Karas

Salah Penggal Kata, Tokoh Baru Bratayuda Tercipta

Baratayuda selalu berubah menyesuaikan zamannya. Sejak awal mula sebagai persembahan kepada Jayabaya atas penyatuan Panjalu dan Daha, hingga sekarang tetap dapat kita nikmati kisahnya melalui banyak media. Dapat kita lihat bagaimana masyarakat Jawa menerima perbedaan yang muncul dalam perkembangan cerita ini. Jika dapat menerima dengan baik, perbedaan justru memperkaya cerita yang terus berjalan dan berubah.

Kamis, 7 Desember 2023

324 Kali

2 Kali

8 Menit

Pada tahun sanga kuda śuddha candramā atau 1079 Śaka/1157 M, dua orang pujangga Raja Jayabaya di Kadiri, bekerja sama menulis sebuah karya sastra sepanjang 730 bait, menyertakan tujuh bait manggala dan sebelas bait epilog. Karya itulah yang kemudian kita kenal sekarang sebagai Kakawin Bharatayuddha. Sebuah kakawin yang menceritakan tentang perang besar yang terjadi antara sebuah keluarga, memperebutkan tahta kerajaan Hastina.

Perkembangan kebudayaan termasuk di dalamnya bahasa, menjadikan bahasa yang digunakan untuk menulis kakawin juga berubah. Maka kemudian muncullah karya-karya baru yang berupaya mengalihkan bahasa dan metrum yang digunakan dalam kakawin menjadi bahasa dan metrum yang usianya lebih muda. Karya sastra inilah yang kemudian disebut jarwa.

Secara umum, istilah jarwa dimaknai sebagai pengalihan karya sastra Jawa Kuna ke dalam bahasa Jawa Baru dalam bentuk prosa maupun tembang macapat. Sedangkan pengalihan karya sastra Jawa Kuna ke dalam bahasa Jawa Baru namun menggunakan metrum tembang gedhe atau sekar ageng disebut sebagai Kawi Miring.

Dalam perjalanannya, keluarga Yasadipura adalah keluarga yang paling banyak membuat karya sastra jarwa dan kawi miring ini. Mulai dari Bratayuda Jarwa Macapat oleh Yasadipura I, Bratayuda Kawi Miring/Sekar Ageng oleh Yasadipura II, dan Bratayuda Jarwa dalam bentuk prosa oleh Ranggawarsita. Secara bentuk, masing-masing memiliki keunikannya sendiri-sendiri. Akan tetapi, karya jarwan yang ditulis oleh Ranggawarsita, menunjukkan beberapa hal yang tidak terdapat dalam karya sastra sebelum-sebelumnya.

Bratayuda Jarwa karya Ranggawarsita ditulis dalam tiga kolom, kolom pertama berisi kata demi kata dari Kakawin Bharatayuddha. Kolom kedua berisi terjemahan dari kata demi kata dari kolom pertama. Bait ketiga merupakan parafrase dari tiap bait yang telah diterjemahkan dalam kolom pertama dan kedua. Dari sinilah dapat diamati bagaimana perubahan makna tiap kata, perubahan struktur narasi cerita, dan dapat ditemui perubahan dan kemunculan nama-nama tokoh yang berbeda dengan Kakawin Bharatayuddha.

Setelah disandingkan dengan Kakawin Bharatayuddha yang diterbitkan edisinya oleh S. Supomo (1983) maka dapat dilihat bahwa pada teks pada kolom pertama naskah Bratayuda Jarwa terdapat interpolasi dan transposisi sehingga menimbulkan perbedaan sebagai berikut:

Perbedaan Peristiwa

a. Saat Abimanyu diminta berperang dan saat berperang

Peristiwa ini terdapat pada pupuh 13 bait 23 baris ketiga sampai bait 26, tidak terdapat pada Kakawin Bharatayuddha. Peristiwa itu menceritakan ketika Gathotkaca diminta memanggil Abimanyu, pada saat bersamaan Abimanyu sedang bercumbu dengan Dewi Siti Sundari. Selain itu, ibu Abimanyu yaitu Dewi Subadra sebenarnya tidak memperbolehkan anaknya berangkat berperang, karena Arjuna sudah melarang Subadra mengijinkan Abimanyu berangkat berperang.

Perbedaan juga terdapat pada peristiwa Abimanyu berperang dan saat sudah terjebak di dalam gelar Cakrabyuha, diceritakan setelah Laksmanakomara tewas di tangan Abimanyu, Jayadrata lah yang mengawali mengeroyok Abimanyu.

b. Hirimbi akan bela pati kematian Gathotkaca

Pada saat Hirimbi berpamitan kepada Drupadi akan ikut bela pati kematian anaknya, ada tambahan satu bait pada Kakawin Bharatayuddha yang tidak terdapat pada Bratayuda Jarwa. Bait itu tepatnya pada pupuh 19, di antara bait 16 dan 17 Bratayuda Jarwa. Bait tersebut menceritakan perasaan Drupadi setelah mendengar Hirimbi berpamitan kepada Drupadi dan menceritakan tentang kematian anaknya. Berikut kutipan bait tersebut:

c. Sugandika ikut bela pati bersama Satyawati

Bratayuda Jarwa mengisahkan ketika Sugandika bela pati, dia hanya menubrukkan dirinya pada patrem yang juga digunakan oleh Satyawati. Dalam Kakawin Bharatayuddha diceritakan setelah menubrukkan patrem yang menembus dada Satyawati, Sugandika melempar dirinya ke atasnya, dan tubuhnya terbaring di kaki Satyawati.

Peristiwa ini dapat diamati pada pupuh 45, bait 8 sampai 9 pada Kakawin Bharatayuddha.

d. Aswatama menyelundup ke pesanggrahan Pandhawa.

Dalam pupuh 50, terdapat satu bait yang terdapat pada Kakawin Bharatayuddha tetapi tidak terdapat pada Bratayuda Jarwa. Bait tersebut terletak di antara bait 13 dan 14 Bratayuda Jarwa. Berikut kutipan bait tersebut:

tȇkwan saŋ Ktawarma len Kpa sirâŋrowaŋ ri wiprātmaja

nāhan marma nirèki tan siga-sigun rodrâpagȇh niścaya

sakweh niŋ kuwu kapwa śīra rinurah nāthanya tan paŋhawȇr

abyūran malayū balâwri kahalâtiŋgal gaja mwaŋ ratha

Terjemahan: lebih jauh lagi, Krtawarma dan Krpa telah menemaninya, dan ini membuatnya lebih percaya diri, tangguh dan bertekad. Semua pesanggrahan telah hancur total, tidak ada raja yang bisa melawannya, dan semua prajurit melarikan diri ketakutan, meninggalkan gajah dan kereta.

Pada bait ini diceritakan, pada saat Aswatama menyusup dan menyerang pesanggrahan Pandhawa, dia tidak sendirian. Aswatama ditemani oleh Krtawarma dan Krpa. Sedangkan dalam Bratayuda Jarwa bait ini tidak ada. Hal ini menyebabkan dalam Bratayuda Jarwa diceritakan Aswatama menyusup ke pesanggrahan Pandhawa seorang diri. Tanpa bantuan siapapun.

Perbedaan Tokoh

Perbedaan tokoh di sini memiliki dua arti. Pertama, adanya perbedaan nama dan perwujudannya. Kedua, terdapatnya tokoh baru yang tidak terdapat dalam Kakawin Bharatayuddha yang muncul karena perbedaan pemaknaan Ranggawarsita dalam membaca teks.

Berikut beberapa di antaranya:

a. Bagawan Sapwani

Bagawan Sapwani dalam Bratayuda Jarwa dan dalam tradisi pedalangan dikenal sebagai ayah Jayadrata. Nama tersebut terdapat pada pupuh 16, bait ketujuh, baris keenam yang tertulis:

Ing wȇkasan sirahing Jayadrata dhawah wontȇn ing ngajȇngipun kang rama Bagawan Sapwani, kagèt aningali ing sirah pun kang putra.

Terjemahan: pada akhirnya kepala Jayadrata jatuh di depan ayahnya (yaitu) Bagawan Sapwani, terkejutlah (dia) melihat kepala anaknya.

Sedangkan dalam Kakawin Bharatayuddha tertulis:

tèka mara yȇ kisapwan i bapanya kagyat atȇmah śirah juga katon.

Terjemahan: itulah jatuh ke pangkuan, ayahnya terkejut melihat kepala (anaknya).

b. Sanga Sanga

Sanga Sanga adalah nama anak dari Satyaki. Dalam pupuh 17, bait pertama, baris ketiga:

Ing ngriku tumandang putraning Satyaki nama sang Sanga Sanga langkung sakti kȇndȇl ing prang.

Terjemahan: di situ menyeranglah anak Satyaki (yang) bernama sang Sanga Sanga (yang) sangat sakti (dan) berani berperang.

Nama ini tidak terdapat pada Kakawin Bharatayuddha. Pada Kakawin Bharatayuddha pupuh 17, bait pertama, baris ketiga tertulis:

ŋkān tandaŋ putra saŋ Sātyaki saŋ asaŋa śaktī lagâtyanta śūra.

Terjemahan: itu, menyeranglah sembilan orang anak Sātyaki, semuanya kuat dan berani.

c. Tutuka

Tutuka adalah nama lain dari Gathotkaca, anak dari Bima. Disebutkan pada pupuh 18, bait kedua, baris keempat:

Sampun kawastanan pun Tutuka, yèn mundura kasigakna kados sȇgawon.

Terjemahan: jangan panggil saya Tutuka, jika mundur, usir saja seperti anjing.

Sedangkan pada tempat yang sama pada Kakawin Bharatayuddha tertulis:

si tutut atan panaŋgaha mȇneki gȇgön sakarȇŋ.

Terjemahan: si setia/penurut tidak akan pernah berkata, tunggu sebentar.

Kata tutut berubah menjadi Tutuka ini berubah kemungkinan besar karena kemiripan aksara “ta” dan “ka”. Selain itu, pedoman penulisan aksara Jawa Kuna dan Jawa Baru dalam penulisan sastra laku juga memberi pengaruhnya terhadap perbedaan pembacaan ini.

d. Nirbita dan Radèn Traya

Nirbita dalam Bratayuda Jarwa adalah nama tokoh bawahan Prabu Matsyapati yang mendapingi cucu dari Prabu Matsyapati yang bernama Radèn Traya.

Nama keduanya terdapat pada pupuh 19, bait 21, baris keempat:

Sarta sang Nirbita kang mangka pangiriding wayah Radèn Traya.

Terjemahan: serta sang Nirbita yang menjadi pendamping cucu (Prabu Matsyapati, bernama) Radèn Traya.

Sedangkan dalam Kakawin Bharatayuddha terdapat pada bait 22, baris keempat:

nirbhīta n pakapaŋruhun putu nira ŋ wīratrayānindita.

Terjemahan: ketiga cucunya, yang keberaniannya tidak tercela, berada di garis depan, dan sejauh ini dia (Prabu Matsyapati) tahu.

e. Tuhayata

Tuhayata dalam Bratayuda Jarwa diceritakan sebagai abdi Mandraka. Nama tokoh ini terdapat pada pupuh 44, bait pertama, baris ketiga:

Wontȇn pisȇpuhing bala Mandraka, wasta sang Tuhayata, saking trȇsnanipun dhatȇng saking paprangan lajȇng nȇmbah matur angasih-asih.

Terjemahan: ada tetua prajurit Mandraka, bernama sang Tuhayata, karena cintanya (dia) datang dari peperangan kemudian menyembah, berkata (dengan) berbelas kasih.

Sedangkan dalam Kakawin Bharatayuddha:

wwantȇn bhtya kaparcayātuha ya tājar i sira tȇka namya torasih.

Terjemahan: seorang abdi tua dan terpercaya mendatanginya dengan hormat dan berkata jujur padanya.

Kata kaparcayātuha ya tājar yang terdiri dari lima kata yaitu kaparcaya, atuha, ya, ta, dan ajar oleh penulis dipenggal menjadi kaparcaya tuhayata ajar. Menjadikan kata atuha yang berarti tua, digabung dengan kata berikutnya dan membuat sebuah nama baru yaitu Tuhayata.

Tak dapat dipungkiri, cerita Bharatayuddha/Bratayuda bagi masyarakat Jawa sudah mbalung sungsum. Perbedaan-perbedaan yang terdapat antara satu teks dengan teks yang lain tidak dapat serta merta dianggap sebagai sebuah kesalahan. Hal ini disebabkan karena banyaknya tradisi yang ikut berkelindan di dalamnya, utamanya tradisi pedalangan. Perbedaan-perbedaan runtutan peristiwa, dalam tradisi pedalangan justru menambah bothekan dalam membuat sanggit cerita.

Perbedaan tokoh lebih “mengagumkan” lagi, yang semula berasal dari sebuah kesalahan pembacaan, dapat muncul tokoh baru yang tidak hanya muncul dalam peristiwa perang Bratayuda, tetapi dapat diolah menjadi sebuah cerita dari kelahiran hingga kematiannya. Contohnya seperti nama Tutuka yang dijadikan nama bayi dari Gathotkaca. Sekarang kita dapat menikmati lakon Gathotkaca Jago, Gathotkaca Gugur yang sangat berkelindan dengan kesalahan pembacaan ini.

Baratayuda selalu berubah menyesuaikan zamannya. Sejak awal mula sebagai persembahan kepada Jayabaya atas penyatuan Panjalu dan Daha, hingga sekarang tetap dapat kita nikmati kisahnya melalui banyak media. Dapat kita lihat bagaimana masyarakat Jawa menerima perbedaan yang muncul dalam perkembangan cerita ini. Jika dapat menerima dengan baik, perbedaan justru memperkaya cerita yang terus berjalan dan berubah.[]



Adi Wisnurutomo

Filolog Junior di Perpustakaan Nasional. Academyth penggemar wayang, karawitan, dan seluk beluknya.

adiwisnurutomo@gmail.com

eyJtYXBfb3B0aW9ucyI6eyJjZW50ZXJfbGF0IjoiLTcuODA1MTM1NjcxOTUxNTUzIiwiY2VudGVyX2xuZyI6IjExMC4zNjQyMTM4Mjg3MzQ2NiIsInpvb20iOjEwLCJtYXBfdHlwZV9pZCI6IlJPQURNQVAiLCJmaXRfYm91bmRzIjp0cnVlLCJkcmFnZ2FibGUiOnRydWUsInNjcm9sbF93aGVlbCI6dHJ1ZSwiZGlzcGxheV80NV9pbWFnZXJ5IjoiIiwibWFya2VyX2RlZmF1bHRfaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL1wvZGVmYXVsdF9tYXJrZXIucG5nIiwiaW5mb3dpbmRvd19zZXR0aW5nIjoiPGRpdiBjbGFzcz1cImZjLWl0ZW0tYm94IGZjLWl0ZW1jb250ZW50LXBhZGRpbmcgXCI+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS10aXRsZVwiPnttYXJrZXJfdGl0bGV9IDxzcGFuIGNsYXNzPVwiZmMtYmFkZ2UgaW5mb1wiPnttYXJrZXJfY2F0ZWdvcnl9PFwvc3Bhbj48XC9kaXY+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1jb250ZW50IGZjLWl0ZW0tYm9keS10ZXh0LWNvbG9yXCI+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1mZWF0dXJlZCBmYy1sZWZ0IGZjLWl0ZW0tdG9wX3NwYWNlXCI+XG4gICAgICAgICAgICB7bWFya2VyX2ltYWdlfVxuICAgICAgICA8XC9kaXY+XG48cD4gICAgICAgIHttYXJrZXJfbWVzc2FnZX1cbiAgICA8XC9wPjxcL2Rpdj5cbjxhZGRyZXNzIGNsYXNzPVwiZmMtdGV4dFwiPnttYXJrZXJfYWRkcmVzc308XC9hZGRyZXNzPlxuPFwvZGl2PlxuIiwiaW5mb3dpbmRvd19ib3VuY2VfYW5pbWF0aW9uIjoiY2xpY2siLCJpbmZvd2luZG93X2Ryb3BfYW5pbWF0aW9uIjpmYWxzZSwiY2xvc2VfaW5mb3dpbmRvd19vbl9tYXBfY2xpY2siOmZhbHNlLCJpbmZvd2luZG93X3NraW4iOnsibmFtZSI6ImRlZmF1bHQiLCJ0eXBlIjoiaW5mb3dpbmRvdyIsInNvdXJjZWNvZGUiOiI8ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1ib3ggZmMtaXRlbWNvbnRlbnQtcGFkZGluZyBcIj5cclxuICAgIDxkaXYgY2xhc3M9XCJmYy1pdGVtLXRpdGxlXCI+e21hcmtlcl90aXRsZX0gPHNwYW4gY2xhc3M9XCJmYy1iYWRnZSBpbmZvXCI+e21hcmtlcl9jYXRlZ29yeX08XC9zcGFuPjxcL2Rpdj5cclxuICAgIDxkaXYgY2xhc3M9XCJmYy1pdGVtLWNvbnRlbnQgZmMtaXRlbS1ib2R5LXRleHQtY29sb3JcIj5cclxuICAgICAgICA8ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1mZWF0dXJlZCBmYy1sZWZ0IGZjLWl0ZW0tdG9wX3NwYWNlXCI+XHJcbiAgICAgICAgICAgIHttYXJrZXJfaW1hZ2V9XHJcbiAgICAgICAgPFwvZGl2PlxyXG4gICAgICAgIHttYXJrZXJfbWVzc2FnZX1cclxuICAgIDxcL2Rpdj5cclxuICAgIDxhZGRyZXNzIGNsYXNzPVwiZmMtdGV4dFwiPnttYXJrZXJfYWRkcmVzc308XC9hZGRyZXNzPlxyXG48XC9kaXY+In0sImRlZmF1bHRfaW5mb3dpbmRvd19vcGVuIjpmYWxzZSwiaW5mb3dpbmRvd19vcGVuX2V2ZW50IjoiY2xpY2siLCJmdWxsX3NjcmVlbl9jb250cm9sIjpmYWxzZSwic2VhcmNoX2NvbnRyb2wiOnRydWUsInpvb21fY29udHJvbCI6dHJ1ZSwibWFwX3R5cGVfY29udHJvbCI6ZmFsc2UsInN0cmVldF92aWV3X2NvbnRyb2wiOmZhbHNlLCJmdWxsX3NjcmVlbl9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJzZWFyY2hfY29udHJvbF9wb3NpdGlvbiI6IlRPUF9MRUZUIiwiem9vbV9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfdHlwZV9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfdHlwZV9jb250cm9sX3N0eWxlIjoiSE9SSVpPTlRBTF9CQVIiLCJzdHJlZXRfdmlld19jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfY29udHJvbCI6dHJ1ZSwibWFwX2NvbnRyb2xfc2V0dGluZ3MiOmZhbHNlLCJtYXBfem9vbV9hZnRlcl9zZWFyY2giOjYsIndpZHRoIjoiIiwiaGVpZ2h0IjoiMzMwIn0sInBsYWNlcyI6W3siaWQiOiIxIiwidGl0bGUiOiJLZXJhdG9uIiwiYWRkcmVzcyI6IktlcmF0b24gSm9namEiLCJzb3VyY2UiOiJtYW51YWwiLCJjb250ZW50IjoiS2VyYXRvbiBOZ2F5b2d5YWthcnRhIEhhZGluaW5ncmF0IGF0YXUgS2VyYXRvbiBZb2d5YWthcnRhIG1lcnVwYWthbiBpc3RhbmEgcmVzbWkgS2VzdWx0YW5hbiBOZ2F5b2d5YWthcnRhIEhhZGluaW5ncmF0IHlhbmcga2luaSBiZXJsb2thc2kgZGkgS290YSBZb2d5YWthcnRhLiBLZXJhdG9uIGluaSBkaWRpcmlrYW4gb2xlaCBTcmkgU3VsdGFuIEhhbWVuZ2t1YnV3YW5hIEkgcGFkYSB0YWh1biAxNzU1IHNlYmFnYWkgSXN0YW5hXC9LZXJhdG9uIFlvZ3lha2FydGEgeWFuZyBiYXJ1IGJlcmRpcmkgYWtpYmF0IHBlcnBlY2FoYW4gTWF0YXJhbSBJc2xhbSBkZW5nYW4gYWRhbnlhIFBlcmphbmppYW4gR2l5YW50aS4gS2VyYXRvbiBpbmkgYWRhbGFoIHBlY2FoYW4gZGFyaSBLZXJhdG9uIFN1cmFrYXJ0YSBIYWRpbmluZ3JhdCBkYXJpIE1hdGFyYW0gSXNsYW0gU3VyYWthcnRhIChLZXJhamFhbiBTdXJha2FydGEpLiBTZWhpbmdnYSBkaW5hc3RpIE1hdGFyYW0gZGl0ZXJ1c2thbiBvbGVoIDIgS2VyYWphYW4geWFrbmkgS2VzdWx0YW5hbiBZb2d5YWthcnRhIGRhbiBLZXN1bmFuYW4gU3VyYWthcnRhLiBUb3RhbCBsdWFzIHdpbGF5YWgga2VzZWx1cnVoYW4ga2VyYXRvbiB5b2d5YWthcnRhIG1lbmNhcGFpIDE0NCBoZWt0YXIsIHlha25pIG1lbGlwdXRpIHNlbHVydWggYXJlYSBkaSBkYWxhbSBiZW50ZW5nIEJhbHV3YXJ0aSwgYWx1bi1hbHVuIExvciwgYWx1bi1hbHVuIEtpZHVsLCBnYXB1cmEgR2xhZGFrLCBkYW4ga29tcGxla3MgTWFzamlkIEdlZGhlIFlvZ3lha2FydGEuIFNlbWVudGFyYSBsdWFzIGRhcmkga2VkaGF0b24gKGludGkga2VyYXRvbikgbWVuY2FwYWkgMTMgaGVrdGFyLiAiLCJsb2NhdGlvbiI6eyJpY29uIjoiaHR0cHM6XC9cL2phbmdrYWguaWRcL3dwLWNvbnRlbnRcL3BsdWdpbnNcL3dwLWdvb2dsZS1tYXAtcGx1Z2luXC9hc3NldHNcL2ltYWdlc1wvXC9kZWZhdWx0X21hcmtlci5wbmciLCJsYXQiOiItNy44MDUxMzU2NzE5NTE1NTMiLCJsbmciOiIxMTAuMzY0MjEzODI4NzM0NjYiLCJjaXR5IjoiWW9neWFrYXJ0YSIsInN0YXRlIjoiRGFlcmFoIElzdGltZXdhIFlvZ3lha2FydGEiLCJjb3VudHJ5IjoiSW5kb25lc2lhIiwib25jbGlja19hY3Rpb24iOiJtYXJrZXIiLCJyZWRpcmVjdF9jdXN0b21fbGluayI6IiIsIm1hcmtlcl9pbWFnZSI6IjxkaXYgY2xhc3M9J2ZjLWZlYXR1cmUtaW1nJz48aW1nIGxvYWRpbmc9J2xhenknIGRlY29kaW5nPSdhc3luYycgYWx0PSdLZXJhdG9uJyBzcmM9J2h0dHBzOlwvXC91cGxvYWQud2lraW1lZGlhLm9yZ1wvd2lraXBlZGlhXC9jb21tb25zXC90aHVtYlwvM1wvMzNcL0tyYXRvbl9Zb2d5YWthcnRhX1BhZ2VsYXJhbi5qcGdcLzEwMjRweC1LcmF0b25fWW9neWFrYXJ0YV9QYWdlbGFyYW4uanBnJyBjbGFzcz0nd3BnbXBfbWFya2VyX2ltYWdlIGZjLWl0ZW0tZmVhdHVyZWRfaW1hZ2UgZmMtaXRlbS1sYXJnZScgXC8+PFwvZGl2PiIsIm9wZW5fbmV3X3RhYiI6InllcyIsInBvc3RhbF9jb2RlIjoiIiwiZHJhZ2dhYmxlIjpmYWxzZSwiaW5mb3dpbmRvd19kZWZhdWx0X29wZW4iOmZhbHNlLCJhbmltYXRpb24iOiJCT1VOQ0UiLCJpbmZvd2luZG93X2Rpc2FibGUiOnRydWUsInpvb20iOjUsImV4dHJhX2ZpZWxkcyI6IiJ9LCJjYXRlZ29yaWVzIjpbeyJpZCI6IiIsIm5hbWUiOiIiLCJ0eXBlIjoiY2F0ZWdvcnkiLCJleHRlbnNpb25fZmllbGRzIjpbXSwiaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL1wvZGVmYXVsdF9tYXJrZXIucG5nIn1dLCJjdXN0b21fZmlsdGVycyI6IiJ9XSwic3R5bGVzIjoiIiwibGlzdGluZyI6IiIsIm1hcmtlcl9jbHVzdGVyIjp7ImdyaWQiOiIxNSIsIm1heF96b29tIjoiMSIsImltYWdlX3BhdGgiOiJodHRwczpcL1wvamFuZ2thaC5pZFwvd3AtY29udGVudFwvcGx1Z2luc1wvd3AtZ29vZ2xlLW1hcC1wbHVnaW5cL2Fzc2V0c1wvaW1hZ2VzXC9tIiwiaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL2NsdXN0ZXJcLzQucG5nIiwiaG92ZXJfaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL2NsdXN0ZXJcLzQucG5nIiwiYXBwbHlfc3R5bGUiOmZhbHNlLCJtYXJrZXJfem9vbV9sZXZlbCI6IjEifSwibWFwX3Byb3BlcnR5Ijp7Im1hcF9pZCI6IjEiLCJkZWJ1Z19tb2RlIjpmYWxzZX19

Daksinargastuti, Menyenandungkan Kembali Syair-syair Kuno Yogyakarta

Daksinargastuti merupakan kegiatan Komunitas Jangkah Nusantara yang meliputi pemetaan, preservasi naskah kuno, bengkel sastra-aksara dan macapat, serta alih aksara manuskrip.
Lihat Rekaman Baca Pengantar
poster diskusi