Karas

Menilik Fenomena Hoaks Seratus Tahun Lalu: Cerita Bok Gunawicara dalam Sěrat Durcara Arja

Jauh sebelum ditemukan istilah hoaks, seorang pujangga Jawa kenamaan bernama Ki Padmasoesastra telah menuliskan persoalan itu dalam sebuah kisah berjudul Sěrat Durcara Arja (SDA). Naskah edisi pertama ditulis pada tahun 1886 M, yang merupakan kisah saduran dari cerita berjudul Bok Randha Gunawacana karangan Raden Mas Soerjawidjadja. Kisah ini disadur oleh Padmasoesastra ketika ia menjabat sebagai asisten sekretaris pejabat kolonial bernama Van der Pant di Gymnasium Koning Willem III  bagian B di Betawi pada 1883.

Rabu, 31 Januari 2024

298 Kali

1 Kali

7 Menit

Jauh sebelum ditemukan istilah hoaks, seorang pujangga Jawa kenamaan bernama Ki Padmasoesastra telah menuliskan persoalan itu dalam sebuah kisah berjudul Sěrat Durcara Arja (SDA). Naskah edisi pertama ditulis pada tahun 1886 M, yang merupakan kisah saduran dari cerita berjudul Bok Randha Gunawacana karangan Raden Mas Soerjawidjadja. Kisah ini disadur oleh Padmasoesastra ketika ia menjabat sebagai asisten sekretaris pejabat kolonial bernama Van der Pant di Gymnasium Koning Willem III  bagian B di Betawi pada 1883. Setelahnya, Padmasoesastra sangat produktif menulis kisah-kisah lain seperti Serat Kancil Tanpa Sekar (dongeng, 1909), Serat Rangsang Tuban (novel, terbit 1912, 1922, 1960, 1985), Serat Kandha Bumi (novel, 1924) dan masih banyak lagi. Bahkan ia sendiri menyebut dirinya sebagai “Ki Padmosoesatra tiyang mardika ingkang marsudi kasusastran Jawi” atau Ki Padmasoesatra orang bebas yang menekuni kesusastraan Jawa.

Secara garis besar, SDA mengisahkan seorang janda kaya raya bernama Bok Gunawicara yang menjadi penipu dan suka mengabarkan berita palsu setelah ditinggal mendiang suaminya. Ia dapat dengan mudah meyakinkan korban lantaran reputasinya sebagai saudagar paling kaya dan mempunyai tutur kata yang baik. Korbannya pun sangat beragam, dari seorang jongos hingga raja pun ia kelabuhi dengan lincah. Akan tetapi, yang menjadi menarik dari cerita ini adalah alih-alih ia mendapat hukuman, Gunawicara malah selalu mendapat keberuntungan, bahkan ia diangkat menjadi pejabat kerajaan.

Untuk mengetahui bagaimana kisah penipuannya, berikut merupakan urutan penipuan yang dilakukan oleh Bok Gunawicara kepada para korbannya.

Menipu Kiai Surawacana

Diceritakan Gunawicara mengambil uang sebesar 11 ribu rupiah di dompet Surawacana ketika ia bertamu dan tertidur di rumahnya. Dalam perjalanan pulang, Surawacana menyadari uangnya raib. Dengan geram, ia kembali ke rumah janda itu dan memaki-maki. Ia yakin betul dan menuduh bahwa Gunawicara yang mengambil uangnya. Dengan dalih disertai perkataan yang halus, ia tidak mengaku sebab untuk apa ia mengambil recehan sementara kekayaannya begitu berlimpah. Bahkan ia malah menawari Surawacana perhiasan secara gratis, asalkan ia mau menuruti setiap perkataan janda itu.

Menipu Tuan Toko

Sesampainya di Toko Emas, Gunawicara disambut baik bak pelanggan kesayangan yang lama tidak berkunjung. Seperti yang telah diketahui, Gunawicara dan almarhum suaminya merupakan saudagar paling kaya di Purwakandha, sehingga ia sering mendapat perlakuan khusus dari banyak orang. Tak segan-segan, Gunawicara memilih koleksi emas terbaik milik Tuan Toko Cina. Beralasan tidak membawa dompet, Gunawicara menyerahkan Surawacana sebagai jaminan sementara. Namun, berjam-jam kemudian Gunawicara tidak juga kembali. Tuan Toko Cina sangat geram sebab Surawacana (saudagar Mesir) setiap ditanya hanya bisa menjawab “Saya Tuan!”. Tidak lama kemudian, Surawacana mengaku berpura-pura, setelah diancam akan diikat di pohon.

Mendengar pernyataan tersebut, Tuan Toko mengutus dua pegawainya orang Betawi yang bernama Sahanan dan Sahadan untuk menagih hutang Gunawicara. Mereka berdua datang dengan marah yang amat sangat. Dengan kehalusan budi dan tata bicaranya, dua orang Betawi ini dapat diluluhkan. Gunawicara berjanji akan melunasi hutangnya setelah pergi ke Istana untuk meminta bantuan Kanjeng Gusti Putri. Keduanya pun dipersilakan menunggu di teras rumah sembari dihidangkan minuman teh dan beberapa aneka kue.

Menipu Raja

 Sesampainya di Istana. Bok Gunawicara kemudian menyebarkan berita palsu kepada Kanjeng Gusti Ratu dan Raja. Ia melaporkan bahwa  mempunyai dua budak dari Bugis yang dibeli mendiang suaminya dahulu dari kerajaan. Akan tetapi, kedua budak ini sering bertindak kurang ajar. Bahkan mereka mencoba kabur dan mengabdi kepada pemilik toko. Ia kemudian meminta ganti rugi kepada raja sebesar empat ratus rupiah, besarannya seperti harga sewaktu suaminya membeli kedua budak itu dahulu. Merasa iba, raja akhirnya membeli kedua budak itu kembali dan mengutus para abdi dalem yang berjaga untuk menjemput paksa Sahanan dan Sahadan di rumah Gunawicara.

Menipu Dua Utusan Kerajaan dan Dokter Mayor

Setelah Sahanan dan Sahadan diseret paksa menuju istana, keduanya menyampaikan klarifikasi dan berita yang sebenarnya. Mendengar pernyataan mereka, raja sangat marah dan mengutus dua orang abdinya yang bernama Ngabei Dutadaya dan Ngabei Dutawikara untuk menjemput Gunawicara supaya lekas diadili di istana atas perbuatannya. Singkat cerita, sesampainya di rumah Gunawicara, dua utusan kerajaan ini ditipu kembali. Mereka dijanjikan akan diwarisi harta dan seluruh kekayannya jika nanti Gunawicara dipenjara. Sebelum dibawa ke Istana, Gunawicara meminta untuk diantarkan ke tempat Dokter Mayor untuk menagih hutangnya sebesar dua ribu rupiah. Hal ini nyatanya, hanya akal-akalan untuk menipu dokter sekaligus dua utusan tadi supaya ia bisa melarikan diri. Ia mengaku bahwa dua utusan kerajaan tadi merupakan anaknya yang dilanda sakit gigi dan meminta dokter untuk mencabut gigi kedua orang itu.

Menipu Kanjeng Gusti Sepuh

Diceritakan Bok Gunawicara akhirnya berhasil dibawa ke istana. Badannya diikat dengan pohon sawo yang berada di dekat Bangsal Keputren. Dengan kondisi badan terikat, ia melantukan puji-pujian kepada raja dan seluruh punggawa kerajaan. Lantunan suara itu terdengar hingga bangsal Keputren dan membuat Kanjeng Gusti Sepuh keluar dan mencari sumber suara itu. Mendapati seorang wanita paruh baya terikat di pohon, ia menanyakan sebab apa wanita itu diikat. Dengan tipu muslihat, Gunawicara mengaku bahwa ia sedang menjalani terapi sakit punggung. Kanjeng Gusti Sepuh yang menderita sakit bungkuk, meminta bertukar tempat supaya sakit bungkuknya sembuh.

Selepas salat Isya, sang raja dengan kemarahan yang amat sangat, mendatangi tempat Gunawicara diikat. Ia sudah membawa sebilah pedang untuk menebas kepala pesakitan itu. Tanpa melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Ia melayangkan pedang itu ke kepala seorang yang tengah terikat. Nahasnya, ketika ia mengangkat potongan kepala hasil tebasannya, ternyata kepala itu merupkan kepala Kanjeng Gusti Sepuh yang telah bertukar tempat dengan Gunawicara.

Durcara Arja, Van Der Pant_Padmasusastra, 1921. Dok. sastra.org

Korelasi SDA Dengan Fenomena Hoaks Saat Ini

Isu hoaks di Indonesia sebetulnya sudah menggejala sejak lama. Pada zaman kepemimpinan Soekarno, tepatnya tahun 1950an, ada kisah hoaks yang melegenda. Adalah Idrus dan Markonah, keduanya mengaku sebagai raja dan ratu suku anak dalam Sumatra yang melakukan kampanye tentang pembebasan Irian Barat dari Belanda. Sepaham dengan Soekarno, kedua orang ini diundang ke Istana untuk dijamu laiknya tamu kehormatan. Kedok keduanya terbongkar tatkala mereka diajak jalan-jalan ke Pasar Tanah Abang, terdapat saksi yang mengatakan bahwa Idrus adalah seorang penarik becak, sementara Markonah berprofesi sebagai penjaja seks.

Hoaks sendiri menurut Cak Rusdi Mathari dalam artikel “Tempo, Hoax, dan Sarung”1 menyebut hoaks sebetulnya lebih dari sekadar berita atau kabar bohong. Ia adalah informasi yang sengaja dibuat dengan maksud menipu atau mengelabui orang (banyak). Tipuannya kadang disertai dengan referensi data dan fakta. Tujuannya bisa untuk mendapat keuntungan secara politis dan ekonomi, tapi bisa juga untuk sekadar humor dan olok-olok. Kebohongan memang ada standar dan pembagiannya.

Berkaca dari kisah SDA, banyak hal yang bisa kita refleksikan untuk menyikapi berita-berita palsu yang tersebar di berbagai media, apalagi di tahun-tahun politik saat ini. Hoaks sangat berbahaya sebab ia bisa menjungkarbalikkan fakta objektif (sebenarnya) menjadi sebuah kesalahan. Lebih parahnya, hal itu diamini banyak orang yang kemudian diyakini sebagai berita yang sebenarnya. Selain itu, kisah ini juga menuntun kita untuk selalu melakukan fact checking (verifikasi fakta) dan kritis sebelum menelan segala informasi. Sehingga, kita dapat terhindar dari berita-berita bohong dan tidak mudah tertipu seperti korban Bok Gunawicara.

Dalam akhir teks SDA, Ki Padmosoesastra menyelipkan beberapa kiat-kiat supaya kita terhindar dari hoaks dan tidak menjadi Gunawicara yang lainnya.

Mulane, mungguh ing manungsa wajib anduwèni kalakuwan kang bisa andadèkake kamulyaning badan, kaya ta: 1: budi andhap asor. 2: budi sabar sarta narima. 3: gêlêm ngalah basa sakêcap, laku satindak. 4: ulat sumèh, têmbung manis. 5: ati rahayu sarta ora agawe sêrik, utamane bisa angènaki atining wong sawiji-wiji. Kosok baline kang agawe rusak mêngkene: 1. Panasbaran lumuh kaungkulan. 2: dahwèn, panastèn sarta darêngki. 3: ora gêlêm ngalah basa sakêcap, laku satindak. 4: ulat nyênyêngit têmbung kasar utawa wadhag. 5: dhêmên laku doracara angarah meliking liyan (SDA-84)

Terjemahan:

Oleh sebab itu, seorang manusia wajib memiliki perilaku yang dapat menjadikannya mulia, seperti rendah hati, sabar dan ikhlas, bersedia mengalah, murah senyum dan manis perkatannya, bersih hati dan tidak melukai orang lain, terutama bisa menyenangkan hati setiap orang. Sebaliknya, yang bisa membuat rusaknya (hati) sebagai berikut: iri dengan pencapaian orang lain, suka ikut campur, tidak suka melihat orang lain senang dan dengki, tidak mau mengalah, menampilkan wajah masam, perkataanya kasar, dan suka berbuat jahat terhadap orang lain (SDA-84).[]

 

REFERENSI

Sěrat Durcara Arja no. 1237 Koleksi Yayasan Sastra Lestari Surakarta.

Mathari, Rusdi. 2018. “Karena Jurnalistik Bukan Monopoli Wartawan. Yogyakarta: Mojok.

Profil

Muhamad Fahrizal Leo, lulusan program studi Bahasa, Sastra, dan Kebudayaan Jawa UGM. Saat ini aktif bekerja sebagai staff pengolah arsip Dinas Perpustakaan dan Arsip DIY dan turut mengelola kelompok studi sastra dan budaya Bunker Collective Space.




Fahrizal Leo Pratama

Muhamad Fahrizal Leo Pratama, lulusan program studi Bahasa, Sastra, dan Kebudayaan Jawa UGM. Saat ini aktif bekerja sebagai staff pengolah arsip Dinas Perpustakaan dan Arsip DIY dan turut mengelola kelompok studi sastra dan budaya Bunker Collective Space.

fahrizalleopratama@gmail.com

eyJtYXBfb3B0aW9ucyI6eyJjZW50ZXJfbGF0IjoiLTcuODA1MTM1NjcxOTUxNTUzIiwiY2VudGVyX2xuZyI6IjExMC4zNjQyMTM4Mjg3MzQ2NiIsInpvb20iOjEwLCJtYXBfdHlwZV9pZCI6IlJPQURNQVAiLCJmaXRfYm91bmRzIjp0cnVlLCJkcmFnZ2FibGUiOnRydWUsInNjcm9sbF93aGVlbCI6dHJ1ZSwiZGlzcGxheV80NV9pbWFnZXJ5IjoiIiwibWFya2VyX2RlZmF1bHRfaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL1wvZGVmYXVsdF9tYXJrZXIucG5nIiwiaW5mb3dpbmRvd19zZXR0aW5nIjoiPGRpdiBjbGFzcz1cImZjLWl0ZW0tYm94IGZjLWl0ZW1jb250ZW50LXBhZGRpbmcgXCI+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS10aXRsZVwiPnttYXJrZXJfdGl0bGV9IDxzcGFuIGNsYXNzPVwiZmMtYmFkZ2UgaW5mb1wiPnttYXJrZXJfY2F0ZWdvcnl9PFwvc3Bhbj48XC9kaXY+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1jb250ZW50IGZjLWl0ZW0tYm9keS10ZXh0LWNvbG9yXCI+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1mZWF0dXJlZCBmYy1sZWZ0IGZjLWl0ZW0tdG9wX3NwYWNlXCI+XG4gICAgICAgICAgICB7bWFya2VyX2ltYWdlfVxuICAgICAgICA8XC9kaXY+XG48cD4gICAgICAgIHttYXJrZXJfbWVzc2FnZX1cbiAgICA8XC9wPjxcL2Rpdj5cbjxhZGRyZXNzIGNsYXNzPVwiZmMtdGV4dFwiPnttYXJrZXJfYWRkcmVzc308XC9hZGRyZXNzPlxuPFwvZGl2PlxuIiwiaW5mb3dpbmRvd19ib3VuY2VfYW5pbWF0aW9uIjoiY2xpY2siLCJpbmZvd2luZG93X2Ryb3BfYW5pbWF0aW9uIjpmYWxzZSwiY2xvc2VfaW5mb3dpbmRvd19vbl9tYXBfY2xpY2siOmZhbHNlLCJpbmZvd2luZG93X3NraW4iOnsibmFtZSI6ImRlZmF1bHQiLCJ0eXBlIjoiaW5mb3dpbmRvdyIsInNvdXJjZWNvZGUiOiI8ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1ib3ggZmMtaXRlbWNvbnRlbnQtcGFkZGluZyBcIj5cclxuICAgIDxkaXYgY2xhc3M9XCJmYy1pdGVtLXRpdGxlXCI+e21hcmtlcl90aXRsZX0gPHNwYW4gY2xhc3M9XCJmYy1iYWRnZSBpbmZvXCI+e21hcmtlcl9jYXRlZ29yeX08XC9zcGFuPjxcL2Rpdj5cclxuICAgIDxkaXYgY2xhc3M9XCJmYy1pdGVtLWNvbnRlbnQgZmMtaXRlbS1ib2R5LXRleHQtY29sb3JcIj5cclxuICAgICAgICA8ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1mZWF0dXJlZCBmYy1sZWZ0IGZjLWl0ZW0tdG9wX3NwYWNlXCI+XHJcbiAgICAgICAgICAgIHttYXJrZXJfaW1hZ2V9XHJcbiAgICAgICAgPFwvZGl2PlxyXG4gICAgICAgIHttYXJrZXJfbWVzc2FnZX1cclxuICAgIDxcL2Rpdj5cclxuICAgIDxhZGRyZXNzIGNsYXNzPVwiZmMtdGV4dFwiPnttYXJrZXJfYWRkcmVzc308XC9hZGRyZXNzPlxyXG48XC9kaXY+In0sImRlZmF1bHRfaW5mb3dpbmRvd19vcGVuIjpmYWxzZSwiaW5mb3dpbmRvd19vcGVuX2V2ZW50IjoiY2xpY2siLCJmdWxsX3NjcmVlbl9jb250cm9sIjpmYWxzZSwic2VhcmNoX2NvbnRyb2wiOnRydWUsInpvb21fY29udHJvbCI6dHJ1ZSwibWFwX3R5cGVfY29udHJvbCI6ZmFsc2UsInN0cmVldF92aWV3X2NvbnRyb2wiOmZhbHNlLCJmdWxsX3NjcmVlbl9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJzZWFyY2hfY29udHJvbF9wb3NpdGlvbiI6IlRPUF9MRUZUIiwiem9vbV9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfdHlwZV9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfdHlwZV9jb250cm9sX3N0eWxlIjoiSE9SSVpPTlRBTF9CQVIiLCJzdHJlZXRfdmlld19jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfY29udHJvbCI6dHJ1ZSwibWFwX2NvbnRyb2xfc2V0dGluZ3MiOmZhbHNlLCJtYXBfem9vbV9hZnRlcl9zZWFyY2giOjYsIndpZHRoIjoiIiwiaGVpZ2h0IjoiMzMwIn0sInBsYWNlcyI6W3siaWQiOiIxIiwidGl0bGUiOiJLZXJhdG9uIiwiYWRkcmVzcyI6IktlcmF0b24gSm9namEiLCJzb3VyY2UiOiJtYW51YWwiLCJjb250ZW50IjoiS2VyYXRvbiBOZ2F5b2d5YWthcnRhIEhhZGluaW5ncmF0IGF0YXUgS2VyYXRvbiBZb2d5YWthcnRhIG1lcnVwYWthbiBpc3RhbmEgcmVzbWkgS2VzdWx0YW5hbiBOZ2F5b2d5YWthcnRhIEhhZGluaW5ncmF0IHlhbmcga2luaSBiZXJsb2thc2kgZGkgS290YSBZb2d5YWthcnRhLiBLZXJhdG9uIGluaSBkaWRpcmlrYW4gb2xlaCBTcmkgU3VsdGFuIEhhbWVuZ2t1YnV3YW5hIEkgcGFkYSB0YWh1biAxNzU1IHNlYmFnYWkgSXN0YW5hXC9LZXJhdG9uIFlvZ3lha2FydGEgeWFuZyBiYXJ1IGJlcmRpcmkgYWtpYmF0IHBlcnBlY2FoYW4gTWF0YXJhbSBJc2xhbSBkZW5nYW4gYWRhbnlhIFBlcmphbmppYW4gR2l5YW50aS4gS2VyYXRvbiBpbmkgYWRhbGFoIHBlY2FoYW4gZGFyaSBLZXJhdG9uIFN1cmFrYXJ0YSBIYWRpbmluZ3JhdCBkYXJpIE1hdGFyYW0gSXNsYW0gU3VyYWthcnRhIChLZXJhamFhbiBTdXJha2FydGEpLiBTZWhpbmdnYSBkaW5hc3RpIE1hdGFyYW0gZGl0ZXJ1c2thbiBvbGVoIDIgS2VyYWphYW4geWFrbmkgS2VzdWx0YW5hbiBZb2d5YWthcnRhIGRhbiBLZXN1bmFuYW4gU3VyYWthcnRhLiBUb3RhbCBsdWFzIHdpbGF5YWgga2VzZWx1cnVoYW4ga2VyYXRvbiB5b2d5YWthcnRhIG1lbmNhcGFpIDE0NCBoZWt0YXIsIHlha25pIG1lbGlwdXRpIHNlbHVydWggYXJlYSBkaSBkYWxhbSBiZW50ZW5nIEJhbHV3YXJ0aSwgYWx1bi1hbHVuIExvciwgYWx1bi1hbHVuIEtpZHVsLCBnYXB1cmEgR2xhZGFrLCBkYW4ga29tcGxla3MgTWFzamlkIEdlZGhlIFlvZ3lha2FydGEuIFNlbWVudGFyYSBsdWFzIGRhcmkga2VkaGF0b24gKGludGkga2VyYXRvbikgbWVuY2FwYWkgMTMgaGVrdGFyLiAiLCJsb2NhdGlvbiI6eyJpY29uIjoiaHR0cHM6XC9cL2phbmdrYWguaWRcL3dwLWNvbnRlbnRcL3BsdWdpbnNcL3dwLWdvb2dsZS1tYXAtcGx1Z2luXC9hc3NldHNcL2ltYWdlc1wvXC9kZWZhdWx0X21hcmtlci5wbmciLCJsYXQiOiItNy44MDUxMzU2NzE5NTE1NTMiLCJsbmciOiIxMTAuMzY0MjEzODI4NzM0NjYiLCJjaXR5IjoiWW9neWFrYXJ0YSIsInN0YXRlIjoiRGFlcmFoIElzdGltZXdhIFlvZ3lha2FydGEiLCJjb3VudHJ5IjoiSW5kb25lc2lhIiwib25jbGlja19hY3Rpb24iOiJtYXJrZXIiLCJyZWRpcmVjdF9jdXN0b21fbGluayI6IiIsIm1hcmtlcl9pbWFnZSI6IjxkaXYgY2xhc3M9J2ZjLWZlYXR1cmUtaW1nJz48aW1nIGxvYWRpbmc9J2xhenknIGRlY29kaW5nPSdhc3luYycgYWx0PSdLZXJhdG9uJyBzcmM9J2h0dHBzOlwvXC91cGxvYWQud2lraW1lZGlhLm9yZ1wvd2lraXBlZGlhXC9jb21tb25zXC90aHVtYlwvM1wvMzNcL0tyYXRvbl9Zb2d5YWthcnRhX1BhZ2VsYXJhbi5qcGdcLzEwMjRweC1LcmF0b25fWW9neWFrYXJ0YV9QYWdlbGFyYW4uanBnJyBjbGFzcz0nd3BnbXBfbWFya2VyX2ltYWdlIGZjLWl0ZW0tZmVhdHVyZWRfaW1hZ2UgZmMtaXRlbS1sYXJnZScgXC8+PFwvZGl2PiIsIm9wZW5fbmV3X3RhYiI6InllcyIsInBvc3RhbF9jb2RlIjoiIiwiZHJhZ2dhYmxlIjpmYWxzZSwiaW5mb3dpbmRvd19kZWZhdWx0X29wZW4iOmZhbHNlLCJhbmltYXRpb24iOiJCT1VOQ0UiLCJpbmZvd2luZG93X2Rpc2FibGUiOnRydWUsInpvb20iOjUsImV4dHJhX2ZpZWxkcyI6IiJ9LCJjYXRlZ29yaWVzIjpbeyJpZCI6IiIsIm5hbWUiOiIiLCJ0eXBlIjoiY2F0ZWdvcnkiLCJleHRlbnNpb25fZmllbGRzIjpbXSwiaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL1wvZGVmYXVsdF9tYXJrZXIucG5nIn1dLCJjdXN0b21fZmlsdGVycyI6IiJ9XSwic3R5bGVzIjoiIiwibGlzdGluZyI6IiIsIm1hcmtlcl9jbHVzdGVyIjp7ImdyaWQiOiIxNSIsIm1heF96b29tIjoiMSIsImltYWdlX3BhdGgiOiJodHRwczpcL1wvamFuZ2thaC5pZFwvd3AtY29udGVudFwvcGx1Z2luc1wvd3AtZ29vZ2xlLW1hcC1wbHVnaW5cL2Fzc2V0c1wvaW1hZ2VzXC9tIiwiaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL2NsdXN0ZXJcLzQucG5nIiwiaG92ZXJfaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL2NsdXN0ZXJcLzQucG5nIiwiYXBwbHlfc3R5bGUiOmZhbHNlLCJtYXJrZXJfem9vbV9sZXZlbCI6IjEifSwibWFwX3Byb3BlcnR5Ijp7Im1hcF9pZCI6IjEiLCJkZWJ1Z19tb2RlIjpmYWxzZX19

Daksinargastuti, Menyenandungkan Kembali Syair-syair Kuno Yogyakarta

Daksinargastuti merupakan kegiatan Komunitas Jangkah Nusantara yang meliputi pemetaan, preservasi naskah kuno, bengkel sastra-aksara dan macapat, serta alih aksara manuskrip.
Lihat Rekaman Baca Pengantar
poster diskusi