Karas

Dongeng Jaka Sakbar: Memahami Bahasa Burung hingga Selamat dari Maut Berkat Belajar Tasawuf

Jaka Sakbar adalah tokoh utama dalam cerita. Ia dikisahkan sebagai seorang yatim piatu yang mendapat mandat dari mendiang ayahnya untuk belajar ngelmu kasampurnan. Berbekal harta warisan, ia mendatangi empat kiai yang berada di empat penjuru mata angin (Lor, Kidul, Wetan, dan Kulon) untuk belajar agama. Dalam perjuangan memeroleh ilmu, ia tidak mendapatkannya secara gratis.

Kamis, 14 Desember 2023

357 Kali

0 Kali

9 Menit

Dongeng seringkali diceritakan sebagai pengantar tidur anak-anak karena memuat kisah fantasi yang menakjubkan dan hal-hal ajaib. Meskipun bersifat fiktif, dongeng dapat pula dijadikan alat pengajaran dan pengendali sosial lantaran muatannya yang didaktik dan penuh pesan moral. Dalam tradisi kesusastraan Jawa, dongeng banyak diproduksi oleh pujangga-pujangga Jawa pada abad ke-19, baik yang berasal dari istana maupun luar istana. Kisah-kisah yang ditulis juga sangat beragam, dari cerita lokal hingga kisah saduran yang berasal dari Timur Tengah hingga Eropa. Tak pelak kisah -kisah seperti Kancil Nyolong Timun, 1001 Malam  hingga kisah Bawang Merah dan Bawang Putih turut meramaikan khazanah dongeng pada waktu itu.

Dongeng yang pada awalnya berasal dari tradisi lisan, berevolusi menjadi karya tulis setelah munculnya kertas dan penerbitan. Sebut saja Tan Khoen Swie di  awal abad ke-20 di Kediri dan Vanderop (Van der Rof & Co) di Semarang. Mereka banyak melakukan penerbitan terhadap karya-karya yang populer dan cukup digemari masyarakat. Salah satu dongeng yang kiranya banyak salinannya adalah kumpulan cerita dalam Naskah Kěmpalan Dongeng St.35/PP/2762 koleksi Perpustakaan Widyapustaka Pura Pakualaman. Naskah itu memuat 6 cerita yang secara tematik sama-sama membabar ilmu agama yang dibalut kisah fiksi. Cerita-cerita itu di antaranya; 1) Kisah Raden Mukjijat, Istrijat, dan Keramat, 2) Jaka Kusnun, 3) Kyai Prelambang, 4) Pak Beja, 5) Ki Jaka, dan 6) Jaka Sakbar.

Naskah ini ditulis pada akhir abad ke-19, tepatnya pada hari Senin Wage 16 Oktober 1875 M, sengkalannya berbunyi (Tata Wiku Kang Salira Tunggal) dan selesai disalin pada hari Minggu Kliwon 1877 (Pandhitaneng Ardi Pujangganing Ratu).

Salinan naskah ini tersebar di beberapa skriptorium. Beberapa di antaranya memiliki judul yang berbeda-beda. Di Museum Sonobudoyo misalnya, memuat dua judul berbeda meski isinya sama persis, pertama naskah PB A.250 (1910 M) berjudul Jaka Kusnun dan naskah PB C.21 (1887 M) berjudul Serat Darmakandha. Di Perpusatakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia, terdapat satu naskah yang sama berjudul Sěrat Darmakandha CI.19/NR170 (1910 M). Sementara di Balai Bahasa Yogyakarta, terdapat salinan naskah versi cetak terbitan Van der Rof & Co (Semarang) berjudul Sěrat Darmakandha (1887 M). Akan tetapi, setelah melihat tarikh penulisan masing-masing naskah, salinan naskah tertua merupakan koleksi Perpustakaan Widyapustaka Pura Pakulaman.

Salah satu dongeng yang cukup menarik perhatian dari keenam judul adalah cerita Jaka Sakbar. Selain karena menjadi teks pamungkas, kisah Jaka Sakbar mempunyai keunikan karena menggambarkan sosok pemuda desa yang mendapat keberuntungan dan mukjizat memahami bahasa burung karena mendalami ilmu agama. Meskipun dalam judul lain terdapat ksiah yang hampir serupa seperti cerita Jaka Kusnun yang bisa memanggil jin berkat memiliki songkok dan seruling ajaib. Kisah Jaka Sakbar memuat cerita yang kompleks, dari perjalanan mencari guru, bekerja sebagai abdi dalem di istana, difitnah memperkosa istri raja, hingga diangkat menjadi patih baru yang bergelar Adipati Setyadarma.

Jaka Sakbar adalah tokoh utama dalam cerita. Ia dikisahkan sebagai seorang yatim piatu yang mendapat mandat dari mendiang ayahnya untuk belajar ngelmu kasampurnan. Berbekal harta warisan, ia mendatangi empat kiai yang berada di empat penjuru mata angin (Lor, Kidul, Wetan, dan Kulon) untuk belajar agama. Dalam perjuangan memeroleh ilmu, ia tidak mendapatkannya secara gratis. Jaka Sakbar membayar uang sebesar dua puluh lima gelo kepada setiap kiai. Menariknya, nama-nama kiai itu berasal dari empat tingkatan dalam ilmu tasawuf yakni; Kiai Sarengat, Kiai Tarekat, Kiai Hakikat, dan Kiai Makrifat.

Keempat kiai itu mengajarkan konsep tentang al yaqin, aninulyaqin haqqulyaqin, dan akmalulyakin. Dengan keterbatasan pengetahuan Jaka Sakbar, ia sungguh kebingungan mencerna maksud ajaran tersebut. Pasalnya, keempat kiai mengajarkan hal yang sama, meski dengan konsep ajaran yang berbeda. Seperti kutipan teks berikut ini:

Sěsampuning tata lungguh/ Ki Sarengat ngucap aris/ lah ya iki wulang ingwang/ aran ngilmu kabar yakin/ těgese warta kang nyata/ yen nyandhang kang sarwarěsik// yen mangan kang kalal iku/ laku tindak denya guling/ tangine punikung lěnggah/ cangkok ing ngilmu sějati/ sějatine ati sabar/ yeku esthinen ing ngati//

Artinya:

Ketika semuanya sudah dalam posisi duduk, Ki Sarengat berkata lembut “Inilah ajaranku kepadamu, disebut ilmu kabar yakin, berarti kabar yang benar. Jika berpakaian harus serta bersih, jika memakan makanan yang halal, olehmu bersikap ketika tidur, ketika bangun tidur lekas duduk, (adalah) pangkal dari ilmu sejati. Sejatinya hati yang sabar, terdapat niat di dalam hati.”

Memahami Bahasa Burung

Dengan perasaan gelisah dan bingung setelah mendapat ajaran tersebut, dalam perjalanan pulang Jaka Sakbar bersitirahat di bawah pohon asam. Pada sela-sela ranting pohon, terdapat empat ekor burung; burung perkutut, podhang, bondhol, dan tuhu atau biasa dikenal burung tuwu (zosterops montanus). Keempat burung ini bisa berbicara laiknya manusia. Seolah-olah tidak peduli dengan kehadiran Jaka Sakbar, burung-burung ini tampak asyik mengobrol. Bukan obrolan receh dan komedi, keempat burung berbincang tentang laku yang menjadikan manusia mencapai makrifat.

Dalam percakapannya, seekor burung tuwu tiba-tiba menjelaskan tentang laku hidup syariat. Sebuah tahapan mendasar dalam ajaran tasawuf sebab amalan-amalan yang dilakukan masih seputar badaniah seperti yang dijeaskan dalam konsep ‘rukun Islam’. Untuk lebih jelasnya, berikut merupakan nukilan percakapannya yang ditulis dengan tembang Asmarandana:

pěksi tuhu malih angling/ mangkene kakang artinya/ gonku ruměksa rageng ngong/ sun suceni pěndak pajar/ sakwuse ingong siram/ nuli mangkat salat subuh/ bakda salat pěpujiyan// iku kakang saběnari/ gonku nglakoni ngibadah/ limang wěktu apa dene/ cěgah saking batal karam/ yen nuju wulan Ramlan/ sun puwasa nganti nutug/ sěsasi gon ingsun bakda// jakat pitrah nora lali/ lamun kuwasa ing marga/ lunga kaji awaking ngong/ reh ningsung durung kuwasa/ dadi saběn jumungah/ sěmbahyang mring Masjid Agung/ wus presa sat Kabatolah// kapindhone laku mami/ sak dina-dina riyalat/ kurang bukti lan nendrane/ tansah muji Hyang Suksma/ muga den paringana/ kanugrahan tyas rahayu/ singgahna budi sikara// lan sinungana wak mami/ běndara pangucaping wang/ miwah pratingkah ngong kiye/ ywa kongsi tumibeng sistha/ sokur prapteng utama/ marang sasamaning-maning/ makluk mugi dipunlulutan// dene dananing sun yěkti/ sakrehne ngong datan bandha/ dadi mung bahu suku ngong/ kělawan laku saktindak/ tuwin clathu sěkědhap/ gělěm kalah patraping sun/ lawan asor ing pangucap// miwah ingsun siyang latri/ nora lali maca sahdat/ ngong kawruhi sakmaknane/ miwah tan nasabe pisan/ kesthi wredayaning wang/ sabab kakang iku pěrlu/ dadya wit kukuh ing Islam// (KD 240-241)

Artinya:

Burung tuhu berkata lagi, “Artinya, olehku menjaga ragaku, aku sucikan setiap pagi, setelah aku mandi, (lalu berangkat salat Subuh, setelah salat melantunkan puji-pujian. Demikian kakak yang sebenarnya, olehku melakukan ibadah lima waktu, dan mencegah dari yang (membuat) batal dan haram. Ketika memasuki bulan Ramadhan, aku berpuasa hingga selesai, sebulan penuh hingga hari raya. Tidak lupa membayar zakat fitrah. Jika mampu menjalankannya, aku (akan) pergi berhaji. Karena aku belum mampu, jadi setiap hari Jumat, beribadah salat di Masjid Agung, rasanya sudah (seperti) melihat Ka’bah. Kedua yang kulakukan, sehari-hari mencegah apa yang dilarang, kurang makan dan tidur, selalu memuji Hyang Suksma. Semoga selalu diberikan, anugerah dan keselamatan hati, dijauhkan dari marabahaya, dan diberikan kepadaku. Begitulah ucapan běndara kepadaku, dan juga tingkah lakuku seperti ini, jangan sampai jatuh pada kesombongan, syukur dapat menjadi laku yang utama, terhadap sesama (manusia), (dan) makhluk lain semoga dikasihi. Adapun hartaku sesungguhnya, untuk segala upaya (itu) aku tidak bergantung harta benda, jadi hanya (bergantung) pada bahu dan kakiku, dengan laku yang kujalankan, dan berkata secukupnya, sikapku mau mengalah, dengan rendah hati ketika berkata. Ketika diriku (pada) siang malam, tidak lupa membaca syahadat, aku pelajari beserta maknanya, serta tidak (lupa) turunannya juga, (menjadi) niat hati diriku, sebab itu penting kakak, menjadi pondasi yang kuat (bagi umat) Islam.

Setelah konsep syariat, burung-burung lain bergantian menjelaskan hingga tahap makrifat. Berbekal nasihat percakapan para burung, Jaka Sakbar melanjutkan perjalanannya ke Kerajaan Rejamulnya. Ia bermaksud untuk mengabdikan diri kepada seorang raja yang masyhur, Prabu Mlayakusuma.

Difitnah oleh Patih dan Selamat dari Kematian

Seusai salat Jumat, Jaka Sakbar diutus oleh raja untuk mengambil tasbih yang tertinggal di dalam kamar. Sebelum masuk kamar, ia sempat diperingatkan oleh para abdi dalem untuk tidak memasuki ruang privat raja. Antara takut dan nekat, ia masuk sesegara mungkin, akan tetapi secara tidak sengaja, ia melihat sang Patih Harya Sonyadarma dan istri raja Ratu Kirdaningrum sedang bersenggama.

Sang patih sontak kebingslatan. Ia dan sang ratu dengan licik membuat skenario palsu dan memfitnah Jaka Sakbar yang ingin memperkosa kanjeng ratu ketika masuk ke kamar raja. Mendengar pengakuan langsung dari istrinya soal kebobrokan hasrat Jaka Sakbar, raja marah besar.

Keesokan harinya, ia mengutus Jaka Sakbar untuk mengantar sebuah surat kepada Lurah Singanegara. Isi surat itu kurang lebih seperti ini,

“Kepada Lurah Singanegara, aku memerintahkan kepadamu bahwa siapa saja yang membawa dan menyerahkan surat ini kepadamu, maka bunuhlah segera!”

Dengan ketulusan hati dan sikap loyalitas Jaka Sakbar, ia bergegas mengantar surat maut itu. Di tengah perjalanan, tiba-tiba ia dicegat oleh abdi dalem mantri gladhak yang sedang menggelar acara kepung kenduri (tumpengan) untuk menyembuhkan dukun mereka yang sedang sakit. Sebab kurang seorang untuk berdoa, Jaka Sakbar dipaksa hingga menimbulkan pertikaian keduanya. Perkelahian itu disaksikan Sang Patih yang sedang berkuda keliling desa. Ia pun menghentikan keduanya dan mencari tahu apa sebab mereka berkelahi.

Sang patih tampak cemas, sebab tenyata Jaka Sakbar sedang dalam utusan untuk mengantar sebuah surat. Ia tak mau kehilangan momentum untuk mencari perhatian raja, maka surat itu diambil alih oleh patih. Alasannya, naik kuda lebih cepat daripada jalan kaki, ia malah mempersilakan Jaka Sakbar untuk turut mengiringi acara kepung kenduri dan makan-makan.

Lurah Singanegara terhenyak ketika mendapati surat tersebut, ditambah dihadapannya ada seorang patih kerajaan. Sebagaimana sabda raja yang tak mungkin keliru, ia masuk ke kamar mengambil sebilah keris yang telah dilumuri racun mematikan. Seketika, dada patih ditusuk dengan keris, sang patih limbung.

Seusai makan-makan, Jaka Sakbar melapor kepada raja. Sang raja kaget setengah mati. Jika Jaka Sakbar tidak mati, lantas siapa gerangan yang membawa surat itu. Tidak lama kemudian, Lurah Singanegara tergopoh-gopoh mendatangi raja bahwa ia telah selesai melaksanakan perintah. Kebingungan raja menjadi-jadi, ia lantas meminta penjelasan kedua orang yang melapor hampir bersamaan itu. Darah raja semakin mendidih tatkala mengetahui bahwa patihnya tewas ditusuk keris.

Berdasarkan kisah naratif Jaka Sakbar, kita mendapat banyak pelajaran tentang sifat sabar dan sumarah (pasrah). Bahwa keberuntungan dan mukjizat akan hadir di waktu yang tepat. Selain itu, teks ini juga mengajarkan  bahwa setiap perbuatan batil pasti akan ada balasan yang setimpal. Pada akhir kisah, sang raja mengetahui bahwa patih lah yang memfitnah Jaka Sakbar. Pun dengan perselingkuhan patih dengan permaisurinya. Setelah membunuh patih, raja kemudian mengutus Lurah Singanegara kembali untuk menuntaskan tugasnya yakni membunuh istri raja, dengan sebuah kain cindhe ketika ia tertidur pulas. Sebagai pengganti patih yang hilang, Jaka Sakbar diangkat menjadi patih baru dengan gelar Adipati Setyadarma.

REFERENSI

Danandjaja, James. 1991. “Folklore Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain (cetakan ke-tiga). Jakarta: Yayasan Pustaka Grafiti.

Kěmpalan Dongeng (Sěrat Tedhakan) St.35 koleksi Perpustakaan Widyapustaka Pura Pakualaman Yogyakarta. 2362/PP/73

Pratama, Muhamad Fahrizal Leo. 2022. “Jaka Sakbar Dalam Naskah Kěmpalan Dongeng Koleksi Perpustakaan Widyapustaka Puro Pakualaman Yogyakarta: Suntingan Teks dan Terjemahan”. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.

Saktimulya, Sri Ratna dkk. 2005. “Katalog Naskah-naskah Perpustakaan Pura  (cetakan ke-satu) Pakualaman”. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-The Toyota Foundation.



Fahrizal Leo Pratama

Muhamad Fahrizal Leo Pratama, lulusan program studi Bahasa, Sastra, dan Kebudayaan Jawa UGM. Saat ini aktif bekerja sebagai staff pengolah arsip Dinas Perpustakaan dan Arsip DIY dan turut mengelola kelompok studi sastra dan budaya Bunker Collective Space.

fahrizalleopratama@gmail.com

eyJtYXBfb3B0aW9ucyI6eyJjZW50ZXJfbGF0IjoiLTcuODA1MTM1NjcxOTUxNTUzIiwiY2VudGVyX2xuZyI6IjExMC4zNjQyMTM4Mjg3MzQ2NiIsInpvb20iOjEwLCJtYXBfdHlwZV9pZCI6IlJPQURNQVAiLCJmaXRfYm91bmRzIjp0cnVlLCJkcmFnZ2FibGUiOnRydWUsInNjcm9sbF93aGVlbCI6dHJ1ZSwiZGlzcGxheV80NV9pbWFnZXJ5IjoiIiwibWFya2VyX2RlZmF1bHRfaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL1wvZGVmYXVsdF9tYXJrZXIucG5nIiwiaW5mb3dpbmRvd19zZXR0aW5nIjoiPGRpdiBjbGFzcz1cImZjLWl0ZW0tYm94IGZjLWl0ZW1jb250ZW50LXBhZGRpbmcgXCI+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS10aXRsZVwiPnttYXJrZXJfdGl0bGV9IDxzcGFuIGNsYXNzPVwiZmMtYmFkZ2UgaW5mb1wiPnttYXJrZXJfY2F0ZWdvcnl9PFwvc3Bhbj48XC9kaXY+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1jb250ZW50IGZjLWl0ZW0tYm9keS10ZXh0LWNvbG9yXCI+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1mZWF0dXJlZCBmYy1sZWZ0IGZjLWl0ZW0tdG9wX3NwYWNlXCI+XG4gICAgICAgICAgICB7bWFya2VyX2ltYWdlfVxuICAgICAgICA8XC9kaXY+XG48cD4gICAgICAgIHttYXJrZXJfbWVzc2FnZX1cbiAgICA8XC9wPjxcL2Rpdj5cbjxhZGRyZXNzIGNsYXNzPVwiZmMtdGV4dFwiPnttYXJrZXJfYWRkcmVzc308XC9hZGRyZXNzPlxuPFwvZGl2PlxuIiwiaW5mb3dpbmRvd19ib3VuY2VfYW5pbWF0aW9uIjoiY2xpY2siLCJpbmZvd2luZG93X2Ryb3BfYW5pbWF0aW9uIjpmYWxzZSwiY2xvc2VfaW5mb3dpbmRvd19vbl9tYXBfY2xpY2siOmZhbHNlLCJpbmZvd2luZG93X3NraW4iOnsibmFtZSI6ImRlZmF1bHQiLCJ0eXBlIjoiaW5mb3dpbmRvdyIsInNvdXJjZWNvZGUiOiI8ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1ib3ggZmMtaXRlbWNvbnRlbnQtcGFkZGluZyBcIj5cclxuICAgIDxkaXYgY2xhc3M9XCJmYy1pdGVtLXRpdGxlXCI+e21hcmtlcl90aXRsZX0gPHNwYW4gY2xhc3M9XCJmYy1iYWRnZSBpbmZvXCI+e21hcmtlcl9jYXRlZ29yeX08XC9zcGFuPjxcL2Rpdj5cclxuICAgIDxkaXYgY2xhc3M9XCJmYy1pdGVtLWNvbnRlbnQgZmMtaXRlbS1ib2R5LXRleHQtY29sb3JcIj5cclxuICAgICAgICA8ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1mZWF0dXJlZCBmYy1sZWZ0IGZjLWl0ZW0tdG9wX3NwYWNlXCI+XHJcbiAgICAgICAgICAgIHttYXJrZXJfaW1hZ2V9XHJcbiAgICAgICAgPFwvZGl2PlxyXG4gICAgICAgIHttYXJrZXJfbWVzc2FnZX1cclxuICAgIDxcL2Rpdj5cclxuICAgIDxhZGRyZXNzIGNsYXNzPVwiZmMtdGV4dFwiPnttYXJrZXJfYWRkcmVzc308XC9hZGRyZXNzPlxyXG48XC9kaXY+In0sImRlZmF1bHRfaW5mb3dpbmRvd19vcGVuIjpmYWxzZSwiaW5mb3dpbmRvd19vcGVuX2V2ZW50IjoiY2xpY2siLCJmdWxsX3NjcmVlbl9jb250cm9sIjpmYWxzZSwic2VhcmNoX2NvbnRyb2wiOnRydWUsInpvb21fY29udHJvbCI6dHJ1ZSwibWFwX3R5cGVfY29udHJvbCI6ZmFsc2UsInN0cmVldF92aWV3X2NvbnRyb2wiOmZhbHNlLCJmdWxsX3NjcmVlbl9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJzZWFyY2hfY29udHJvbF9wb3NpdGlvbiI6IlRPUF9MRUZUIiwiem9vbV9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfdHlwZV9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfdHlwZV9jb250cm9sX3N0eWxlIjoiSE9SSVpPTlRBTF9CQVIiLCJzdHJlZXRfdmlld19jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfY29udHJvbCI6dHJ1ZSwibWFwX2NvbnRyb2xfc2V0dGluZ3MiOmZhbHNlLCJtYXBfem9vbV9hZnRlcl9zZWFyY2giOjYsIndpZHRoIjoiIiwiaGVpZ2h0IjoiMzMwIn0sInBsYWNlcyI6W3siaWQiOiIxIiwidGl0bGUiOiJLZXJhdG9uIiwiYWRkcmVzcyI6IktlcmF0b24gSm9namEiLCJzb3VyY2UiOiJtYW51YWwiLCJjb250ZW50IjoiS2VyYXRvbiBOZ2F5b2d5YWthcnRhIEhhZGluaW5ncmF0IGF0YXUgS2VyYXRvbiBZb2d5YWthcnRhIG1lcnVwYWthbiBpc3RhbmEgcmVzbWkgS2VzdWx0YW5hbiBOZ2F5b2d5YWthcnRhIEhhZGluaW5ncmF0IHlhbmcga2luaSBiZXJsb2thc2kgZGkgS290YSBZb2d5YWthcnRhLiBLZXJhdG9uIGluaSBkaWRpcmlrYW4gb2xlaCBTcmkgU3VsdGFuIEhhbWVuZ2t1YnV3YW5hIEkgcGFkYSB0YWh1biAxNzU1IHNlYmFnYWkgSXN0YW5hXC9LZXJhdG9uIFlvZ3lha2FydGEgeWFuZyBiYXJ1IGJlcmRpcmkgYWtpYmF0IHBlcnBlY2FoYW4gTWF0YXJhbSBJc2xhbSBkZW5nYW4gYWRhbnlhIFBlcmphbmppYW4gR2l5YW50aS4gS2VyYXRvbiBpbmkgYWRhbGFoIHBlY2FoYW4gZGFyaSBLZXJhdG9uIFN1cmFrYXJ0YSBIYWRpbmluZ3JhdCBkYXJpIE1hdGFyYW0gSXNsYW0gU3VyYWthcnRhIChLZXJhamFhbiBTdXJha2FydGEpLiBTZWhpbmdnYSBkaW5hc3RpIE1hdGFyYW0gZGl0ZXJ1c2thbiBvbGVoIDIgS2VyYWphYW4geWFrbmkgS2VzdWx0YW5hbiBZb2d5YWthcnRhIGRhbiBLZXN1bmFuYW4gU3VyYWthcnRhLiBUb3RhbCBsdWFzIHdpbGF5YWgga2VzZWx1cnVoYW4ga2VyYXRvbiB5b2d5YWthcnRhIG1lbmNhcGFpIDE0NCBoZWt0YXIsIHlha25pIG1lbGlwdXRpIHNlbHVydWggYXJlYSBkaSBkYWxhbSBiZW50ZW5nIEJhbHV3YXJ0aSwgYWx1bi1hbHVuIExvciwgYWx1bi1hbHVuIEtpZHVsLCBnYXB1cmEgR2xhZGFrLCBkYW4ga29tcGxla3MgTWFzamlkIEdlZGhlIFlvZ3lha2FydGEuIFNlbWVudGFyYSBsdWFzIGRhcmkga2VkaGF0b24gKGludGkga2VyYXRvbikgbWVuY2FwYWkgMTMgaGVrdGFyLiAiLCJsb2NhdGlvbiI6eyJpY29uIjoiaHR0cHM6XC9cL2phbmdrYWguaWRcL3dwLWNvbnRlbnRcL3BsdWdpbnNcL3dwLWdvb2dsZS1tYXAtcGx1Z2luXC9hc3NldHNcL2ltYWdlc1wvXC9kZWZhdWx0X21hcmtlci5wbmciLCJsYXQiOiItNy44MDUxMzU2NzE5NTE1NTMiLCJsbmciOiIxMTAuMzY0MjEzODI4NzM0NjYiLCJjaXR5IjoiWW9neWFrYXJ0YSIsInN0YXRlIjoiRGFlcmFoIElzdGltZXdhIFlvZ3lha2FydGEiLCJjb3VudHJ5IjoiSW5kb25lc2lhIiwib25jbGlja19hY3Rpb24iOiJtYXJrZXIiLCJyZWRpcmVjdF9jdXN0b21fbGluayI6IiIsIm1hcmtlcl9pbWFnZSI6IjxkaXYgY2xhc3M9J2ZjLWZlYXR1cmUtaW1nJz48aW1nIGxvYWRpbmc9J2xhenknIGRlY29kaW5nPSdhc3luYycgYWx0PSdLZXJhdG9uJyBzcmM9J2h0dHBzOlwvXC91cGxvYWQud2lraW1lZGlhLm9yZ1wvd2lraXBlZGlhXC9jb21tb25zXC90aHVtYlwvM1wvMzNcL0tyYXRvbl9Zb2d5YWthcnRhX1BhZ2VsYXJhbi5qcGdcLzEwMjRweC1LcmF0b25fWW9neWFrYXJ0YV9QYWdlbGFyYW4uanBnJyBjbGFzcz0nd3BnbXBfbWFya2VyX2ltYWdlIGZjLWl0ZW0tZmVhdHVyZWRfaW1hZ2UgZmMtaXRlbS1sYXJnZScgXC8+PFwvZGl2PiIsIm9wZW5fbmV3X3RhYiI6InllcyIsInBvc3RhbF9jb2RlIjoiIiwiZHJhZ2dhYmxlIjpmYWxzZSwiaW5mb3dpbmRvd19kZWZhdWx0X29wZW4iOmZhbHNlLCJhbmltYXRpb24iOiJCT1VOQ0UiLCJpbmZvd2luZG93X2Rpc2FibGUiOnRydWUsInpvb20iOjUsImV4dHJhX2ZpZWxkcyI6IiJ9LCJjYXRlZ29yaWVzIjpbeyJpZCI6IiIsIm5hbWUiOiIiLCJ0eXBlIjoiY2F0ZWdvcnkiLCJleHRlbnNpb25fZmllbGRzIjpbXSwiaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL1wvZGVmYXVsdF9tYXJrZXIucG5nIn1dLCJjdXN0b21fZmlsdGVycyI6IiJ9XSwic3R5bGVzIjoiIiwibGlzdGluZyI6IiIsIm1hcmtlcl9jbHVzdGVyIjp7ImdyaWQiOiIxNSIsIm1heF96b29tIjoiMSIsImltYWdlX3BhdGgiOiJodHRwczpcL1wvamFuZ2thaC5pZFwvd3AtY29udGVudFwvcGx1Z2luc1wvd3AtZ29vZ2xlLW1hcC1wbHVnaW5cL2Fzc2V0c1wvaW1hZ2VzXC9tIiwiaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL2NsdXN0ZXJcLzQucG5nIiwiaG92ZXJfaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL2NsdXN0ZXJcLzQucG5nIiwiYXBwbHlfc3R5bGUiOmZhbHNlLCJtYXJrZXJfem9vbV9sZXZlbCI6IjEifSwibWFwX3Byb3BlcnR5Ijp7Im1hcF9pZCI6IjEiLCJkZWJ1Z19tb2RlIjpmYWxzZX19

Daksinargastuti, Menyenandungkan Kembali Syair-syair Kuno Yogyakarta

Daksinargastuti merupakan kegiatan Komunitas Jangkah Nusantara yang meliputi pemetaan, preservasi naskah kuno, bengkel sastra-aksara dan macapat, serta alih aksara manuskrip.
Lihat Rekaman Baca Pengantar
poster diskusi