Pustaka

Perempuan-perempuan Setia dan Pemberani dalam Karya Sastra Kuno

Kisah-kisah perempuan yang tertulis dalam karya sastra Jawa dan India berabad-abad lalu.

Sabtu, 10 April 2021

1,137 Kali

0 Kali

8 Menit

Siapa tak kenal Mahabharata, epos agung dari India ini sampai kapan pun akan tetap memukau. Hal itu memang sudah diramalkan dalam salah satu bait karya sastra ini. Kira-kira bunyinya: Mahabharata akan selalu hidup sepanjang masa. Keagungan Mahabharata tidak hanya terletak pada keindahan bahasanya, tetapi juga pada nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.Terbukti, banyak sarjana yang kepincut dengan cerita keluarga Bharata ini. Mereka seakan tak bosan mengupas karya sastra berjenis viracarita (kepahlawanan) ini.

Salah satu studi yang cukup menarik pernah dilakukan oleh Alf Hiltelbeitel. Bukunya yang berjudul The Ritual of Batle; Krishna in the Mahabharata diterbitkan pada tahun 1990. Guru besar bidang religi di Universitas Washington ini memfokuskan kajiannya pada peran Krishna di dalam perang Bharatayudha. Hiltelbeitel dalam bukunya membagi ke dalam beberapa bab yang berisi penjelasan tentang kisah perkawinan Drupadi, hingga misi perdamaian dunia di dalam Mahabharata. Ia menggalinya secara mendalam dari sisi epik, mite dan ritual.

Mahabharata tidak sekadar mengisahkan perang antarsaudara laki-laki, yakni Pandawa dan Kurawa yang memperebutkan tahta Hastinapura. Anggapan tersebut menimbulkan pemahaman bahwa peran laki-laki lebih dominan. Dominasi peran tersebut akhirnya tidak memberikan tempat bagi perempuan melainkan hanya sebagai istri atau Ibu belaka. Anggapan umum seperti itulah yang membuat Kavita A. Sharma mengajak kita untuk menyelami teks Mahabharata secara lebih dalam lagi. Pada paruh awal 2013 lalu bukunya yang berjudul Perempuan-perempuan Mahabharata diterbitkan sebagai bukti bahwa Mahabharata juga mengisahkan perempuan-perempuan yang pemberani.

Secara bertahap melalui pembacaan dengan seksama, Kavita menemukan keberanian dalam diri para perempuan seperti Kunti, Satyawati, Gandari, Drupadi dan perempuan lain melalui peran mereka yang terbatas. Mereka mengerahkan akal dan tubuh untuk berjuang dengan sikap yang tegas dan pantang menyerah atas berbagai situasi yang memojokkan mereka. Para perempuan tersebut menciptakan ruang geraknya sendiri dan memainkan peran-peran yang menentukan. Sehingga, para laki-laki baik dari pihak Pandawa maupun Kurawa tak punya pilihan lain kecuali berjalan menurut jalur yang telah digariskan oleh para perempuan.

Dalam upaya mempertahankan Hastinapura, didapati peran para perempuan yang sangat berpengaruh. Para perempuan mencari berbagai jalan untuk mempertahankan tahta Hastinapura setara dengan yang dilakukan oleh para laki-laki.Namun demikian, bukan berarti mereka bertindak semau sendiri dan menghalalkan segala cara. Para perempuan diceritakan memiliki sifat-sifat kepahlawanan yang istimewa. Pada bagian Virataparva, kisah Drupadi menunjukkan betapa seorang perempuan dengan keberaniannya menantang Kurawa yang melecehkannya.

Istri Pandawa ini merupakan satu-satunya perempuan Hastinapura yang berhasil mempertanyakan norma-norma patriartikal. Secara terbuka Drupadi menantang para lelaki dan menegaskan bahwa dirinya sederajat dengan mereka. Pada banyak kesempatan, justru Drupadi yang membela dan melindungi kelima suaminya, dan bukan sebaliknya. Bahkan, para suaminya, terutama Yudhistira, mengecewakannya pada saat-saat genting. Ketika Drupadi dilucuti pakaiannya di Istana Kuru, diculik Jayadrata dan dilecehkan oleh Kicaka di istana Wirata, suaminya tidak bisa berbuat apa-apa. Menurut Kavita, para Pandawa tidak peduli dengan penghinaan Kurawa terhadap Drupadi, mereka cenderung mencari jalan damai daripada balas dendam.

Lebih lanjut, Kavita memperdalam interpretasinya dengan konteks kebudayaan masyarakat India. Kekuatan dan keberanian Drupadi menguatkan statusnya sebagai perempuan mandiri yang layak dipuja, baik secara langsung maupun tak langsung. Drupadi adalah pelindung bagi mereka yang terinjak dan tertindas. Hal itu terlihat dari pemujanya yang biasanya berasal dari kalangan berstrata rendah. Drupadi didudukkan sebagai dewi orang-orang pedalaman yang tidak menghiraukan norma-norma patriartikal yang mengekang. Bahkan, perempuan bersuami lima ini dianggap suci dan perawan. Drupadi merupakan sebuah bentuk penegasan akan kebebasan seorang manusia. Putri Raja Pancala ini juga menyimbolkan keberanian dalam menghadapi kesulitan, sehingga orang dapat melalui semua cobaan dan keluar sebagai pemenang.

***

Setahun sebelumnya, studi tentang perempuan dalam karya sastra kuno juga dilakukan oleh Helen Creese. Guru besar bidang bahasa dan perbandingan budaya di University of Queensland Australia ini menerbitkan bukunya yang berjudul Perempuan dalam Dunia Kakawin, Perkawinan dan Seksualitas di Istana Indic Jawa dan Bali. Menurut Creese, ketidakhadiran sejarah perempuan dalam konteks Indonesia disebabkan bukan karena fakta bahwa kajian perempuan telah dikesampingkan atau diterlantarkan. Akan tetapi, fakta bahwa perhatian terhadap segala bentuk sejarah sosial, khususnya perempuan, masih sangat langka.

Kajian tentang sejarah perempuan di Indonesia pernah dimulai oleh Barbara Watson Andaya. Minat Andaya terhadap periode awal modern telah memungkinkannya memfokuskan diri pada periode yang sangat kaya dengan sumber-sumber komparatif setelah awal abad ke-16. Berbeda dengan Andaya, Creese memilih sumber-sumber lokal yang lebih tua berupa kakawin. Puisi berbahasa Jawa kuna ini dipilihnya dengan tujuan untuk merambah ruang lingkup yang lebih jauh ke belakang. Creese menggunakan beberapa kakawin yang berasal dari Jawa, Bali dan Lombok yang berasal dari abad 9-20 M. beberapa kakawin yang dipakai dalam studinya antara lain Ramayana, Ghatotkacasraya, Sumanasantaka, Kresnayana, Hariwangsa, Desawarnana dan Abhimayuwiwaha.

Menurut Creese, Kakawin bukanlah dokumen historis yang kering melainkan sebuah seni sastra. Tema utama Kakawin adalah perang, cinta dan perkawinan. Melalui bentuk puisi para penyair mencoba menangkap esensi kenikamatan estetis dengan kata-kata yang indah lewat penceritaan perempuan dan laki-laki yang luar biasa. Kakawin merupakan jenis sastra yang paling kuno yang dikenal di kepulauan Indonesia, paling sedikit sampai pada abad ke-9 di Jawa dan sebelum itu pada masa India kuno.

Dalam perjalanannya, terciptalah kekayaan budaya istana-istana Indic yang berkembang di Jawa dan Bali, serta di Sumatra dan Kalimantan. Dalam buku ini, Creese lebih suka menggunakan istilah Indic untuk merujuk pada percampuran yang unik dari agama, budaya dan praktik-praktik sosial yang diadopsi dari India. Bagi Creese, kepercayaan animisme daerah setempat juga turut andil dalam percampuran tersebut. Peminat Sastra Jawa Kuna ini menjelajahi korpus kakawin sebagai sebuah sumber sejarah sosial dan budaya kerajaan-kerajaan Indic, serta mempertimbangkan masalah gender dalam teks. Bukan saja karena kakawin mendukung kajian tersebut, tetapi juga karena kajian seperti ini belum pernah dilakukan.

Perhatian utama buku ini adalah pengalaman-pengalaman para perempuan dalam dunia istana. Fokus perhatiannya terletak pada putri-putri bangsawan dan lingkungan pelayan, serta dayang-dayangnya yang tinggal di pusat istana kerajaan yang menjadi latar cerita kakawin. Buku ini menjelaskan gaya hidup dan kegiatan sehari-hari mereka. Creese juga menelusuri pengalaman mereka dari kesadaran seksual sampai perkawinan dan pemuasan hasrat seksual.

Pada bab terakhir, Creese menyajikan pembahasan yang menarik. Ia memaparkan konsekuensi yang harus dijalani oleh para perempuan ketika suami mereka meninggal. Dalam bab ini dijelaskan betapa tragis seorang perempuan ketika melakukan sati (menceburkan diri ke dalam api kremasi suaminya) atau pun mengasingkan diri dari masyarakat menuju pertapaan di gunung. Konsekuensi yang harus ditempuh oleh perempuan dalam konteks sati bukanlah suatu hukuman, melainkan sebuah wujud nyata atas kesetian mereka sebagai istri.

Selain itu, Creese menyinggung kisah tentang cinta dan kesetiaan. Dalam kakawin Bharatayudha, Satyawati, istri Salya mengakhiri hidupnya dalam pertunjukan cinta dan kesetiaan yang tragis. Salya yang terbunuh secara kejam di dalam perang Bharatayudha, membuat Satyawati mengikutinya ke dunia lain daripada tetap hidup tanpa kehadirannya. Hal serupa juga dialami oleh Ksitisundari selepas kematian Abimanyu. Ia menceburkan diri ke dalam api kremasi (pembakaran mayat) suaminya.

Menurut Creese, pengorbanan Ksitisundari dan Satyawati menggemakan realitas sebuah pranata sosial yang tampaknya setua usia pemukiman manusia di Kepulauan Indonesia. Hingga awal abad ke-20 peristiwa tersebut masih bertahan, paling sedikit di wilayah Bali. Sering sekali deskripsi tentang seorang perempuan yang putus asa pada saat mengikuti kematian kekasihnya ditemukan dalam kakawin, sehingga mudah sekali untuk mengesampingkannya sebagai konvensi sastra. Lebih lanjut, Creese memperkuat pendapatnya dengan data-data sejarah, baik bersumber dari Jawa pada masa pra-Islam, Eropa, hingga catatan-catatan pelancong.

***

Kedua buku tersebut menarik, menyajikan sumber-sumber lama yang diinterpretasikan menurut konteksnya. Literatur kuno yang dijadikan bahan utama kedua buku tersebut menunjukkan adanya kepedulian terhadap warisan leluhur. Kendati demikian, masih ada kelemahan yang ditemukan. Kavita tampak terburu-buru atas anggapannya terhadap para Pandawa yang tidak berani karena memilih jalan damai. Hubungan antarteks di dalam naratif cerita hendaknya perlu dipertimbangkan oleh Kavita atas interpretasinya tersebut.

Pada bagian cerita tentang nasib Drupadi yang dilecehkan oleh para Kurawa, ruang gerak Pandawa memang sudah sangat terbatas. Hal tersebut disebabkan antara lain oleh Yudhistira yang telah mempertaruhkan Drupadi di meja judi. Yudhistira yang mewakili Pandawa, harus merelakan Drupadi ke pihak Kurawa lantaran kekalahannya. Oleh sebab itulah, para Pandawa tidak bisa berbuat apa-apa ketika Drupadi dilecehkan. Peristiwa demikian bukan semata-mata menunjukkan Yudhistira beserta saudara-saudaranya lemah, tetapi lantaran mereka mamatuhi aturan permainan judi. Di kalangan raja-raja jaman dahulu, permainan judi merupakan hal yang biasa. Selain itu, alasan Yudhistira bersedia untuk berjudi dengan pihak Kurawa tak lain karena rasa hormatnya kepada saudaranya.

Secara keseluruhan, Kavita juga belum menyampaikan Mahabharata versi India sebelah mana yang ia gunakan sebagai bahan kajian. Hal ini, sebagaimana studi pernaskahan pada umumnya, amatlah penting. Pasalnya, perbedaan versi dan masa penulisan sebuah karya acap kali berpengaruh pada bentuk kisah dan penafsirannya di masa mendatang.

Tidak seperti Kavita, Creese menyampaikan interpretasinya disertai dengan kutipan-kutipan naratif dari kakawin. Selain disajikan terjemahan yang indah, beberapa ilustrasi juga memperjelas pesan-pesan yang hendak disampaikan. Walau bagaimanapun, citra perempuan yang diungkapkan oleh Kavita dan Creese menambah perspektif baru atas kedudukan perempuan pada masa lampau. Melalui karya sastra kuno, mereka sukses menyajikan sesuatu yang baru dan menarik.

Selain itu, teks masa lalu yang terdapat dalam khazanah karya sastra kuno kiranya dapat digunakan sebagai kaca benggala bagi kita dalam mengaktualisasikan diri di masa kini, dan mempersiapkan masa depan. Terutama dari hasil pembacaan secara cermat atas teks dan konteks di mana karya tersebut berdialog dengan zamannya. Dari aspek inilah, kita para pembaca karya-karya sastra kuno, dapat belajar dari sebuah teks yang hidup dan menghidupi zamannya, yang acap kali kompleks dan dinamis. Meskipun setiap zaman punya kompleksitas dan dinamikanya sendiri, paling tidak pendar-pendar hikmah dari karya sastra kuno itu menuntun kita untuk senantiasa waspada dan terus belajar. Pun, kedua karya yang ditulis oleh orang asing tersebut sebetulnya menggugah kita untuk menengok kembali peninggalan-peninggalan masa lalu yang sarat akan makna dan keluhuran.[]

Judul: Perempuan dalam Dunia Kakawin

Penulis: Helen Creese

Penerjemah: Ida Bagus Putra Yadnya

Penerbit: Pustaka Larasan

Tebal Buku: xiv + 316

Waktu Terbit: 2012

Judul: Perempuan-perempuan Mahabharata

Penulis: Kavita A. Sharma

Penerjemah: Dewita Kusuma Hakimi Ining Isaiyas

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia

Tebal Buku: xvii + 178

Waktu Terbit: 2013



Taufiq Hakim

Penulis

sajjanacarita@gmail.com

eyJtYXBfb3B0aW9ucyI6eyJjZW50ZXJfbGF0IjoiLTcuODA1MTM1NjcxOTUxNTUzIiwiY2VudGVyX2xuZyI6IjExMC4zNjQyMTM4Mjg3MzQ2NiIsInpvb20iOjEwLCJtYXBfdHlwZV9pZCI6IlJPQURNQVAiLCJmaXRfYm91bmRzIjp0cnVlLCJkcmFnZ2FibGUiOnRydWUsInNjcm9sbF93aGVlbCI6dHJ1ZSwiZGlzcGxheV80NV9pbWFnZXJ5IjoiIiwibWFya2VyX2RlZmF1bHRfaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL1wvZGVmYXVsdF9tYXJrZXIucG5nIiwiaW5mb3dpbmRvd19zZXR0aW5nIjoiPGRpdiBjbGFzcz1cImZjLWl0ZW0tYm94IGZjLWl0ZW1jb250ZW50LXBhZGRpbmcgXCI+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS10aXRsZVwiPnttYXJrZXJfdGl0bGV9IDxzcGFuIGNsYXNzPVwiZmMtYmFkZ2UgaW5mb1wiPnttYXJrZXJfY2F0ZWdvcnl9PFwvc3Bhbj48XC9kaXY+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1jb250ZW50IGZjLWl0ZW0tYm9keS10ZXh0LWNvbG9yXCI+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1mZWF0dXJlZCBmYy1sZWZ0IGZjLWl0ZW0tdG9wX3NwYWNlXCI+XG4gICAgICAgICAgICB7bWFya2VyX2ltYWdlfVxuICAgICAgICA8XC9kaXY+XG48cD4gICAgICAgIHttYXJrZXJfbWVzc2FnZX1cbiAgICA8XC9wPjxcL2Rpdj5cbjxhZGRyZXNzIGNsYXNzPVwiZmMtdGV4dFwiPnttYXJrZXJfYWRkcmVzc308XC9hZGRyZXNzPlxuPFwvZGl2PlxuIiwiaW5mb3dpbmRvd19ib3VuY2VfYW5pbWF0aW9uIjoiY2xpY2siLCJpbmZvd2luZG93X2Ryb3BfYW5pbWF0aW9uIjpmYWxzZSwiY2xvc2VfaW5mb3dpbmRvd19vbl9tYXBfY2xpY2siOmZhbHNlLCJpbmZvd2luZG93X3NraW4iOnsibmFtZSI6ImRlZmF1bHQiLCJ0eXBlIjoiaW5mb3dpbmRvdyIsInNvdXJjZWNvZGUiOiI8ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1ib3ggZmMtaXRlbWNvbnRlbnQtcGFkZGluZyBcIj5cclxuICAgIDxkaXYgY2xhc3M9XCJmYy1pdGVtLXRpdGxlXCI+e21hcmtlcl90aXRsZX0gPHNwYW4gY2xhc3M9XCJmYy1iYWRnZSBpbmZvXCI+e21hcmtlcl9jYXRlZ29yeX08XC9zcGFuPjxcL2Rpdj5cclxuICAgIDxkaXYgY2xhc3M9XCJmYy1pdGVtLWNvbnRlbnQgZmMtaXRlbS1ib2R5LXRleHQtY29sb3JcIj5cclxuICAgICAgICA8ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1mZWF0dXJlZCBmYy1sZWZ0IGZjLWl0ZW0tdG9wX3NwYWNlXCI+XHJcbiAgICAgICAgICAgIHttYXJrZXJfaW1hZ2V9XHJcbiAgICAgICAgPFwvZGl2PlxyXG4gICAgICAgIHttYXJrZXJfbWVzc2FnZX1cclxuICAgIDxcL2Rpdj5cclxuICAgIDxhZGRyZXNzIGNsYXNzPVwiZmMtdGV4dFwiPnttYXJrZXJfYWRkcmVzc308XC9hZGRyZXNzPlxyXG48XC9kaXY+In0sImRlZmF1bHRfaW5mb3dpbmRvd19vcGVuIjpmYWxzZSwiaW5mb3dpbmRvd19vcGVuX2V2ZW50IjoiY2xpY2siLCJmdWxsX3NjcmVlbl9jb250cm9sIjpmYWxzZSwic2VhcmNoX2NvbnRyb2wiOnRydWUsInpvb21fY29udHJvbCI6dHJ1ZSwibWFwX3R5cGVfY29udHJvbCI6ZmFsc2UsInN0cmVldF92aWV3X2NvbnRyb2wiOmZhbHNlLCJmdWxsX3NjcmVlbl9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJzZWFyY2hfY29udHJvbF9wb3NpdGlvbiI6IlRPUF9MRUZUIiwiem9vbV9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfdHlwZV9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfdHlwZV9jb250cm9sX3N0eWxlIjoiSE9SSVpPTlRBTF9CQVIiLCJzdHJlZXRfdmlld19jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfY29udHJvbCI6dHJ1ZSwibWFwX2NvbnRyb2xfc2V0dGluZ3MiOmZhbHNlLCJtYXBfem9vbV9hZnRlcl9zZWFyY2giOjYsIndpZHRoIjoiIiwiaGVpZ2h0IjoiMzMwIn0sInBsYWNlcyI6W3siaWQiOiIxIiwidGl0bGUiOiJLZXJhdG9uIiwiYWRkcmVzcyI6IktlcmF0b24gSm9namEiLCJzb3VyY2UiOiJtYW51YWwiLCJjb250ZW50IjoiS2VyYXRvbiBOZ2F5b2d5YWthcnRhIEhhZGluaW5ncmF0IGF0YXUgS2VyYXRvbiBZb2d5YWthcnRhIG1lcnVwYWthbiBpc3RhbmEgcmVzbWkgS2VzdWx0YW5hbiBOZ2F5b2d5YWthcnRhIEhhZGluaW5ncmF0IHlhbmcga2luaSBiZXJsb2thc2kgZGkgS290YSBZb2d5YWthcnRhLiBLZXJhdG9uIGluaSBkaWRpcmlrYW4gb2xlaCBTcmkgU3VsdGFuIEhhbWVuZ2t1YnV3YW5hIEkgcGFkYSB0YWh1biAxNzU1IHNlYmFnYWkgSXN0YW5hXC9LZXJhdG9uIFlvZ3lha2FydGEgeWFuZyBiYXJ1IGJlcmRpcmkgYWtpYmF0IHBlcnBlY2FoYW4gTWF0YXJhbSBJc2xhbSBkZW5nYW4gYWRhbnlhIFBlcmphbmppYW4gR2l5YW50aS4gS2VyYXRvbiBpbmkgYWRhbGFoIHBlY2FoYW4gZGFyaSBLZXJhdG9uIFN1cmFrYXJ0YSBIYWRpbmluZ3JhdCBkYXJpIE1hdGFyYW0gSXNsYW0gU3VyYWthcnRhIChLZXJhamFhbiBTdXJha2FydGEpLiBTZWhpbmdnYSBkaW5hc3RpIE1hdGFyYW0gZGl0ZXJ1c2thbiBvbGVoIDIgS2VyYWphYW4geWFrbmkgS2VzdWx0YW5hbiBZb2d5YWthcnRhIGRhbiBLZXN1bmFuYW4gU3VyYWthcnRhLiBUb3RhbCBsdWFzIHdpbGF5YWgga2VzZWx1cnVoYW4ga2VyYXRvbiB5b2d5YWthcnRhIG1lbmNhcGFpIDE0NCBoZWt0YXIsIHlha25pIG1lbGlwdXRpIHNlbHVydWggYXJlYSBkaSBkYWxhbSBiZW50ZW5nIEJhbHV3YXJ0aSwgYWx1bi1hbHVuIExvciwgYWx1bi1hbHVuIEtpZHVsLCBnYXB1cmEgR2xhZGFrLCBkYW4ga29tcGxla3MgTWFzamlkIEdlZGhlIFlvZ3lha2FydGEuIFNlbWVudGFyYSBsdWFzIGRhcmkga2VkaGF0b24gKGludGkga2VyYXRvbikgbWVuY2FwYWkgMTMgaGVrdGFyLiAiLCJsb2NhdGlvbiI6eyJpY29uIjoiaHR0cHM6XC9cL2phbmdrYWguaWRcL3dwLWNvbnRlbnRcL3BsdWdpbnNcL3dwLWdvb2dsZS1tYXAtcGx1Z2luXC9hc3NldHNcL2ltYWdlc1wvXC9kZWZhdWx0X21hcmtlci5wbmciLCJsYXQiOiItNy44MDUxMzU2NzE5NTE1NTMiLCJsbmciOiIxMTAuMzY0MjEzODI4NzM0NjYiLCJjaXR5IjoiWW9neWFrYXJ0YSIsInN0YXRlIjoiRGFlcmFoIElzdGltZXdhIFlvZ3lha2FydGEiLCJjb3VudHJ5IjoiSW5kb25lc2lhIiwib25jbGlja19hY3Rpb24iOiJtYXJrZXIiLCJyZWRpcmVjdF9jdXN0b21fbGluayI6IiIsIm1hcmtlcl9pbWFnZSI6IjxkaXYgY2xhc3M9J2ZjLWZlYXR1cmUtaW1nJz48aW1nIGxvYWRpbmc9J2xhenknIGRlY29kaW5nPSdhc3luYycgYWx0PSdLZXJhdG9uJyBzcmM9J2h0dHBzOlwvXC91cGxvYWQud2lraW1lZGlhLm9yZ1wvd2lraXBlZGlhXC9jb21tb25zXC90aHVtYlwvM1wvMzNcL0tyYXRvbl9Zb2d5YWthcnRhX1BhZ2VsYXJhbi5qcGdcLzEwMjRweC1LcmF0b25fWW9neWFrYXJ0YV9QYWdlbGFyYW4uanBnJyBjbGFzcz0nd3BnbXBfbWFya2VyX2ltYWdlIGZjLWl0ZW0tZmVhdHVyZWRfaW1hZ2UgZmMtaXRlbS1sYXJnZScgXC8+PFwvZGl2PiIsIm9wZW5fbmV3X3RhYiI6InllcyIsInBvc3RhbF9jb2RlIjoiIiwiZHJhZ2dhYmxlIjpmYWxzZSwiaW5mb3dpbmRvd19kZWZhdWx0X29wZW4iOmZhbHNlLCJhbmltYXRpb24iOiJCT1VOQ0UiLCJpbmZvd2luZG93X2Rpc2FibGUiOnRydWUsInpvb20iOjUsImV4dHJhX2ZpZWxkcyI6IiJ9LCJjYXRlZ29yaWVzIjpbeyJpZCI6IiIsIm5hbWUiOiIiLCJ0eXBlIjoiY2F0ZWdvcnkiLCJleHRlbnNpb25fZmllbGRzIjpbXSwiaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL1wvZGVmYXVsdF9tYXJrZXIucG5nIn1dLCJjdXN0b21fZmlsdGVycyI6IiJ9XSwic3R5bGVzIjoiIiwibGlzdGluZyI6IiIsIm1hcmtlcl9jbHVzdGVyIjp7ImdyaWQiOiIxNSIsIm1heF96b29tIjoiMSIsImltYWdlX3BhdGgiOiJodHRwczpcL1wvamFuZ2thaC5pZFwvd3AtY29udGVudFwvcGx1Z2luc1wvd3AtZ29vZ2xlLW1hcC1wbHVnaW5cL2Fzc2V0c1wvaW1hZ2VzXC9tIiwiaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL2NsdXN0ZXJcLzQucG5nIiwiaG92ZXJfaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL2NsdXN0ZXJcLzQucG5nIiwiYXBwbHlfc3R5bGUiOmZhbHNlLCJtYXJrZXJfem9vbV9sZXZlbCI6IjEifSwibWFwX3Byb3BlcnR5Ijp7Im1hcF9pZCI6IjEiLCJkZWJ1Z19tb2RlIjpmYWxzZX19

Daksinargastuti, Menyenandungkan Kembali Syair-syair Kuno Yogyakarta

Daksinargastuti merupakan kegiatan Komunitas Jangkah Nusantara yang meliputi pemetaan, preservasi naskah kuno, bengkel sastra-aksara dan macapat, serta alih aksara manuskrip.
Lihat Rekaman Baca Pengantar
poster diskusi