Deretan pegunungan selatan di wilayah Yogyakarta tidak saja menyimpan kekayaan alam, namun juga kekayaan sastra. Pada masa lalu, tradisi menggubah sastra dari nenek moyang telah menjadi laku hidup sehari-hari. Begitupun melantunkan syair-syair sastra senantiasa meliputi ritus kehidupan manusia Yogyakarta. Akan tetapi, lebih dari seabad lamanya tradisi itu berhenti dan terkubur oleh waktu. Daksinargastuti adalah upaya bersama untuk menyenandungkan kembali syair-syair kuno Yogyakarta.
Daksinargastuti terdiri dari tiga kata bahasa Jawa; Daksina, Arga dan Stuti. Daksina berarti tempat di daerah selatan. Arga berarti gunung. Stuti berarti pujian, memuji atau menghormati. Daksinargastuti bermaksud mengungkapkan, menyenandungkan puja-puji syair-syair kuno yang terekam dalam manuskrip-manuskrip yang ditemukan di wilayah Gunungkidul, Yogyakarta.
Daksinargastuti merupakan kegiatan Komunitas Jangkah Nusantara yang meliputi pemetaan, preservasi naskah kuno, bengkel sastra-aksara dan macapat, serta alih aksara manuskrip. Kegiatan ini dilakukan selama Agustus-September di wilayah Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta dan didukung oleh Bantuan Pemerintah Bidang Kebahasaan dan Kesastraan, Penguatan Komunitas Sastra Tahun Anggaran 2023.
Puncak acara kegiatan adalah diskusi dan gelar alih wahana naskah “Gendhingisasi Serat Menak Karya Kiai Muhammad Kiramu”. Sebuah pementasan kolaboratif yang diangkat dari Serat Menak tradisi Gunungkidul karya Kiai Muhammad Kiramu, yang ditulis pada abad ke-19 M. Gelaran ini dilaksanakan pada Sabtu, 30 September di Pendopo Omah Gondhol di Nglebeng, Tamanan, Banguntapan, Bantul.
Gelaran ini bertujuan menyenandungkan kembali teks-teks kuno Yogyakarta yang sudah lama tidak tersentuh. Teks kuno yang berisi wejangan-wejangan literatif, didaktik, moralistik dan sufistik yang popular di masa lalu dan perlu disenandungkan serta diaktualisasikan kembali di era kini.
Menurut keyakinan masyarakat setempat, Kiramu alias Kiai Istad adalah tokoh penyebar agama Islam yang berasal dari brang wetan. Tokoh Sufi ini mulai babad alas menyiarkan Islam di Gunungkidul pada 1808 M. Ia mendirikan pesantren di Kedungpoh, Nglipar, Gunungkidul. Aktivitas dakwahnya dianggap berbahaya bagi Belanda yang kala itu menjajah, sehingga ia kerap berpindah-pindah dari kejaran penjajah. Beberapa karya peninggalannya antara lain musala, salinan kitab suci Al-Quran, kitab primbon, dan Serat Menak yang akan dipentaskan secara kolaboratif dengan masyarakat.
Kegiatan ini bertepatan dengan hari lahir ke-5 Komunitas Jangkah. Sejak berdiri pada 29 September 2018, Komunitas Jangkah konsisten melakukan kegiatan preservasi naskah kuno. Kegiatan yang telah dilakukan antara lain diskusi naskah, workshop penulisan, kelas baca-tulis aksara Jawa dan Pegon, kelas penerjemahan, pentas alih wahana, yang keseluruhannya dilakukan dengan berkolaborasi dengan berbagai pihak. Hal ini sebagaimana tagline Komunitas Jangkah yakni Jumangkah Daya-Dinayan, yang berarti lelaku preservasi naskah kuno tidak bisa dilakukan hanya oleh Komunitas Jangkah sendirian. Tapi perlu sinergitas kerja kolaboratif dengan berbagai pihak.
Yogyakarta, 30 September 2023
Muhammad Bagus Febriyanto
Ketua Umum Komunitas Jangkah Nusantara
