-naskah beraksara “aneh” tersebut. Walau begitu, pada periode-periode tertentu, sekotak naskah itu masih diberi sesaji dan disembahyangi. Hal itu semata-mata untuk melaksanakan amanah untuk merawat pusaka warisan leluhur.

Pihak kolonial ingin mengakuisisi naskah-naskah itu. Namun pihak ahli waris mempertahankannya. Pihak kolonial lantas mengurungkan niatnya setelah menilai bahwa substansi naskah-naskah itu tidak terlalu penting. Akan tetapi, sekitar tiga puluh tahun kemudian, ada laporan bahwa ratusan naskah dari lereng barat Gunung Merbabu itu telah diakuisisi. Naskah-naskah itu telah berada di Batavia pada tahun 1852, serta menjadi koleksi naskah berbahan daun tal (Borassus flabellifer) paling awal yang dimiliki Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wettenschappen. Selain tersimpan di Batavia, naskah-naskah Merapi-Merbabu juga tersimpan di sejumlah lembaga publik di Eropa. Perpindahan itu, salah satunya, diinisiasi oleh R. Friederich, seorang indolog Jerman yang pernah mendapat tugas untuk melakukan kajian awal terhadap naskah-naskah dari Merbabu, melalui koneksinya dengan sejumlah orientalis seperti Karl Schoemann dan Hermann Zotenberg.

Semula, kumpulan naskah ini disebut sebagai koleksi “Merbabu” berdasarkan lokasi penemuannya. Sekarang ini, nama “Merapi-Merbabu” lebih umum digunakan. Setelah dikaji, kolofon naskah-naskah itu tidak hanya menyebut satu skriptorium. Tidak hanya di Gunung Merbabu, skriptorium itu tersebar di sejumlah pegunungan lain, seperti Merapi, Ungaran, Telamaya, bahkan hingga pegunungan Wilis di Jawa Timur. Memang, sebagian besar naskah-naskah itu berasal dari lereng Merbabu dan Merapi. Jadi, penggunaan istilah “koleksi naskah Merapi-Merbabu” setidaknya masih relevan, walaupun tidak sepenuhnya tepat. Sejauh ini belum diketahui mengapa naskah-naskah yang berasal dari sejumlah skriptorium itu akhirnya terkumpul pada satu tempat. Akan tetapi, migrasi teks sebenarnya juga bukan hal aneh yang terjadi di kawasan pegunungan itu. Ada jaringan skriptorium yang saling terhubung.    

Secara geografis, baik Gunung Telamaya maupun Gunung Ungaran, berada dalam satu rangkaian yang membujur dari selatan ke utara. Faktor geografis itulah yang memungkinkan adanya migrasi teks antar skriptorium. Informasi tentang adanya migrasi teks dan jaringan skriptorium tidak akan tersaji secara eksplisit, sebelum telaah perbandingan dilakukan terhadap naskah-naskah yang mendokumentasikan teks suatu karya. Sebagai contoh, variasi tekstual yang terdapat di dalam naskah-naskah Uttaraśabda dan Gita Sinangsaya menjadi petunjuk adanya hubungan yang erat antara skriptorium di kawasan Gunung Ungaran (Karungrungan) dan bagian barat Gunung Merbabu (Damalung).

Teks Uttaraśabda naskah 86 L 334 yang disalin di sebuah pertapaan (panusupan) bernama Argatapa di lereng utara Gunung Ungaran, ternyata memiliki redaksi bacaan yang serupa dengan teks Uttaraśabda dalam dua naskah produk skriptorium di lereng barat (naskah 6 L 46) dan barat laut (naskah 1 L 170) Gunung Merbabu. Menariknya, bacaan ketiga naskah tersebut cukup berbeda dari satu naskah Uttaraśabda yang berasal dari skriptorium Argabelah di lereng timur-laut Gunung Merapi, yakni 1 L 225. Dalam kasus distribusi teks Uttaraśabda, skriptorium Merapi cenderung berbeda serta mewakili cabang tradisi tersendiri. Kasus kakawin Arjunawiwāha, pun demikian. Kakawin Arjunawiwāha dari tradisi Merapi timur memiliki sisipan satu bait. Inilah kekhasan yang dimiliki. Tekstualitas di skriptorium Merapi-Merbabu bersifat dinamis.

Selain pada kasus Uttaraśabda,relasi Ungaran-Merbabu juga terlihat pada dua naskah Gita Sinangsaya, yakni naskah 32 L 313 dan 32 L 231. Bacaan kedua naskah boleh dikatakan nyaris identik, termasuk letak korup yang paralel pada masing-masing naskah. Apabila kolofon naskah 32 L 231 dengan jelas menyebutkan bahwa teks Gita Sinangsaya disalin di Merbabu, maka kolofon 32 L 313 yang berangka tahun 1592 Śaka (sekitar 1670 Masehi), menginformasikan adanya kesinambungan kerja transmisi teks. Tahap pertama, teks disalin di Ungaran dan kemudian ditulis di Merbabu. Jadi, dengan demikian, dapat diketahui bahwa di lingkungan skriptorium kawasan Gunung Merbabu, Merapi, Ungaran, dan Telamaya, menyimpan dinamika tekstual yang mungkin sangat beragam dan kaya. Melaui pengamatan terhadap dinamika tekstual dalam naskah koleksi Merapi-Merbabu, nantinya dapat diketahui jaringan skriptorium, kontak, serta migrasi pengetahuan di antara komunitas religius pengguna naskah. Kita bayangkan, mereka yang menempuh jalan sunyi, berpindah dari satu lereng ke lereng lain, menyusup ke dalam hutan melewati setapak yang curam lalu menemukan desa-desa pertapa yang tersembunyi. Pengetahuan itu lalu ditanam dan diamalkan.

Selain itu, lingkungan skriptorium Merapi-Merbabu bukanlah tempat yang terisolir dari dunia luar. Walaupun aksetisme adalah dunia yang terlihat ekslusif, namun sifat keterbukaan yang inklusif juga dapat ditemukan di sana. Keterbukaan keluar maupun ke dalam. Keterbukaan keluar, artinya produk tekstual yang berasal dari skriptorium Merapi-Merbabu bermigrasi keluar, kemudian berkembang, bertransformasi, dan menemukan fungsinya yang baru. Pelacakan jalur pewarisan teks kakawin Arjunawiwāha di lingkungan sastra Jawa yang dilakukan I Kuntara Wiryamartana almarhum, selain menemukan “mata rantai pewarisan yang hilang”, juga mempertegas hubungan antara skriptorium Merapi-Merbabu dan skriptorium di keraton-keraton Mataram Islam, khususnya pada masa Kartasura dan Surakarta awal antara abad ke-17 dan ke-18. Selain Arjunawiwāha, ada pula teks kakawin Arjunawijaya dan Dharmaśunya yang semakin mempertegas relasi itu. Sementara itu, keterbukaan ke dalam artinya bahwa lingkungan skriptorium Merapi-Merbabu juga menyerap teks dari luar. Contoh untuk kasus ini adalah penerimaan karya-karya yang bernafaskan Islam, seperti Tapěl Adam dan Nabi Aparas. Keduanya menjadi bukti tekstual bahwa pada suatu masa, telah terjadi hubungan yang cukup akrab antara dunia pesisir dan lingkungan Merapi-Merbabu. Pengaruh Islam diterima, walau dengan pengubah-sesuaian mengikuti pola kehidupan serta pandangan dunia masyarakatnya.

Selain itu, jejak relasi antara pesisir dan skriptorium Merapi-Merbabu juga terlihat melalui teks Damarwulan dalam naskah 24 L 149. Inilah satu-satunya artefak tekstual cerita Damarwulan dari skriptorium kawasan Merapi-Merbabu. Teks tembang bertitimangsa 1673 Śaka (kronogram: mantri kuda obahing rat) itu—atau sekitar paro pertama abad ke-18 Masehi—memiliki karakteristik pesisiran yang khas. Pupuh pertama teks Damarwulan dibingkai dengan metrum Asmaradana. Dalam tradisi lisan yang berkembang di masyarakat Jawa, teks-teks tembang dengan pupuh pembuka bermetrum Asmaradana selalu diatribusikan kepada Sunan Giri Kedaton. Walau demikian, memang, sebagian besar teks tembang yang dibuka dengan pupuh Asmaradana berasal dari wilayah pesisir bagian timur. Teks Damarwulan 24 L 149 ternyata masih satu resensi dengan naskah Damarwulan MSS Jav 89 yang terkenal kaya ilustrasi itu. Naskah MSS Jav 89 sendiri merupakan hasil sumbangan mantan Residen Cirebon, Mayor W. Raban, kepada Indian Office Library di London Inggris pada tahun 1815 (Coster-Wijsman, 1953). Sayangnya, naskah 24 L 149 hanya berisi lima pupuh awal teks Damarwulan. Penyalinan teks dalam naskah itu tidak selesai.     

Adanya jaringan yang menghubungkan skriptorium Merapi-Merbabu dengan wilayah luar menjadi petunjuk adanya sikap inklusif komunitas di kawasan itu. Tetapi sikap inklusif itu bukan tanpa batas. Ada sistem budaya yang bekerja menentukan proses penerimaan itu. Tentunya akan menarik jika nalar itu ditelisik melalui artefak tekstual yang masih ada hingga sekarang. Kajian yang menyeluruh terhadap naskah-naskah Merapi-Merbabu masih dibutuhkan, sebelum akhirnya kabut yang menyelimutinya tersingkap, dan dengan jelas kita melihat setapak di antara perdu, lumut, dan julang pepohonan.[]



Abimardha Kurniawan

Penulis

a.kurniawan86@gmail.com

eyJtYXBfb3B0aW9ucyI6eyJjZW50ZXJfbGF0IjoiLTcuODA1MTM1NjcxOTUxNTUzIiwiY2VudGVyX2xuZyI6IjExMC4zNjQyMTM4Mjg3MzQ2NiIsInpvb20iOjEwLCJtYXBfdHlwZV9pZCI6IlJPQURNQVAiLCJmaXRfYm91bmRzIjp0cnVlLCJkcmFnZ2FibGUiOnRydWUsInNjcm9sbF93aGVlbCI6dHJ1ZSwiZGlzcGxheV80NV9pbWFnZXJ5IjoiIiwibWFya2VyX2RlZmF1bHRfaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL1wvZGVmYXVsdF9tYXJrZXIucG5nIiwiaW5mb3dpbmRvd19zZXR0aW5nIjoiPGRpdiBjbGFzcz1cImZjLWl0ZW0tYm94IGZjLWl0ZW1jb250ZW50LXBhZGRpbmcgXCI+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS10aXRsZVwiPnttYXJrZXJfdGl0bGV9IDxzcGFuIGNsYXNzPVwiZmMtYmFkZ2UgaW5mb1wiPnttYXJrZXJfY2F0ZWdvcnl9PFwvc3Bhbj48XC9kaXY+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1jb250ZW50IGZjLWl0ZW0tYm9keS10ZXh0LWNvbG9yXCI+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1mZWF0dXJlZCBmYy1sZWZ0IGZjLWl0ZW0tdG9wX3NwYWNlXCI+XG4gICAgICAgICAgICB7bWFya2VyX2ltYWdlfVxuICAgICAgICA8XC9kaXY+XG48cD4gICAgICAgIHttYXJrZXJfbWVzc2FnZX1cbiAgICA8XC9wPjxcL2Rpdj5cbjxhZGRyZXNzIGNsYXNzPVwiZmMtdGV4dFwiPnttYXJrZXJfYWRkcmVzc308XC9hZGRyZXNzPlxuPFwvZGl2PlxuIiwiaW5mb3dpbmRvd19ib3VuY2VfYW5pbWF0aW9uIjoiY2xpY2siLCJpbmZvd2luZG93X2Ryb3BfYW5pbWF0aW9uIjpmYWxzZSwiY2xvc2VfaW5mb3dpbmRvd19vbl9tYXBfY2xpY2siOmZhbHNlLCJpbmZvd2luZG93X3NraW4iOnsibmFtZSI6ImRlZmF1bHQiLCJ0eXBlIjoiaW5mb3dpbmRvdyIsInNvdXJjZWNvZGUiOiI8ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1ib3ggZmMtaXRlbWNvbnRlbnQtcGFkZGluZyBcIj5cclxuICAgIDxkaXYgY2xhc3M9XCJmYy1pdGVtLXRpdGxlXCI+e21hcmtlcl90aXRsZX0gPHNwYW4gY2xhc3M9XCJmYy1iYWRnZSBpbmZvXCI+e21hcmtlcl9jYXRlZ29yeX08XC9zcGFuPjxcL2Rpdj5cclxuICAgIDxkaXYgY2xhc3M9XCJmYy1pdGVtLWNvbnRlbnQgZmMtaXRlbS1ib2R5LXRleHQtY29sb3JcIj5cclxuICAgICAgICA8ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1mZWF0dXJlZCBmYy1sZWZ0IGZjLWl0ZW0tdG9wX3NwYWNlXCI+XHJcbiAgICAgICAgICAgIHttYXJrZXJfaW1hZ2V9XHJcbiAgICAgICAgPFwvZGl2PlxyXG4gICAgICAgIHttYXJrZXJfbWVzc2FnZX1cclxuICAgIDxcL2Rpdj5cclxuICAgIDxhZGRyZXNzIGNsYXNzPVwiZmMtdGV4dFwiPnttYXJrZXJfYWRkcmVzc308XC9hZGRyZXNzPlxyXG48XC9kaXY+In0sImRlZmF1bHRfaW5mb3dpbmRvd19vcGVuIjpmYWxzZSwiaW5mb3dpbmRvd19vcGVuX2V2ZW50IjoiY2xpY2siLCJmdWxsX3NjcmVlbl9jb250cm9sIjpmYWxzZSwic2VhcmNoX2NvbnRyb2wiOnRydWUsInpvb21fY29udHJvbCI6dHJ1ZSwibWFwX3R5cGVfY29udHJvbCI6ZmFsc2UsInN0cmVldF92aWV3X2NvbnRyb2wiOmZhbHNlLCJmdWxsX3NjcmVlbl9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJzZWFyY2hfY29udHJvbF9wb3NpdGlvbiI6IlRPUF9MRUZUIiwiem9vbV9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfdHlwZV9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfdHlwZV9jb250cm9sX3N0eWxlIjoiSE9SSVpPTlRBTF9CQVIiLCJzdHJlZXRfdmlld19jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfY29udHJvbCI6dHJ1ZSwibWFwX2NvbnRyb2xfc2V0dGluZ3MiOmZhbHNlLCJtYXBfem9vbV9hZnRlcl9zZWFyY2giOjYsIndpZHRoIjoiIiwiaGVpZ2h0IjoiMzMwIn0sInBsYWNlcyI6W3siaWQiOiIxIiwidGl0bGUiOiJLZXJhdG9uIiwiYWRkcmVzcyI6IktlcmF0b24gSm9namEiLCJzb3VyY2UiOiJtYW51YWwiLCJjb250ZW50IjoiS2VyYXRvbiBOZ2F5b2d5YWthcnRhIEhhZGluaW5ncmF0IGF0YXUgS2VyYXRvbiBZb2d5YWthcnRhIG1lcnVwYWthbiBpc3RhbmEgcmVzbWkgS2VzdWx0YW5hbiBOZ2F5b2d5YWthcnRhIEhhZGluaW5ncmF0IHlhbmcga2luaSBiZXJsb2thc2kgZGkgS290YSBZb2d5YWthcnRhLiBLZXJhdG9uIGluaSBkaWRpcmlrYW4gb2xlaCBTcmkgU3VsdGFuIEhhbWVuZ2t1YnV3YW5hIEkgcGFkYSB0YWh1biAxNzU1IHNlYmFnYWkgSXN0YW5hXC9LZXJhdG9uIFlvZ3lha2FydGEgeWFuZyBiYXJ1IGJlcmRpcmkgYWtpYmF0IHBlcnBlY2FoYW4gTWF0YXJhbSBJc2xhbSBkZW5nYW4gYWRhbnlhIFBlcmphbmppYW4gR2l5YW50aS4gS2VyYXRvbiBpbmkgYWRhbGFoIHBlY2FoYW4gZGFyaSBLZXJhdG9uIFN1cmFrYXJ0YSBIYWRpbmluZ3JhdCBkYXJpIE1hdGFyYW0gSXNsYW0gU3VyYWthcnRhIChLZXJhamFhbiBTdXJha2FydGEpLiBTZWhpbmdnYSBkaW5hc3RpIE1hdGFyYW0gZGl0ZXJ1c2thbiBvbGVoIDIgS2VyYWphYW4geWFrbmkgS2VzdWx0YW5hbiBZb2d5YWthcnRhIGRhbiBLZXN1bmFuYW4gU3VyYWthcnRhLiBUb3RhbCBsdWFzIHdpbGF5YWgga2VzZWx1cnVoYW4ga2VyYXRvbiB5b2d5YWthcnRhIG1lbmNhcGFpIDE0NCBoZWt0YXIsIHlha25pIG1lbGlwdXRpIHNlbHVydWggYXJlYSBkaSBkYWxhbSBiZW50ZW5nIEJhbHV3YXJ0aSwgYWx1bi1hbHVuIExvciwgYWx1bi1hbHVuIEtpZHVsLCBnYXB1cmEgR2xhZGFrLCBkYW4ga29tcGxla3MgTWFzamlkIEdlZGhlIFlvZ3lha2FydGEuIFNlbWVudGFyYSBsdWFzIGRhcmkga2VkaGF0b24gKGludGkga2VyYXRvbikgbWVuY2FwYWkgMTMgaGVrdGFyLiAiLCJsb2NhdGlvbiI6eyJpY29uIjoiaHR0cHM6XC9cL2phbmdrYWguaWRcL3dwLWNvbnRlbnRcL3BsdWdpbnNcL3dwLWdvb2dsZS1tYXAtcGx1Z2luXC9hc3NldHNcL2ltYWdlc1wvXC9kZWZhdWx0X21hcmtlci5wbmciLCJsYXQiOiItNy44MDUxMzU2NzE5NTE1NTMiLCJsbmciOiIxMTAuMzY0MjEzODI4NzM0NjYiLCJjaXR5IjoiWW9neWFrYXJ0YSIsInN0YXRlIjoiRGFlcmFoIElzdGltZXdhIFlvZ3lha2FydGEiLCJjb3VudHJ5IjoiSW5kb25lc2lhIiwib25jbGlja19hY3Rpb24iOiJtYXJrZXIiLCJyZWRpcmVjdF9jdXN0b21fbGluayI6IiIsIm1hcmtlcl9pbWFnZSI6IjxkaXYgY2xhc3M9J2ZjLWZlYXR1cmUtaW1nJz48aW1nIGxvYWRpbmc9J2xhenknIGRlY29kaW5nPSdhc3luYycgYWx0PSdLZXJhdG9uJyBzcmM9J2h0dHBzOlwvXC91cGxvYWQud2lraW1lZGlhLm9yZ1wvd2lraXBlZGlhXC9jb21tb25zXC90aHVtYlwvM1wvMzNcL0tyYXRvbl9Zb2d5YWthcnRhX1BhZ2VsYXJhbi5qcGdcLzEwMjRweC1LcmF0b25fWW9neWFrYXJ0YV9QYWdlbGFyYW4uanBnJyBjbGFzcz0nd3BnbXBfbWFya2VyX2ltYWdlIGZjLWl0ZW0tZmVhdHVyZWRfaW1hZ2UgZmMtaXRlbS1sYXJnZScgXC8+PFwvZGl2PiIsIm9wZW5fbmV3X3RhYiI6InllcyIsInBvc3RhbF9jb2RlIjoiIiwiZHJhZ2dhYmxlIjpmYWxzZSwiaW5mb3dpbmRvd19kZWZhdWx0X29wZW4iOmZhbHNlLCJhbmltYXRpb24iOiJCT1VOQ0UiLCJpbmZvd2luZG93X2Rpc2FibGUiOnRydWUsInpvb20iOjUsImV4dHJhX2ZpZWxkcyI6IiJ9LCJjYXRlZ29yaWVzIjpbeyJpZCI6IiIsIm5hbWUiOiIiLCJ0eXBlIjoiY2F0ZWdvcnkiLCJleHRlbnNpb25fZmllbGRzIjpbXSwiaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL1wvZGVmYXVsdF9tYXJrZXIucG5nIn1dLCJjdXN0b21fZmlsdGVycyI6IiJ9XSwic3R5bGVzIjoiIiwibGlzdGluZyI6IiIsIm1hcmtlcl9jbHVzdGVyIjp7ImdyaWQiOiIxNSIsIm1heF96b29tIjoiMSIsImltYWdlX3BhdGgiOiJodHRwczpcL1wvamFuZ2thaC5pZFwvd3AtY29udGVudFwvcGx1Z2luc1wvd3AtZ29vZ2xlLW1hcC1wbHVnaW5cL2Fzc2V0c1wvaW1hZ2VzXC9tIiwiaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL2NsdXN0ZXJcLzQucG5nIiwiaG92ZXJfaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL2NsdXN0ZXJcLzQucG5nIiwiYXBwbHlfc3R5bGUiOmZhbHNlLCJtYXJrZXJfem9vbV9sZXZlbCI6IjEifSwibWFwX3Byb3BlcnR5Ijp7Im1hcF9pZCI6IjEiLCJkZWJ1Z19tb2RlIjpmYWxzZX19

Daksinargastuti, Menyenandungkan Kembali Syair-syair Kuno Yogyakarta

Daksinargastuti merupakan kegiatan Komunitas Jangkah Nusantara yang meliputi pemetaan, preservasi naskah kuno, bengkel sastra-aksara dan macapat, serta alih aksara manuskrip.
Lihat Rekaman Baca Pengantar
poster diskusi