Karas

Titik-titik Singgung Wayang dan Islam dalam Rekaman Naskah Kuna (bag. I)

Pendahuluan                        Jauh sebelum polemik keharaman wayang kulit menjadi viral pada medio Februari 2022, pada kenyataannya di dalam masyarakat kita telah terjadi pro-kontra yang cukup panjang tentang hubungan wayang kulit dan Islam. Tidak hanya di dalam kubu yang menolak keberadaan wayang kulit sendiri karena dianggap sebagai “budaya leluhur” yang

Rabu, 23 November 2022

174 Kali

0 Kali

29 Menit

Pendahuluan           

            Jauh sebelum polemik keharaman wayang kulit menjadi viral pada medio Februari 2022, pada kenyataannya di dalam masyarakat kita telah terjadi pro-kontra yang cukup panjang tentang hubungan wayang kulit dan Islam. Tidak hanya di dalam kubu yang menolak keberadaan wayang kulit sendiri karena dianggap sebagai “budaya leluhur” yang secara otomatis tidak sesuai dengan misi Islam untuk memindahkan kondisi mental masyarakat minadz-dzulumaati ilan-nuur (dari “kegelapan” menuju “terang”), namun juga di dalam sikap internal masyarakat pendukung keberadaan wayang, baik dari kalangan akademisi, budayawan, pengamat maupun praktisinya. Dalam sementara pendapat, orang sudah tidak lagi mengenali hubungan antara Islam dengan wayang kecuali hanya dari jarwa dhosok dan othak-athik gathuk yang tumbuh dalam tradisi lisan kerakyatan dan diceritakan berulang kali oleh para muballigh dan penceramah di mimbar-mimbar. Nama Sunan Kalijaga, sebagaimana nama universitas tempat kami menyampaikan sekelumit materi ini, menjadi seakan satu-satunya perisai yang melindungi wayang dari persekusi yang dapat sewaktu-waktu dilaksanakan oleh kaum fĕkih atau putihan, mengingat sudah tidak dikenalinya lagi dasar-dasar argumentatif yang sahih tentang bagaimana Islam dan wayang saling berkaitan dalam konteks peradaban masyarakat Nusantara, lebih-lebih Jawa. Di tengah-tengah arus informasi yang semakin waktu semakin mendelegitimasi keberadaan dan eksistensi Walisanga dengan pelbagai dalih, tentu menyandarkan keselamatan dan masa depan wayang hanya kepada nisbat ke Sunan Kalijaga tanpa adanya sanad yang jelas sangat berbahaya: selain tidak menyelesaikan permasalahan yang mengancam kelestarian wayang, hal ini menjadikan masyarakat pendukungnya mulai dari hulu sampai hilir merasa tidak percaya diri dan lama kelamaan acuh terhadap peran aksiologis dan ideologis wayang, bahkan ada juga yang terseret ke dalam agenda pembenturan budaya lokal dengan agama sebagai akibat berkembangnya pemikiran yang simplisistik dan cenderung naif, bahwa Islam justru membawa kemunduran peradaban Nusantara alih-alih memajukannya.

            Berangkat dari permasalahan tersebut, kami lantas teringat pada sebuah pengalaman yang kami jumpai sendiri secara pribadi, ketika membacakan bait pembuka dari Sĕrat Panitisastra Sĕkar Agĕng yang konon digubah oleh Raden Ngabehi Yasadipura I dari Nitiçastra Jawa Kuna pada masa pemerintahan ISKS Pakubuwana III (1749-1788 M) sebagai berikut:

Ndan sĕmbahnirèng ulun/ Kapurba ring Sang Murbèng Rat/ Sahananikang nikanang sihing dasih/ Mawèh boga sawĕgung maksih ring dlaha/ Ndan kanang amujwènga/ ri jĕng Nayakaningrat/ Dutèngrat kotama/ Manggiha nugraha/ Lèn siswanta sagotra/ Kang huwus minulya//

Artinya:

(Demikianlah berdatang sembah kepada-Nya diri kami/ [Karena menyadari bahwa diri ini] dikuasai oleh Yang Menguasai Dunia/ [Dan] seisi alam, Yang bersifat Welas Asih kepada makhluk-Nya/ Yang memberi rezeki kepada seluruh ciptaannya, sampai kepada Hari Kemudian/ Demikian pula kami memuji/ kepada Paduka sang Nayakaningrat [“khalifah” atau pejabat dunia]/ Utusan yang Terutama/ Semoga [beliau] mendapatkan anugerah/ Pun dengan siswanya, juga keluarganya/ Yang telah mulia [di alam keabadian]).

            Bait pertama pembuka Panitisastra ini sangat populer di kalangan pedalangan gaya Surakarta, dan dipergunakan sebagai pembuka pergelaran dalam suluk pathĕt nĕm agĕng, lebih-lebih dalam jĕjĕr kerajaan-kerajaan protagonis selain kerajaan Ngastina yang diduduki raja Prabu Duryudana. Akan tetapi, setelah diteliti dan dilaras kata demi kata, akhirnya terbetiklah sebuah dugaan: bukankah susunan kata-kata dan kalimat dari sĕkar agĕng tersebut adalah sebuah muqaddimah yang sangat Islami? Kurang lebih, jika diterjemahkan dalam bahasa Arab akan berbunyi demikian: Alhamdulillaahi rabbil ‘alamiin, wabihii nasta’inuhuu ‘alaa ‘umurid-dunyaa wad-diin, was-shalatu was-salaamu ‘alaa sayyidina Muhammadin, nabiyyil musthafa wa ‘alaa aalihi wa ashabihi ajma’in. Tentu saja, hal ini hanya akan dapat “dirasakan” apabila filolog atau budayawan sebagai seorang pribadi memiliki bekal genetik maupun afektif yang akrab dengan latar belakang keislaman, dan karenanya tidak heran bahwa seringkali para sarjana sastra Jawa baik dalam maupun luar negeri tersilap dari hal tersebut. Pasalnya, studi sastra Jawa klasik biasanya didominasi para sarjana yang tidak “akrab” dengan wacana-wacana keislaman, bahkan bagi yang beridentitas Islam secara pribadi sekalipun. Bahkan, atas nama “sastra Jawa yang adiluhung”, seringkali kami temukan di kalangan para pecinta seni pedalangan yang memiliki kemampuan berbahasa Jawa Kuna atau Tengahan secara otodidak maupun para sarjana sastra yang terlatih secara akademis menganggap syair tersebut corrupt (rusak), dan menggantikan beberapa kata kunci dengan vokabuler bahasa Jawa Kuna yang kumuna-kuna, yang justru menggeser maknanya menjadi sangat jauh dan ora muni. Sebagai contoh, pada kalimat manggiha nugraha lèn siswa-nta sagotra kang huwus minulya seringkali diolah secara arkaik menjadi manggya manugrahèng lir séwa sogata, tang huwus minulya (agar menemui anugerah seperti para pendeta Saiwa dan Sogata/Buddha yang telah mencapai kemuliaan), yang kemudian menjadikan para penerjemah ini justru bingung ketika menghadapi entitas-entitas yang dinamakan “jĕng Nayakaningrat” dan “Dutèngrat kotama” yang juga disebut dalam syair ini, lantas menyandarkannya kepada tokoh-tokoh mitologi lain yang dianggap masuk akal untuk merepresentasikannya, walau sejatinya juga upaya-upaya tersebut juga “sak kĕcĕkĕlé” atau sedapatnya saja, berhubung proses penerjemahan ini tidak menyadari, atau bahkan menghindari, konteks aslinya.

            Ketika kami mengemukakannya di dalam sebuah diskusi, jelas sebagaimana yang telah kami perkirakan, tentu timbul sebuah perlawanan. Seorang rekan diskusi kami yang beragama lain, dan kami pun sampai sekarang masih menghormati beliau, merasa “tidak terima” dengan hasil kupasan tersebut dan mencari-cari jawaban kepada dalang-dalang lain, apakah benar syair suluk pathĕt nĕm agĕng itu berasal dari (menurut pemahaman Beliau) “al-Fatihah”. Di hadapan dalang-dalang yang tentu saja tidak akrab dengan dunia Islam dan dialektika di dalamnya, tentu saja anggapan kupasan ini kemudian dianggap mengada-ada, dan bahkan dekonstruktif. Akan tetapi, bukankah Yasadipura I sendiri pada hakikatnya adalah seorang santri? Apakah kesantrian beliau kemudian menjadi penghalang untuk menunjukkan sikap ilmiahnya dalam mengupas, menggubah dan menajamkan analisis terhadap karya-karya sastra lama seperti Bharatayuddha, Ramayana Kakawin sampai dengan Dharmasunya? Dan apakah dunia “sastra Jawa yang adiluhung” merupakan suatu domain yang harus “steril” sepanjang perjalanannya dengan menepikan persentuhannya dengan pemikiran dan peradaban lain, termasuk di dalamnya Islam?

            Hal tersebut bukannya memupuk “mosi tidak percaya” kami terhadap dunia sastra Jawa dan lingkungan para pegiatnya, melainkan justru menjadi sebuah cambuk untuk mengupas, menyelidiki dan mendalaminya dengan lebih tlĕsih, lebih-lebih berkaitan dengan dunia wayang sebagai minat kajian kami baik di ranah akademis maupun non-akademis. Bermula dari sebait pembuka Panitisastra tersebut, kami tertarik untuk mempertanyakan dan merenungkan kembali: Di mana sebenarnya titik-titik singgung wayang dan Islam? Masih relevankah wayang dengan Islam saat ini? Bagaimana kita menyikapi wayang dalam kacamata pandang kita sebagai seorang muslim?

            Pertanyaan-pertanyaan yang mengusik hati kami sementara waktu ini, akan coba kami kupas sedikit demi sedikit dalam kesempatan diskusi yang sangat terbatas dan semoga menghasilkan pokok-pokok pemikiran yang bernas. Bertolak dari titik inilah kami akan memulai uraian kami tentang bagaimana wayang bersinggungan dan berdialog dengan dunia Islam dari waktu ke waktu seiring perjalanan peradaban masyarakat Nusantara.

Wayang dalam Zaman Jawa-Hindu

            J.L.A. Brandes pada tahun 1870-an pernah menyebutkan bahwa wayang, seiring dengan sistem astronomi, pertanian, batik dan tata ruang mancapat merupakan bagian dari kebudayaan asli Nusantara. Artinya, wayang telah ada sebelum Mahabharata dan Ramayana datang ke Jawa pada masa masuknya agama Hindu kira-kira di permulaan milenium pertama tarikh Masehi. Dalam pandangan para sarjana Barat, keberadaan pertunjukan wayang pada saat itu tidak lepas dari adanya kepercayaan animisme atau “iman” terhadap energi-energi tak kasatmata yang berpengaruh kepada kehidupan manusia, khususnya para leluhur yang telah tiada dan menyatu dengan kekuatan rohaniah tersebut, dan menjadi daya penggerak bagi manusia untuk melintasi kehidupan dan mengatasi rintangan-rintangan yang dialaminya. Barulah ketika agama Hindu masuk ke Nusantara dan kerajaan-kerajaan berdiri, cerita-cerita epos India dimasukkan dalam pergelaran wayang dan kemudian justru menjadi repertoar utamanya, menggeser cerita-cerita tentang nenek moyang yang jejak-jejaknya dapat kita lihat sekarang, misalnya dalam lakon Dewi Sri atau Makukuhan. Akan tetapi, merujuk kepada prasasti Wukajana dari sekitar abad X Masehi, sisa-sisa “pemujaan nenek moyang” masih dapat dilihat pada ujub (Jawa) atau konteks pementasan wayang: walaupun Si Galigi memainkan wayang (mawayang) dengan cerita Bhima Kumara “Bima di masa muda”, akan tetapi aktivitas mawayang tersebut masih menyebut bwat hyang, “untuk arwah leluhur”, sehingga muncul asumsi bahwa wayang pada saat itu (dan sampai sekarang) adalah bagian dari ritus penting animisme dan tidak pupus walaupun tanah Jawa pada saat itu mulai menganut agama Hindu secara luas. Akan tetapi, dari situ pula timbul pertanyaan: resminya, prasasti Wukajana dianggap dikeluarkan oleh Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dharmodaya Mahasambhu (899-911 M), sementara dalam pengetahuan umum sejarah Sastra Jawa yang kita terima, Dharmawangsa Teguh (991-1007 M) menerbitkan edisi Jawa Kuna dari Wirataparwa (996 M) dan mengklaim bahwa tindakannya demikian adalah untuk mangjawakĕn Byasamata  “men-Jawa-kan pengetahuan sang Byasa/Wyasa, pengarang Mahabharata”. Dengan demikian, terpaut nyaris seabad antara penerbitan serial Mahabharata Jawa Kuna (yang tidak selesai delapan belas parwa, atau setidaknya: belum ditemukan sisanya) dengan pertunjukan wayang dengan cerita tentang sang Bhima, salah satu pahlawan utama dalam Mahabharata dalam upacara sima yang direkam prasasti Wukajana tersebut. Lantas, dari mana sumber cerita Mahabharata tersebut berasal, jika karya sastranya saja lahir jauh lebih kemudian?

            J.J. Ras dalam karyanya yang diterjemahkan oleh Titik Pudjiastuti, “Kesusasteraan dan Masyarakat di Jawa” (2014) menyebutkan bahwa setidaknya ada dua metode penyebaran epos India ke Nusantara: para brahmana menggawangi jalur literasi dan menginspirasi para penguasa untuk menggubah pelbagai karya sastra India ke dalam “rasa Jawa”, sementara para pedagang membawa cerita-cerita lisan yang dikenalnya melalui chayanataka atau permainan bayangan (yakni wayang kulit) dan kemudian “disuntikkan” ke dalam pertunjukan wayang kulit Jawa yang prinsipnya nyaris serupa. Jalur masuk kedua tradisi ini pun, konon, berbeda: sementara para brahmana membawa masuk tradisi pernaskahan Sanskerta yang berkembang luas di India Utara, para pedagang dari India Selatan membawa cerita-cerita lisan Tamil atau versi-versi lokal Mahabharata dan Ramayana, yang kemudian menjadi “cerita wayang” yang terkadang tidak selalu sejalan dengan “versi resmi”nya, sehingga timbullah apa yang sekarang dianggap orang sebagai lakon carangan atau “lakon cabang”.

            Pendapat Ras bahwa wayang kulit mendapat semacam tambahan ide yang menentukan masa depannya dari India ini, selain disetujui, juga ditentang oleh sesama sarjana Barat dengan pelbagai argumen. Ada yang menyatakan bahwa pada saat itu chayanataka sudah punah, walaupun di India Selatan pun timbul berbagai macam pertunjukan wayang seperti Tolubommalatta atau Tholpavaikuthu pada abad-abad kemudian, yang juga mengambil cerita Mahabharata dan Ramayana. Ada pula yang menyatakan bahwa wayang, tidak bisa tidak, lahir setelah adanya karya sastra produksi Keraton, sebab cerita-cerita tersebut pada mulanya dibacakan saja oleh para brahmana, kemudian agar menarik, raja memerintahkan untuk membuat boneka-boneka wayang untuk mementaskannya, sebagaimana yang tertulis dalam Sĕrat Sastramiruda. Terlepas dari perdebatan ini, pendapat Ras tentang adanya dua jalur persebaran epos India ini cukup masuk akal dan dapat diambil manfaatnya untuk menerangkan sengkarut permasalahan wayang yang akan terjadi ratusan tahun sesudahnya.

            Pertunjukan wayang kulit dengan media yang lengkap (ada kĕlir, gamĕlan, boneka wayang yang diukir pada selembar kulit dan adanya dalang yang bercerita) berulangkali disajikan dalam lukisan Kakawin, di antaranya Arjunawiwaha karya Pu Kanwa (1035 M) atau Wrttasancaya karangan Pu Tanakung (kira-kira abad XII Masehi). Adanya gambaran-gambaran pementasan wayang di dalam karya-karya sastra bertema Mahabharata ini sesungguhnya memiliki beberapa implikasi: bisa jadi, bahwa pada saat itu asumsi orang saat berbicara tentang wayang lekat dengan epos India ini karena ialah yang menjadi repertoar utama; atau, di sisi lain, pengalaman kelana para pujangga yang menurut Romo P.J. Zoetmulder tidak jarang harus mengembara untuk mencari kalangwan atau keindahan estetis untuk keperluan karyanya ini, sedikit banyak bersentuhan dengan dunia pakĕliran yang saat itu mestinya juga populer di kalangan masyarakat Jawa. Akan tetapi, hal yang berkebalikan justru terjadi pada zaman Majapahit, bahkan di tengah-tengah masa keemasannya.

            Pada Kakawin Desawarnnana atau yang masyhur disebut Nagarakrtagama karya Pu Prapanca (1365 M), wayang kulit justru tidak disebut-sebut, atau setidaknya, sedikit sekali disebut. Pigeaud (1960) dalam karyanya yang tebal, Java in Fourteenth Century, pernah menukil bahwa pada saat itu wayang kulit dengan cerita Mahabharata dan Ramayana justru tidak populer di kalangan Keraton. Di dalam lingkungan istana, pertunjukan yang sangat populer justru rakĕt yang “dicurigai” mengambil cerita dari roman Panji. Pigeaud menyatakan bahwa walaupun dalam seni rupa, gaya wayang sangat digemari di zaman Majapahit (dan terbukti dari banyaknya candi-candi dari abad ke-XIV Masehi yang dipahat dengan relief bergaya wayang untuk cerita-cerita Mahabharata dan Ramayana) namun dalam kehidupan sehari-hari, pementasan wayang sangat terbatas. Pigeaud menduga bahwa pada saat itu wayang masih “ditabukan” sebagai pertunjukan sekuler, karena kaitannya dengan upacara-upacara magis (di antaranya ruwatan), sehingga seringkali cerita-ceritanya yang memiliki muatan kalĕpasan atau kesempurnaan dipahatkan untuk dapat diziarahi, diresapi dan dihayati di dinding-dinding candi. Ia juga memiliki dugaan lain, bahwa wayang kulit pada masa kejayaan Hayam Wuruk belumlah secanggih kesenian lainnya sehubungan dengan watak dasarnya yang sangat sakral tersebut (less-elaborated), dan dengan demikian menjadi kurang diminati sebagai hiburan umum (bdk. Pigeaud, IV: 516). Pada akhir masa Majapahit, terlepas dari “habisnya” periode pasokan epos India sebagai akibat global shifting yang ditandai dengan berdirinya kesultanan Delhi dan era perang berkepanjangan di anak benua ini, tema-tema wayang kembali menjamur dalam pelbagai karya sastra walau kini muatannya telah berbeda: Jika pada masa-masa awal kehadirannya, sosok para ksatria dalam Mahabharata dan Ramayana digambarkan sebagaimana konteks kepahlawanan dan kewiraannya di India, maka dalam periode ini tokoh-tokoh tersebut menunjukkan ciri-ciri kultural yang lain, di mana ia dapat bersitegang dan bahkan meruwat dewa-dewa Hindu (seperti Sahadewa dalam Kidung Sudamala atau Bhima dalam Nawaruci), dan tidak jarang pula harus berurusan dengan simbol-simbol religiositas lokal Jawa (dalam istilah yang lebih radikal, “agama rakyat”) mulai dari Sĕmar sampai Sang Hyang Tunggal. Berpijak dari hal tersebut, kemudian terjadilah dua arus besar perkembangan sastra wayang dalam peradaban Nusantara: ada aliran preservasi yang oleh cendekiawan Barat dianggap berlangsung dengan masif di Bali (George Coedes [2015] bahkan menyamakannya dengan pelestarian sastra Buddha di Tibet setelah merebaknya kembali kerajaan-kerajaan Hindu di India), dan ada juga “aliran perubahan” yang berkembang pada masa kerajaan-kerajaan Islam di Jawa pada abad-abad selanjutnya.

Wayang pada Zaman Jawa-Islam

            Munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, menurut anggapan sebagian sarjana, adalah “bencana peradaban” yang membawa kemunduran dalam berbagai aspek kehidupan, salah satunya dalam dunia seni dan kebudayaan. Hal tersebut, menurut pendapat ini, disokong dengan fakta bahwa pada abad XVI sampai XVIII, tidak ada perkembangan yang berarti dalam dunia sastra dan kebudayaan, lebih-lebih karena adanya peperangan berkepanjangan pada periode ini, yang tidak memungkinkan sastra, kebudayaan dan kesenian untuk dapat berkembang dengan nyaman dan aman. Andaikata pun ada perkembangan, selalu saja dianggap “tidak mampu menyaingi keluhuran dan kejayaan masa lalu”. Asumsi ini terus ditiupkan dari waktu ke waktu, dan mengakibatkan kajian tentang dunia kesusasteraan, kesenian dan kebudayaan pasca-Majapahit, mengutip gurauan kolega-kolega kami, “tidak terlalu laris”. Berangkat dari narasi Pararaton dan Babad Tanah Jawi, titik balik ini terjadi pada tahun 1400 Saka, bertepatan dengan 1478 Masehi yang ditandai dengan candrasengkala sunya-nora-yuganing-wong atau sirna-ilang-kĕrtaning-bumi. Masing-masing candrasengkala ini dibuat untuk memperingati dua peristiwa yang berbeda: terbunuhnya Bhre Kertabhumi dan naiknya Girindrawardhana sebagai raja Majapahit selanjutnya dengan ibukota di Daha (Kediri), atau runtuhnya Majapahit (versi babad) oleh serangan Raden Patah dan para wali (dalam versi Babad lainnya: juga oleh aliansi putra-putra Brawijaya V yang terancam kedudukannya). Mengingat bahwa Babad Tanah Jawi lebih masyhur di kalangan pembaca Jawa dan sarjana Barat, setidaknya sampai akhirnya Pararaton dan Nagarakrtagama dapat dibaca publik berkat jasa J.L.A. Brandes pada awal abad ke-20, maka asumsi bahwa Raden Patah, Walisanga dan kerajaan Demak sebagai biang keladi keruntuhan Jawa yang agung dan berwibawa (dan tidak pernah dicapai lagi oleh raja-raja sesudahnya) menancap kuat di dalam benak khalayak, bahkan sampai sekarang. Seiring dengan berjalannya waktu, tentu anggapan ini semakin pupus, lebih-lebih ketika semakin banyak bukti-bukti epigrafi maupun naskah yang dapat diakses oleh sarjana-sarjana sastra, arkeologi dan sejarah untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap dan akurat tentang apa yang sedang terjadi pada saat itu. Namun, pada kenyataannya, masih ada sebagian masyarakat kita yang enggan beranjak dari mental template tersebut, dan bahkan hal tersebut mendapatkan justifikasi justru dari perilaku umat Islam sendiri yang sebagian bersikap kontra terhadap budaya dan tradisi lokal, utamanya dengan argumen-argumen yurisprudensi religius yang selalu direproduksi lewat pelbagai media. Bahkan, bisa dibilang, sampai kepada pejabat birokrasi di tingkat nasional pun hampir dapat dipastikan akan lebih percaya cerita tentang Sabdapalon dan Nayagenggong menagih janji, daripada prasasti Jiyu yang dikeluarkan tahun 1486 Masehi sebagai pernyataan politis bahwa Majapahit masih ada.

             Tentu saja, hal ini menjadi sebuah fenomena yang membingungkan (kalau tak boleh disebut menggelikan) bagi para pembelajar sejarah dan sastra Jawa kontemporer. Bahkan, salah-salah, dapat menjerumuskan kita pada asumsi bahwa para pujangga kita sedang melakukan pembodohan besar-besaran melalui penulisan babad pesanan penguasa, walaupun memang sebenarnya tidak perlu dipungkiri bahwa history is his story, sejarah ditulis oleh para pemenang. Namun jika kita telaah lebih dalam, juga mempertimbangkan pendapat Wolfgang Iser tentang nilai kini dan nilai lampau sebuah karya sastra, J.J. Ras (dalam Robson & Grijns, 1986, ed. ) pernah memperingatkan kita bahwa anatomi babad baik sebagai historiografi maupun sebagai puja sastra adalah laksana pedang bermata dua: di samping berfungsi sebagai rekaman atau catatan kejadian-kejadian di masa lalu, babad punya fungsi aktual sebagai media legitimasi politik, juga penanaman ideologi. Lantas, ideologi macam apa yang coba ditanamkan lewat Babad Tanah Jawi yang bersumber dari Babad Agĕng dan Babad Mataram itu?

            Secara ringkas, dapat dirangkum bahwa Babad Tanah Jawi mencampurkan antara tokoh-tokoh mitologi Abrahamik (Adam, Sis, Anwas), Hindu (Sanghyang Guru, Brahma, Wisnu), Jawa (Sanghyang Tunggal, Wĕnang), tokoh-tokoh terkemuka dalam wayang (Arjuna, Abimanyu, Parikesit), legenda lokal (Panji, Kandihawan, Jayalĕngkara), dengan para pelaku sejarah mulai dari Ki Agĕng Pĕmanahan sampai ISKS Pakubuwana II. Dari serangkaian “kronik” ini, menurut Ras, terdapat sebuah pola tertentu tentang kontinuitas dan/atau diskontinuitas kekuasaan, di mana seorang anak lain dari raja yang berkuasa (Bathara Brama, Bondhan Kĕjawan, Sutawijaya, Mas Rangsang, dan pada akhirnya Adipati Pugĕr) pada akhirnya sah menggayuh tahta (atau merebutnya dari putra mahkota) “atas izin Tuhan” walaupun pada praktiknya seringkali terjadi hal-hal yang bertentangan dengan norma politik umum pada saat itu, di antaranya kudeta atau tindakan-tindakan mengarah ke disunity yang tabu karena “merusak tatanan harmonis yang ideal”. Ide-ide politis ini pada akhirnya semakin meluntur dan tidak lagi dipahami oleh para pembaca kontemporer, yang hanya mengambil “bungkus”nya saja, lebih-lebih ketika naskah babad yang tadinya internal ini kemudian dikurasi oleh para sarjana Belanda dan kemudian diterbitkan untuk umum, yang sedari awal tidak sepenuhnya disadarkan dengan konteks penulisan dan penyusunan historiografi tradisional ini. Tak pelak, hal tersebut pada gilirannya justru membuat para pembaca dari internal kaum muslim Indonesia sendiri banyak yang kemudian bersikap antipati atau bahkan sampai kepada taraf ingkar terhadap akar sejarah dan peradabannya sendiri, dan tidak jarang pula ada yang kemudian menulis versi-versinya sendiri sebagai bentuk resistensi terhadap “narasi mainstream” dengan berbagai latar belakang dan tujuan.

            Lantas, apa kaitan hal tersebut dengan wayang? Tentu saja kita tidak boleh melupakan, bahwa bermula dari anggapan Ras di atas, sejak masuknya Mahabharata dan Ramayana dari dua jalur, “brahmana” dan “pedagang”, maka lahir pula dua tradisi: tradisi besar (greater tradition) dan tradisi kecil (lesser tradition). “Tradisi besar” dalam sastra Jawa, menurut Ras, tadinya diinisiasi oleh para brahmana yang berfungsi sebagai mentor raja (purohita), yang kemudian diserap, digubah dan direproduksi lewat para Mpu yang mengabdi kepada raja sebagai pusat ilmu pengetahuan sastra atau kawiswara, yang dalam konteks sekarang perlu kita lihat ulang bukan hanya sebagai pelatih yang berkompeten (walaupun sangat dimungkinkan), melainkan juga patron sekaligus Maecenas (menurut rekan-rekan kami yang fasih berbahasa Perancis, istilah ini makna awalnya adalah “yang mendanai/yang membayari”). “Tradisi kecil”, di pihak lain, tumbuh dan berkembang dengan jalur oral, dengan agen-agen berupa para dalang yang mengembara, juru cerita, atau bahkan para ajar ing rĕdi-rĕdi, para guru yang bermukim di gunung-gunung. Maka tidak heran apabila antara “sastra rakyat” dengan wayang, (sebelum akhirnya kesenian ini masuk kembali ke lingkungan pergaulan istana) sangat lengket. Bukti-bukti sementara yang dapat kami sampaikan di sini berasal dari penelitian rekan-rekan kami yang concern pada naskah-naskah skriptoria Merapi-Merbabu, di mana dalam perjalanan mereka, berulangkali ditemukan beberapa keropak lontar bercerita Mahabharata atau Ramayana baik “versi tradisi besar” atau “versi tradisi kecil”, dan bahkan di desa Kedakan, di lereng barat Merbabu yang masuk wilayah Kabupaten Magelang, keropak-keropak lontar ini disimpan bersama seperangkat wayang kulit gaya Kedhu yang cukup tua, yang ironisnya lebih dikenal di media massa karena isu “dibuat dari kulit manusia” daripada soal kekunaan dan perannya di dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat masa lalu.

            Sebelum melanjutkan pembahasan tentang masalah ini, ada baiknya kita melompat sedikit ke dalam cerita Babad Tanah Jawi maupun cerita-cerita lisan di masyarakat yang mengisahkan tentang bagaimana wayang dalam bentuk modernnya “ditemukan” oleh Sunan Kalijaga (atau dalam versi lain, Sunan Gunungjati) untuk memberikan dasar pemahaman tentang bagaimana mitos tentang wayang terbentuk di benak masyarakat Indonesia sampai saat ini. Rangkuman ceritanya adalah sebagai berikut:

            Dikisahkan, para Wali bermaksud untuk mendirikan masjid besar di Demak sebagai pusat syiar agama Islam. Para Wali pun berpencar ke berbagai penjuru untuk mencari bahan-bahan bangunan masjid, terutama kayu jati sebagai bahan saka guru atau tiang utamanya. Sunan Kalijaga pergi ke hutan (dalam Babad Selahardi disebut: hutan Wanapringga) dan bertemu dengan seorang tua yang mengaku bernama Puntadewa atau Darmakusuma, raja Ngamarta, sulung dari lima Pandawa bersaudara. Prabu Puntadewa tidak dapat mati sebelum ada yang dapat membaca Jimat Kalimasada yang dibawanya, dan ternyata hanya Sunan Kalijaga-lah yang mampu. Setelah diterangkan bahwa Jimat Kalimasada berisi kalimah syahadat, persaksian tentang Allah dan Muhammad sebagai kredo keimanan utama dalam Islam, Puntadewa kemudian masuk Islam dan diberi nama Syekh Jambukarang. Tidak lama kemudian, ia pun wafat. Sunan Kalijaga memakamkannya di Wanapringga. Karena terkesan dengan perjumpaannya menemui sulung Pandawa itu, Sunan Kalijaga lantas mengenangnya dalam bentuk pementasan wayang kulit dalam rangka pembukaan masjid Demak, sekaligus sebagai syiar agama Islam kepada masyarakat Jawa yang saat itu sangat menggemari dan mengkeramatkan wayang. Hanya saja, bentuk wayangnya yang diubah sehingga tidak menyamai rupa manusia secara realis, serta dimuati berbagai macam ajaran tentang Islam di antaranya ada punakawan bernama Semar-Gareng-Petruk-Bagong (samiir khairan watruk baghyan—bersegeralah dalam kebaikan dan tinggalkanlah hawa nafsu atau pelanggaran), dan sebagainya.

            Dalam kronik lain yang terekam dalam lakon wayang golek cepak Cirebon “Yudistira Merad”, kisahnya sebagai berikut:

Diceritakan, Yudistira atau Puntadewa kebingungan karena tidak dapat muksa atau mencapai kesempurnaan kematian. Ia berkelana sampai ke Gunung Amparan Jati dan bertemu dengan Syarif Durrahman (Sunan Gunungjati), di mana ia membaca Jimat Kalimasada (sama seperti versi pertama) namun Syarif Durrahman kemudian mencoba menggores-gores sketsa wujud Yudistira secara abstrak dengan pusakanya, pisau lading pangot pĕnurat jagad. Pada akhirnya, Yudistira wafat dan sketsa tersebut dibawa ke Cirebon untuk diolah lagi menjadi bentuk stilasi wayang purwa yang ada sekarang.

            Tentu saja, cerita-cerita ini jika disandingkan dengan kenyataan akademis sekarang akan menjadi tidak relevan. Lebih-lebih setelah Perpustakaan Universitas Leiden merilis beberapa hasil pindai digital naskah Kalimasada atau Kalimahosada dari Bali untuk konsumsi publik, yang ternyata merupakan lontar pengobatan yang bersifat magi “putih” (white magic) berlatar agama Hindu yang memuja Siwa dan juga Durga, alih-alih memuat Kalimah Syahadat di dalamnya sebagaimana pemahaman masyarakat Jawa Islam pada umumnya sampai saat ini. Keberadaan Darmakusuma sebagai Puntadewa, sulung Pandawa pun, dibantah dalam naskah Sĕrat Kaki Walaka yang disimpan oleh keluarga besar keturunan Sunan Kalijaga di Kadilangu, Demak, Jawa Tengah. Dalam naskah tersebut (yang diterjemahkan oleh alm. Astuti Hendrato-Darmosoegito), dijelaskan bahwa sosok Sudarmakusuma yang ditemui oleh Sunan Kalijaga bukanlah Darmakusuma Puntadewa, melainkan penguasa Hindu dari selatan Jawa (sekitar Klaten, Jawa Tengah, sekarang), yang setelah masuk Islam diberi nama Ki Agĕng Jantikoripan. Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, masihkah dongeng ini dapat kita anggap relevan untuk argumentasi dan legalitas wayang sebagai sarana dakwah Islam? Jika tidak, maka apa manfaat dan makna terselubung yang bisa diambil dari dongeng ini?

            Dongeng ini rupanya termuat pula dalam Sĕrat Cĕnthini (1815 M) pupuh XLV Asmaradana, XLVI Pangkur bait 1-41, serta pupuh XLVII Maskumambang 1-50, yang secara ringkas dapat diceritakan sebagai berikut.

Dikisahkan bahwa Prabu Satmata di Giri Gajahpura (Sunan Giri) memerintahkan Raden Patah untuk babat alas atau membuka hutan Glagahganda (Glagahwangi) sebagai basis pemerintahannya, setelah ia diakui sebagai anak oleh Prabu Brawijaya. Para wali pun ikut mendampingi proses pembukaan hutan tersebut beramai-ramai, dengan harapan agar kawula Majapahit yang beragama Islam dapat lebih leluasa hidup di sana. Akan tetapi, sebuah keanehan terjadi:  setiap kali hutan ditebang, maka keesokan harinya pohon-pohon yang telah ambruk kembali berdiri (binababat enjing rêsik | sontênipun angrêmbaka | awit sontên pababate | enjing pulih angrêmbaka | tan ana pedahira | kadya dhinangir rinabuk | kawêkèn kang nambutkarya ||). Ternyata, setelah diteliti oleh Sunan Giri, di tengah hutan Glagahwangi ada seorang tua yang sedang bertapa, dan Seh Malaya-lah yang diminta untuk menyelesaikan permasalahan ini. Rupanya, sang pertapa itu adalah Puntadewa, Yudistira atau Darmakusuma, yang tidak dapat turut musnah di dalam api pembakaran (pancaka) bersama para Pandawa sebab masih membawa jimat Kalimasada. Seh Malaya lalu membimbing Yudistira untuk membaca Kalimasada tersebut, yang ternyata di dalamnya memuat kalimat syahadat sebagai tanda persaksian atas kebenaran agama Islam. Setelah Yudistira dituntun membaca kalimat syahadat, maka ia berterimakasih dan memberikan hadiah berupa lima buah keropak lontar: tiga keropak bergambar masing-masing Prabu Baladewa, Kresna dan Werkudara sebagai babon gambar wayang, sementara dua keropak berisi lakon wayang: pernikahan Arjuna dengan Subadra (Parta Krama) dan peperangan Pandawa dengan Kurawa (Bharatayuddha). Setelah mewariskan keropak lontar tersebut, Yudistira pun wafat dan dimakamkan di ujung pekarangan (ulon-ulon) yang akan didirikan masjid Demak. Setelah itu barulah proses pembukaan hutan berlangsung lancar tanpa halangan, dan para wali mengenang kejadian tersebut dengan menggelarkan wayang purwa yang dibuat berdasarkan gambar keropak tersebut di atas media kulit kerbau.

            Uraian Sĕrat Cĕnthini ini pun, sekilas seakan-akan hanya othak-athik gathuk saja, bahkan dapat dianggap sebagai dongeng fantasi. Akan tetapi, jika kita mengingat kembali fungsi mitologi tidak hanya sebagai penjelas asal-mula sesuatu namun juga alat penyimpan informasi sosiokultural masyarakat, dapat kita pahami bahwa dongeng ini mengandung pula berbagai keterangan yang menarik seputar perkembangan Islam di Jawa pada akhir abad XV. Bagi kalangan muballigh dan budayawan yang menyenangi kupasan kode (decoding) dalam folklore, tentu dengan mudah dapat membaca beberapa isyarat yang terkandung dalam dongeng ini:

            Pertama, adanya hutan Glagahwangi yang setiap kali ditebang selalu tumbuh lagi: bahwa proses syiar Islam oleh para Wali, walaupun dijalankan dengan damai sekalipun mengalami perlawanan atau resistensi dari masyarakat setempat, lebih-lebih daerah tersebut masih belum dirambah kegiatan dakwah, sehingga diibaratkan sebagai alas gung liwang-liwung atau hutan belantara, bahasa Latinnya “terra nostra” atau “tanah tak dikenal”.

            Kedua, keberadaan Yudhistira, sulung dari Pandawa yang membawa jimat jamus Kalimasada: hal ini menyimbolkan keberadaan “agama rakyat” atau tradisi kecil yang masih dipegang teguh oleh masyarakat, salah satunya dengan keberadaan pergelaran wayang sebagai alat ritual, jadi bukan Yudhistira sebagai person yang sebenarnya. Istilah Kalimahosada ataupun jimat jamus sendiri, dua-duanya bukanlah suatu topik pembahasan yang asing dalam sastra Jawa Pertengahan: sementara Kalimahosada merupakan “magi putih”, jimat jamus atau pustaka hirĕng sendiri disebut-sebut dalam lontar Bhimaswarga yang ditulis pada abad ke-XVI di Bali, skriptoria Merapi-Merbabu di Jawa Tengah maupun kabuyutan-kabuyutan Jawa Barat, sebagaimana yang telah diteliti oleh Saudara Aditia Gunawan dari Perpustakaan Nasional RI. Kalimahosada yang dibuka berisi kalimat syahadat, tentu saja tidak dapat kita terima mentah-mentah, berhubung redaksional naskahnya telah diunggah dan dapat diakses hasil transliterasinya oleh umum. Salah satu jalan yang mungkin dapat ditempuh adalah menafsirkan bahwa isi teks Kalimahosada maupun pustaka hirĕng secara nilai universal tidak bertentangan dengan Islam, sehingga masuknya Islam pun dapat diterima dengan lebih lancar di masyarakat Jawa dengan menggunakan qawaid “muhafadzatul-qadimush-shalih, wa akhdzul jadid al-ashlah” (mempertahankan tradisi lama yang baik, dan mengadakan tradisi baru yang lebih baik) yang merupakan salah satu ciri akidah ahlussunnah wal jama’ah yang bertahan di kalangan Islam tradisional sampai sekarang

            Ketiga, Yudistira dapat wafat, dan jenazahnya dimakamkan di sudut pekarangan masjid Demak: bahwa berdirinya komunitas Islam di Jawa tidak dapat dilepaskan dan tetap menghargai nilai-nilai luhur yang telah lama ada dan diwarisi utamanya dari “agama rakyat” yang telah lama dianut, dan jasad Yudistira yang dijadikan sarat srana untuk membabat hutan Glagahwangi menjadi simbol terbukanya jalan hidayah bagi warga setempat untuk menerima syiar Islam ialah dengan pendekatan akhlak dan adab, tidak hanya melulu melalui pendekatan fikih yang lebih rigid.

            Di luar penafsiran tentang simbol-simbol yang ada dalam cerita “Yudistira bertemu Sunan Kalijaga” tersebut, secara historis dan kultural ada beberapa hal yang patut dicermati dan disoroti melalui jalur akademis, di antaranya:

            Pertama, hadirnya sosok Yudistira sebagai representasi dari Pandawa, bukan dewa-dewa dari pantheon Hindu, sebagai personifikasi atau lambang “agama lama” mencerminkan fenomena religius yang terjadi pada abad XV-XVI Masehi di gunung-gunung suci Majapahit, baik Penanggungan maupun Lawu. Dalam kompleks-kompleks percandian tersebut, ditemukan bahwa kultus pemujaan telah bergeser dari dewa-dewa semata menjadi juga melibatkan tokoh-tokoh pahlawan seperti Bima, Arjuna dan bahkan Sĕmar, atau juga Panji dan Brajanata dari roman Panji, yang dipercaya oleh Prof. Dr. Agus Aris Munandar dari Universitas Indonesia sebagai perwujudan Hayam Wuruk dan Gajahmada. Tokoh-tokoh ini dipuja di gunung-gunung, barangkali diinisiasi juga oleh kalangan brahmana yang bersentuhan langsung dengan rakyat, salah satunya dengan harapan agar kehadiran mereka, atau setidak-tidaknya reinkarnasi atau minimal energinya, dapat meredam nasib buruk yang menimpa Majapahit lewat serangkaian peperangan dan perebutan kekuasaan pasca-wafatnya Patih Gajahmada pada sekitar tahun 1364 Masehi. Ringkasnya, merujuk kepada pendapat Aris Munandar, bahwa dalam dekade-dekade tersebut telah berkembang gerakan mileniarisme dalam arus bawah masyarakat Majapahit, sebagai reaksi ketidakpuasan atas konflik politik yang terus-menerus dialami oleh kaum elitenya.

            Kedua, disebutnya warisan Yudistira berupa keropak bercerita dan bergambar menegaskan, bahwa dalam tradisi kepujanggaan Surakarta Sunan Kalijaga dipandang bukan sebagai pencipta wayang pertama, melainkan menerima warisan intelektual dari kaum cendekiawan sebelumnya, sebagai modal sosial dan kultural untuk melaksanakan dakwah Islamiyah. Masalah keropak dalam dongeng ini pun menjelaskan bagaimana proses preservasi ilmu pengetahuan berlangsung dalam lingkungan masyarakat Jawa di masa transisi, di mana tradisi tulis menjadi sesuatu hal yang sangat berharga dan disakralkan dalam tatanan sosial masyarakat pasca-Majapahit, karena watak dasarnya sebagai alat dokumentasi dan pewarisan ilmu pengetahuan tentang apapun. Hal itulah kiranya yang mendorong terjadinya kerja kesusasteraan besar-besaran di dalam dinasti Mataram, mulai dari era Sultan Agung yang menyalin naskah-naskah Pesisir dari Giri, Pakubuwana III yang mendatangkan lontar-lontar Jawa Kuna dari Madura yang memicu masa renaisans sastra Jawa di Surakarta, sampai dengan Raden Ngabehi Ranggawarsita yang, menurut pengakuannya sendiri, berburu dan menyalin lontar sampai ke Bali sebagai bahan tulisan-tulisannya yang sampai kepada kita hari ini. Hal ini kiranya membantah bayangan sebagian orang, bahwa di Jawa tidak terjadi kegiatan pelestarian seperti di Bali pada abad XVI-XVII, sebab dari keterangan-keterangan tersebut, di samping adanya perubahan suasana keagamaan dan politik yang kadang kurang stabil, kerja intelektual para pujangga dan elite kesusasteraan di Jawa setelah datangnya Islam pun dapat dibilang cukup marak.

            Ketiga, cerita tentang para wali menciptakan wayang dengan bentuk yang distilasi, dalam hemat kami juga menyimpan beberapa rekaman sejarah sosial dan kebudayaan masyarakat pada waktu itu. Selain adanya keperluan dharuri untuk menghindari adanya representasi bentuk makhluk hidup (lihat beberapa relief Ramayana di makam Mantingan yang menunjukkan gejala stilasi makhluk hidup ke dalam bentuk lung-lungan), beberapa seniman Jawa menyatakan bahwa bentuk stilasi wayang lebih lanjut merupakan sebuah refleksi pergeseran fungsi dan perannya dalam masyarakat dari sebuah seni ritual yang bersifat sakral dan intim ke arah seni publik yang melibatkan massa, sesuai dengan karakter “misionaris” Islam yang dibawa oleh para Wali di abad ke-XVI Masehi. Terkait dengan masalah stilasi, sebuah artikel jurnal Arts Asiatiques terbitan EFEO karya Hélène Njoto (2018) yang membahas tentang figur-figur “singabarong” (feline figures) di makam-makam wali dan situs-situs kerajaan Islam awal di Jawa Timur dan Cirebon menunjukkan bahwa para pangeran-ulama di pesisir Jawa ini sedikit banyak memiliki hubungan kekerabatan dengan bangsa China secara langsung (yang menurut Njoto, agak kurang bukti) maupun bangsa-bangsa yang menduduki kawasan Indochina (Vietnam), yang tentu mengarahkan asumsi kita pada cerita tradisional tentang Raden Rahmat dan kerabatnya yang datang dari Campa (Kampong Cham), sebuah komunitas Melayu-Muslim di Vietnam yang tersingkir karena peperangan. Berdasarkan penelitian ini, keberadaan ragam hias stilistik yang serba meliuk, luwes dan terdistorsi bukan hanya bermaksud sebagai penyamaran makhluk hidup, namun juga sebagai bentuk akhdzul jadid al-ashlah, di mana dalam proses asimilasinya ke dalam masyarakat Jawa, para elite Muslim berdarah campuran di Pesisir ini mencoba “menjadi Jawa” dengan cara mengembangkan kebudayaannya sendiri yang bersifat hibrid, sebagai bentuk persaingan untuk meraih legitimasi politik dan kebudayaan dengan para penguasa pedalaman yang merupakan “pribumi” dan “Hindu”.

            Arah angin pun berubah ketika jejaring para penguasa berdarah campuran di Pesisir ini tereliminasi pada tahun 1550-an pasca-wafatnya Sultan Trenggana. Para penguasa pedalaman yang telah juga memeluk Islam, mulai dari Adiwijaya di Pajang (1549-1582) sampai dengan raja-raja Mataram yang muncul juga dari sebuah cabang keluarga yang lain, berhasrat pula memenangkan kompetisi kebudayaan ini. Dalam serangkaian penaklukan yang dilaksanakan terhadap kerajaan-kerajaan tua di Jawa oleh Mataram, upaya menggayuh supremasi budaya pun tidak terluput dari agenda politik para penguasanya, terutama Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1646). Dalam pentalogi Mataram karyanya, H.J. De Graaf menyatakan bahwa setidaknya terjadi dua kali “penaklukan kultural” oleh Mataram: yang pertama adalah tunduknya Cirebon tahun 1619 yang membawa serta gelombang para seniman, arsitek dan budayawan ke lingkungan keraton Mataram, serta penaklukan Surabaya tahun 1625 yang membawa serta pewaris kerajaan Pesisir ini, Pangeran Pekik, ke dalam keluarga inti raja-raja Mataram berikut produk-produk budaya yang diwarisinya dari para leluhur: mulai dari kesusasteraan Jawa klasik sampai dengan kesenian. Wayang gĕdhog dan wayang krucil dengan cerita Panji, menurut babad, dibawa masuk ke Mataram juga atas jasa putra mahkota Surabaya yang selamat dari kobaran api peperangan ini. Pada periode ini, fungsi wayang pun telah bergeser dari sarana dakwah menjadi alat legitimasi di bidang politik dan kebudayaan, yang kiranya tidak perlu dibicarakan lebih lanjut karena akan melebar ke ruang pembahasan yang lain.

Bersambung…



Rudy Wiratama

Penulis

dhadhaptulak90@gmail.com

eyJtYXBfb3B0aW9ucyI6eyJjZW50ZXJfbGF0IjoiLTcuODA1MTM1NjcxOTUxNTUzIiwiY2VudGVyX2xuZyI6IjExMC4zNjQyMTM4Mjg3MzQ2NiIsInpvb20iOjEwLCJtYXBfdHlwZV9pZCI6IlJPQURNQVAiLCJmaXRfYm91bmRzIjp0cnVlLCJkcmFnZ2FibGUiOnRydWUsInNjcm9sbF93aGVlbCI6dHJ1ZSwiZGlzcGxheV80NV9pbWFnZXJ5IjoiIiwibWFya2VyX2RlZmF1bHRfaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL1wvZGVmYXVsdF9tYXJrZXIucG5nIiwiaW5mb3dpbmRvd19zZXR0aW5nIjoiPGRpdiBjbGFzcz1cImZjLWl0ZW0tYm94IGZjLWl0ZW1jb250ZW50LXBhZGRpbmcgXCI+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS10aXRsZVwiPnttYXJrZXJfdGl0bGV9IDxzcGFuIGNsYXNzPVwiZmMtYmFkZ2UgaW5mb1wiPnttYXJrZXJfY2F0ZWdvcnl9PFwvc3Bhbj48XC9kaXY+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1jb250ZW50IGZjLWl0ZW0tYm9keS10ZXh0LWNvbG9yXCI+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1mZWF0dXJlZCBmYy1sZWZ0IGZjLWl0ZW0tdG9wX3NwYWNlXCI+XG4gICAgICAgICAgICB7bWFya2VyX2ltYWdlfVxuICAgICAgICA8XC9kaXY+XG48cD4gICAgICAgIHttYXJrZXJfbWVzc2FnZX1cbiAgICA8XC9wPjxcL2Rpdj5cbjxhZGRyZXNzIGNsYXNzPVwiZmMtdGV4dFwiPnttYXJrZXJfYWRkcmVzc308XC9hZGRyZXNzPlxuPFwvZGl2PlxuIiwiaW5mb3dpbmRvd19ib3VuY2VfYW5pbWF0aW9uIjoiY2xpY2siLCJpbmZvd2luZG93X2Ryb3BfYW5pbWF0aW9uIjpmYWxzZSwiY2xvc2VfaW5mb3dpbmRvd19vbl9tYXBfY2xpY2siOmZhbHNlLCJpbmZvd2luZG93X3NraW4iOnsibmFtZSI6ImRlZmF1bHQiLCJ0eXBlIjoiaW5mb3dpbmRvdyIsInNvdXJjZWNvZGUiOiI8ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1ib3ggZmMtaXRlbWNvbnRlbnQtcGFkZGluZyBcIj5cclxuICAgIDxkaXYgY2xhc3M9XCJmYy1pdGVtLXRpdGxlXCI+e21hcmtlcl90aXRsZX0gPHNwYW4gY2xhc3M9XCJmYy1iYWRnZSBpbmZvXCI+e21hcmtlcl9jYXRlZ29yeX08XC9zcGFuPjxcL2Rpdj5cclxuICAgIDxkaXYgY2xhc3M9XCJmYy1pdGVtLWNvbnRlbnQgZmMtaXRlbS1ib2R5LXRleHQtY29sb3JcIj5cclxuICAgICAgICA8ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1mZWF0dXJlZCBmYy1sZWZ0IGZjLWl0ZW0tdG9wX3NwYWNlXCI+XHJcbiAgICAgICAgICAgIHttYXJrZXJfaW1hZ2V9XHJcbiAgICAgICAgPFwvZGl2PlxyXG4gICAgICAgIHttYXJrZXJfbWVzc2FnZX1cclxuICAgIDxcL2Rpdj5cclxuICAgIDxhZGRyZXNzIGNsYXNzPVwiZmMtdGV4dFwiPnttYXJrZXJfYWRkcmVzc308XC9hZGRyZXNzPlxyXG48XC9kaXY+In0sImRlZmF1bHRfaW5mb3dpbmRvd19vcGVuIjpmYWxzZSwiaW5mb3dpbmRvd19vcGVuX2V2ZW50IjoiY2xpY2siLCJmdWxsX3NjcmVlbl9jb250cm9sIjpmYWxzZSwic2VhcmNoX2NvbnRyb2wiOnRydWUsInpvb21fY29udHJvbCI6dHJ1ZSwibWFwX3R5cGVfY29udHJvbCI6ZmFsc2UsInN0cmVldF92aWV3X2NvbnRyb2wiOmZhbHNlLCJmdWxsX3NjcmVlbl9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJzZWFyY2hfY29udHJvbF9wb3NpdGlvbiI6IlRPUF9MRUZUIiwiem9vbV9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfdHlwZV9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfdHlwZV9jb250cm9sX3N0eWxlIjoiSE9SSVpPTlRBTF9CQVIiLCJzdHJlZXRfdmlld19jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfY29udHJvbCI6dHJ1ZSwibWFwX2NvbnRyb2xfc2V0dGluZ3MiOmZhbHNlLCJtYXBfem9vbV9hZnRlcl9zZWFyY2giOjYsIndpZHRoIjoiIiwiaGVpZ2h0IjoiMzMwIn0sInBsYWNlcyI6W3siaWQiOiIxIiwidGl0bGUiOiJLZXJhdG9uIiwiYWRkcmVzcyI6IktlcmF0b24gSm9namEiLCJzb3VyY2UiOiJtYW51YWwiLCJjb250ZW50IjoiS2VyYXRvbiBOZ2F5b2d5YWthcnRhIEhhZGluaW5ncmF0IGF0YXUgS2VyYXRvbiBZb2d5YWthcnRhIG1lcnVwYWthbiBpc3RhbmEgcmVzbWkgS2VzdWx0YW5hbiBOZ2F5b2d5YWthcnRhIEhhZGluaW5ncmF0IHlhbmcga2luaSBiZXJsb2thc2kgZGkgS290YSBZb2d5YWthcnRhLiBLZXJhdG9uIGluaSBkaWRpcmlrYW4gb2xlaCBTcmkgU3VsdGFuIEhhbWVuZ2t1YnV3YW5hIEkgcGFkYSB0YWh1biAxNzU1IHNlYmFnYWkgSXN0YW5hXC9LZXJhdG9uIFlvZ3lha2FydGEgeWFuZyBiYXJ1IGJlcmRpcmkgYWtpYmF0IHBlcnBlY2FoYW4gTWF0YXJhbSBJc2xhbSBkZW5nYW4gYWRhbnlhIFBlcmphbmppYW4gR2l5YW50aS4gS2VyYXRvbiBpbmkgYWRhbGFoIHBlY2FoYW4gZGFyaSBLZXJhdG9uIFN1cmFrYXJ0YSBIYWRpbmluZ3JhdCBkYXJpIE1hdGFyYW0gSXNsYW0gU3VyYWthcnRhIChLZXJhamFhbiBTdXJha2FydGEpLiBTZWhpbmdnYSBkaW5hc3RpIE1hdGFyYW0gZGl0ZXJ1c2thbiBvbGVoIDIgS2VyYWphYW4geWFrbmkgS2VzdWx0YW5hbiBZb2d5YWthcnRhIGRhbiBLZXN1bmFuYW4gU3VyYWthcnRhLiBUb3RhbCBsdWFzIHdpbGF5YWgga2VzZWx1cnVoYW4ga2VyYXRvbiB5b2d5YWthcnRhIG1lbmNhcGFpIDE0NCBoZWt0YXIsIHlha25pIG1lbGlwdXRpIHNlbHVydWggYXJlYSBkaSBkYWxhbSBiZW50ZW5nIEJhbHV3YXJ0aSwgYWx1bi1hbHVuIExvciwgYWx1bi1hbHVuIEtpZHVsLCBnYXB1cmEgR2xhZGFrLCBkYW4ga29tcGxla3MgTWFzamlkIEdlZGhlIFlvZ3lha2FydGEuIFNlbWVudGFyYSBsdWFzIGRhcmkga2VkaGF0b24gKGludGkga2VyYXRvbikgbWVuY2FwYWkgMTMgaGVrdGFyLiAiLCJsb2NhdGlvbiI6eyJpY29uIjoiaHR0cHM6XC9cL2phbmdrYWguaWRcL3dwLWNvbnRlbnRcL3BsdWdpbnNcL3dwLWdvb2dsZS1tYXAtcGx1Z2luXC9hc3NldHNcL2ltYWdlc1wvXC9kZWZhdWx0X21hcmtlci5wbmciLCJsYXQiOiItNy44MDUxMzU2NzE5NTE1NTMiLCJsbmciOiIxMTAuMzY0MjEzODI4NzM0NjYiLCJjaXR5IjoiWW9neWFrYXJ0YSIsInN0YXRlIjoiRGFlcmFoIElzdGltZXdhIFlvZ3lha2FydGEiLCJjb3VudHJ5IjoiSW5kb25lc2lhIiwib25jbGlja19hY3Rpb24iOiJtYXJrZXIiLCJyZWRpcmVjdF9jdXN0b21fbGluayI6IiIsIm1hcmtlcl9pbWFnZSI6IjxkaXYgY2xhc3M9J2ZjLWZlYXR1cmUtaW1nJz48aW1nIGxvYWRpbmc9J2xhenknIGRlY29kaW5nPSdhc3luYycgYWx0PSdLZXJhdG9uJyBzcmM9J2h0dHBzOlwvXC91cGxvYWQud2lraW1lZGlhLm9yZ1wvd2lraXBlZGlhXC9jb21tb25zXC90aHVtYlwvM1wvMzNcL0tyYXRvbl9Zb2d5YWthcnRhX1BhZ2VsYXJhbi5qcGdcLzEwMjRweC1LcmF0b25fWW9neWFrYXJ0YV9QYWdlbGFyYW4uanBnJyBjbGFzcz0nd3BnbXBfbWFya2VyX2ltYWdlIGZjLWl0ZW0tZmVhdHVyZWRfaW1hZ2UgZmMtaXRlbS1sYXJnZScgXC8+PFwvZGl2PiIsIm9wZW5fbmV3X3RhYiI6InllcyIsInBvc3RhbF9jb2RlIjoiIiwiZHJhZ2dhYmxlIjpmYWxzZSwiaW5mb3dpbmRvd19kZWZhdWx0X29wZW4iOmZhbHNlLCJhbmltYXRpb24iOiJCT1VOQ0UiLCJpbmZvd2luZG93X2Rpc2FibGUiOnRydWUsInpvb20iOjUsImV4dHJhX2ZpZWxkcyI6IiJ9LCJjYXRlZ29yaWVzIjpbeyJpZCI6IiIsIm5hbWUiOiIiLCJ0eXBlIjoiY2F0ZWdvcnkiLCJleHRlbnNpb25fZmllbGRzIjpbXSwiaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL1wvZGVmYXVsdF9tYXJrZXIucG5nIn1dLCJjdXN0b21fZmlsdGVycyI6IiJ9XSwic3R5bGVzIjoiIiwibGlzdGluZyI6IiIsIm1hcmtlcl9jbHVzdGVyIjp7ImdyaWQiOiIxNSIsIm1heF96b29tIjoiMSIsImltYWdlX3BhdGgiOiJodHRwczpcL1wvamFuZ2thaC5pZFwvd3AtY29udGVudFwvcGx1Z2luc1wvd3AtZ29vZ2xlLW1hcC1wbHVnaW5cL2Fzc2V0c1wvaW1hZ2VzXC9tIiwiaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL2NsdXN0ZXJcLzQucG5nIiwiaG92ZXJfaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL2NsdXN0ZXJcLzQucG5nIiwiYXBwbHlfc3R5bGUiOmZhbHNlLCJtYXJrZXJfem9vbV9sZXZlbCI6IjEifSwibWFwX3Byb3BlcnR5Ijp7Im1hcF9pZCI6IjEiLCJkZWJ1Z19tb2RlIjpmYWxzZX19

Daksinargastuti, Menyenandungkan Kembali Syair-syair Kuno Yogyakarta

Daksinargastuti merupakan kegiatan Komunitas Jangkah Nusantara yang meliputi pemetaan, preservasi naskah kuno, bengkel sastra-aksara dan macapat, serta alih aksara manuskrip.
Lihat Rekaman Baca Pengantar
poster diskusi