Pustaka

Manurung: Jarak antara Bangsawan dan Budak adalah Puisi

Keberadaan La Galigo sebagai karya sastra Bugis cukup berjarak dengan masyarakat. Kita akan segera menyadari ini saat mengetahui bahwa hanya segelintir orang saja yang mampu membacanya. Sebagian dari mereka bahkan tidak hidup lagi. Jangankan di masa sekarang, masa saat La Galigo pada abad ke-19 dikumpulkan pun kesulitan ini telah

Minggu, 24 Juli 2022

334 Kali

2 Kali

11 Menit

Keberadaan La Galigo sebagai karya sastra Bugis cukup berjarak dengan masyarakat. Kita akan segera menyadari ini saat mengetahui bahwa hanya segelintir orang saja yang mampu membacanya. Sebagian dari mereka bahkan tidak hidup lagi. Jangankan di masa sekarang, masa saat La Galigo pada abad ke-19 dikumpulkan pun kesulitan ini telah dirasakan.

Lahir sebagai orang Bugis, tidak membuat saya serta merta mengetahui La Galigo. Saya tidak dibesarkan oleh orang tua yang memiliki minat budaya yang tinggi. La Galigo hanya beberapa kali saya dengar dan hanya mengetahui nama Sawerigading. Saya bahkan tidak mengetahui bahwa La Galigo adalah nama tokoh dalam cerita La Galigo.

Lalu berjumpalah saya dengan Manurung, puisi Faisal Oddang yang pernah masuk lima besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2018. Inilah pertemuan pertama saya dengan La Galigo, meski sebenarnya pertemuan itu bukan pertemuan langsung.

Membaca Manurung tidak bisa disamakan begitu saja dengan membaca La Galigo. Bagi saya, Manurung adalah jembatan yang menghubungkan saya dengan La Galigo. Jarak yang begitu jauh seolah bisa dipangkas oleh Manurung. Namun, itu bukan berarti kita tidak akan tersesat ketika membaca Manurung. Memang pada beberapa bagian kita dituntut untuk tahu paling tidak garis umum cerita La Galigo.

Kisah yang bersifat epis-mitologis itu menceritakan pengalaman dan petualangan enam generasi keturunan dewa-dewa dunia atas (Boting Langiq) dan dunia bawah (Pérétiwi). Tokoh-tokoh Sureq Galigo pada umumnya tidak muncul dalam karya-karya sastra Bugis lain. Suatu kekecualian adalah Sangiang Serri, anak Batara Guru yang setelah meninggal dunia menjadi dewi padi. Beliau merupakan pelaku utama dalam Méong mpalo karellaé, (‘Cerita kucing belang’) Sawérigading, tokoh utama La Galigo, kadang-kadang muncul juga dalam cerita-cerita lisan. Tema yang menonjol dalam seluruh cerita La Galigo ialah perkawinan dan pencarian jodoh yang pantas dan sederajat, di samping pelayaran jauh dan cerita perang (Toa, 2017, pp. 3–4).

Faisal berhasil membawa epos La Galigo lebih dekat dengan masyarakat (pembaca) dari aspek penggunaan bahasa. La Galigo diketahui sebagai epos yang menggunakan bahasa Bugis kuno. Menurut Sirtjo Koolhof, seorang peneliti kebudayaan Bugis-Makassar, bahasa yang digunakan dalam La Galigo bukanlah bahasa yang digunakan sehari-hari. Bahasa yang digunakan lebih kuno. Ada kekhasan juga yang menjadi pembeda antara La Galigo dengan karya sastra Bugis lain dari segi penggunaan bahasa.

Saya akan menampilkan pendapat Koolhof tentang ini:

Bahasa yang digunakan dalam teks La Galigo cukup berbeda dari bahasa sehari-hari. Bahasa Bugis kuno, bahasa Galigo, bahasa nenek-moyang (basa to ri olo), bahasa sureq adalah beberapa nama yang biasanya digunakan. Perbedaan yang paling menonjol dengan bahasa Bugis sehari-hari terdapat dalam kosa kata, bukan dalam tata bahasanya yang hampir sepadan. Banyak kata dan istilah merupakan ciri khas La Galigo, walaupun sebagian kosa kata itu juga dapat ditemukan dalam karya sastra lain seperti toloq, nyanyian bissu atau élong (Koolhof 2007:181, 2008:334). Selain kata-kata yang tidak diketahui artinya lagi oleh masyarakat umum, ciri bahasa Galigo adalah pemakaian sinonim dalam jumlah yang cukup banyak. Misalnya untuk melambangkan konsep ‘emas’ ada sekitar 20 sinonim.

Pada tingkat frase dan kalimat, bahasa Galigo itu bercirikan pemakaian formula dan paralelisme. Formula adalah frase atau kalimat yang sering muncul dalam teks untuk mengungkapkan salah satu konsep tertentu dan yang dipakai dalam konteks yang sama. Kata-katanya tetap sama atau hampir sama. Paralelisme sebenarnya adalah sejenis formula yang di dalamnya sebuah makna diulangi dua atau tiga kali, biasanya dengan struktur sintaktis yang sama pula.

Paling tidak kita telah mendapat gambaran umum tentang bentuk bahasa yang digunakan dalam La Galigo di sini. Artinya, ada jarak pemahaman bahasa yang memisahkan La Galigo dengan masyarakat Bugis pada saat itu.

Jarak inilah yang dipangkas oleh Faisal. Kita akan cukup akrab dengan penggunaan bahasa pada Manurung. Beginilah Faisal membuka puisinya:

Kalian tidak tahu nama kami dan tidak mengenal siapa kami. Kami lahir bukan untuk dikenali, bukan untuk sebuah nama. Namun, kalian tahu, kami yang kalian sembelih untuk sejumlah upacara. Darah kami yang telah kalian usapkan pada sebatang pohon yang akan dipahat menjadi perahu.

Membaca tiga bait dari potongan puisi berjudul Prolog di atas langsung membuat kita mengerti bahwa ini adalah puisi naratif. Sebagai puisi naratif, kata yang digunakan tidak terlalu berjarak dengan pembaca. Kita bisa mengikuti puisinya tanpa perlu membuka kamus, apa lagi mengernyitkan dahi beberapa jenak hanya untuk mengerti apa maksud puisi itu, hal yang kadang kita temui pada puisi lirik. 

Saya pikir, strategi untuk mengonversi cerita La Galigo menjadi puisi naratif adalah upaya untuk memenuhi tuntutan artistik yang sama yang digunakan dalam La Galigo. La Galigo sendiri adalah sebuah epos yang mempunyai alur cerita. Jalan yang paling dekat untuk sampai pada aspek alur itu adalah membuatnya menjadi naratif. 

Faisal tidak berhenti di situ saja. Faisal memaksudkan Manurung sebagai upaya untuk menggugat narasi La Galigo yang terlalu istanasentris dan kurang memberi porsi cerita kepada tokoh di luar istana. Inilah alasan yang membuat puisi ini terdiri dari tiga belas pertanyaan. Ketiga belas pertanyaan itu dibagi untuk tiga tokoh besar La Galigo: Datu Palinge, Sawerigading, La Galigo.

Kata Faisal dalam pengantar bukunya: “Sebenarnya, pertanyaan-pertanyaan yang saya maksud tadi muncul karena yang saya temukan La Galigo sangat istanasentris; sepertinya ditulis untuk orang-orang istana, oleh orang istana, dan tentang istana. Akan mudah kita menemukan betapa detailnya ritual-ritual, upacara-upacara, dan pernak-pernik istana digambarkan—sementara itu, ketika peristiwa terjadi di luar istana, La Galigo tidak memberi saya gambaran yang sedetail persoalan istana tadi. Selain hal tersebut, saya tidak menemukan La Galigo memberi tempat untuk golongan bawah, salah satu contohnya; kita tidak akan mendengar suara para budak. Mereka tidak diberi tempat selain untuk menjalani perannya sebagaimana biasanya budak, sebagai objek, dijadikan tumbal, disembelih, atau digunakan darahnya untuk ritual. Hal itulah yang memberi saya alasan menulis buku puisi ini, saya ingin mem­beri tempat kepada budak-budak itu, saya ingin mendengarkan suara mereka—dan  dengan begitu, saya bisa menitipkan pertanyaan-pertanyaan saya kepada budak-budak yang nantinya akan bersuara itu.”

Begitulah Faisal memaksudkan puisinya. Apakah hasilnya berkata demikian?

Dalam puisi ini, diceritakan bahwa para budak bertanya kepada tiga tokoh besar dalam La Galigo. Jumlah pertanyaannya sebanyak tiga belas. Saat membacanya kita akan mengetahui ada semacam obsesi yang mendiami pertanyaan-pertanyaan budak itu. Jika melihat latar belakang mengapa pertanyaan itu diajukan, kita bisa mengatakan bahwa obsesi itu adalah keinginan untuk diakui, keinginan untuk mendapat porsi cerita yang “setara”. Selain itu ada juga obsesi berupa keinginan untuk mengetahui seberapa menderita ke tiga tokoh yang diajukan pertanyaan akibat kejadian-kejadian pahit yang menimpa diri mereka. Meskipun ada beberapa obsesi yang tampak pada pertanyaan-pertanyaan itu, obsesi yang paling jelas dan paling ingin diwujudkan adalah memangkas jarak antara budak dan bangsawan.

Faisal Oddang mengakui bahwa dalam Manurung ia ingin memberi porsi cerita ataupun suara kepada para budak. Namun, sepertinya itu tidak terlihat. Memang benar bahwa tokoh “Aku”, yang adalah budak, mengajukan pertanyaan kepada tiga tokoh besar dalam La Galigo, tetapi itu tetap membuat si budak tenggelam dalam cerita. Kita tidak melihat diri si budak hadir. Dia tetap disembunyikan bahkan tak diberi nama. Dia sekali lagi tidak tampak. Dia digantikan oleh narasi tentang Datu Palinge, Sawerigading, dan La Galigo.

Keberadaan budak dalam Manurung justru menceritakan kembali ketiga tokoh itu. Memang cerita itu adalah perluasan dari pertanyaannya, tetapi itu malah membuat si budak “melayani” ketiga tokoh itu dengan cara mengajukan pertanyaan kepadanya. Lagi pula pertanyaan itu hanya menggambarkan betapa berkuasanya ketiga tokoh itu.

Tak pelak lagi bahwa La Galigo adalah epos yang bercerita tentang kehidupan penguasa, tentang interaksi bangsawan satu dengan bangsawan lainnya, tentang keluarga yang punya kontrol terhadap kehidupan. Budak-budak dicitrakan hanya sebagai pelengkap kehidupan bangsawan. Mereka hanya hadir untuk memenuhi keinginan para bangsawan.

Inilah yang ingin diubah oleh Faisal dalam Manurung. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Budak yang bersuara pada Manurung tidak banyak menceritakan diri mereka. Mereka hanya menceritakan tentang para bangsawan, para tokoh penting dalam La Galigo. Pertanyaan-pertanyaan yang datang dari budak itu hanya kedok untuk mengungkapkan seberapa berkuasanya para tokoh itu.

Lagi pula ketiga belas pertanyaan yang bernada sinis itu tidak didukung oleh kemampuan memberi nuansa sinis ke puisinya. Kita hanya menemukan nuansa “serba bijak” setiap kali si budak mempertanyakan tentang kekuasaan, tentang hubungan hamba-Tuhan:

Pulanglah, kata suamimu, Batara Guru ingin menjawab aku telah pulang, Ayah. Namun, kata-katanya berakhir sebagai buih yang meletup di dada. Kata-kata hanya batu di dasar telaga, dia maknai riak air, dia pahami warna lumut, tetapi dia batu, bahkan seorang bocah takkan pernah memungutnya untuk melempari burung-burung di ranting.

Manurung memberi kita kesan bahwa si budak hendak menunjukkan konsekuensi penderitaan yang dialami oleh ketiga tokoh penting La Galigo: Datu Palinge, Sawerigading, La Galigo. Setiap kali penderitaan masing-masing tokoh itu ditampilkan, si budak muncul untuk memberi kita beberapa kalimat bijak tentang situasi apa-apa saja yang mungkin atau yang pasti terjadi di sekitar penderitaan itu. Si budak adalah subjek yang paling memahami penderitaan dan menyampaikan segala sesuatu tentangnya seperti seorang nabi.

Jika hal demikian yang diinginkan Faisal, bisa dikatakan dia berhasil. Namun, dia menginginkan agar si budak punya porsi cerita yang memadai. Justru inilah yang tidak terlihat dalam Manurung. Ketiga tokoh itulah yang tampil mengambil alih, untuk yang kesekian kalinya, porsi cerita dalam Manurung. Cerita tentang kesedihan mereka, tentang keterasingan mereka, atau bahkan kelelahan mereka menjadi kaum bangsawan.

Nuansa sinis dari ketiga belas pertanyaan itu bisa didapatkan pada pertanyaan ke tujuh: Apa yang kaukenang dari tubuh-tubuh tak bersalah yang kausiksa dan kaubunuh demi berahi dan selangkanganmu yang basah? Pertanyaan ini merujuk pada tumbal dari kemurkaan Sawerigading atas cintanya yang terlarang:

Tuhan mengirim Tua Bangka ke istanamu, dia telah berganti kulit dan gigi sebanyak tujuh kali, dia lahir jauh sebelum kau ada. Kisahkan kepadaku, kau meminta—dan kau mulai mendengarnya:

Padi-padi tumbuh menjadi rumput, sagu menjadi air, bencana tiba karena seseorang di dalam istana telah melanggar sebuah pamali

“Berhenti!”

Kau murka dan meraih kelewang lalu menetak tubuhnya yang ringkih, kau terlalu lemah di depan cinta, kau bahkan tak mampu menutup mata dan telingamu dari sesuatu yang datang dari selangkangan.

Biarkan, biarkan mereka merasakan penderitaanku juga, katamu.

Nuansa sinis juga terlihat pada pertanyaan kesembilan: Bagaimana mungkin kau berbahagia dengan We Cudai jika cinta telah kau curangi, telah kau rebut dengan dusta—dengan menciptakan sungai darah dari leher orang-orang tak bersalah yang kautebas? Namun, puisi ini lebih menyoroti pertempuran Sawerigading dengan lelaki lain yang ingin mencegahnya merebut We Cudai—tidak ada tentang budak di sana.

Pada pertanyaan kedelapan: Masihkah kau kenali amis lumuran darah budak di batang Pohon Welenreng itu?

Dan siapa pemilik darah itu, siapa budak yang lehernya kau putuskan itu? Budak yang kau sembelih tak pernah kautahu namanya, kematian mereka tidak akan mendapat tempat di kepalamu yang agung. Ketika kau bercinta dengan We Cudai di dalam mimpimu setelah kau melihat pangkal paha dan sepasang buah dadanya di kuku We Tenri Abeng, kau tak mungkin lagi punya urusan dengan nama-nama, namamu sendiri telah kau lupakan. Berahi telah berhasil merebut sepenuh ingatanmu.

Dan pertanyaan kesebelas: Untuk kematian-kematian yang menjemput hidupmu yang baru, perkabungan macam apa yang telah kau lakukan?

Budak- budak itu memang telah menyerahkan tarik-embus napasnya untuk rongga dadamu, tetapi kau tak pernah bertanya kenapa? Mereka tak pernah kau beri jawaban hingga akhirnya, semua sia-sia, pengorbanan hanya berguna saat itu saja, sedetik kemudian, angin tiba lalu menghapusnya bersama ingatan-ingatan yang terbang ke dunia jauh.

Kau berenang di kubangan darah. Kau ikan kecil tanpa sirip, di sana. Sementara nyawa-nyawa yang telah dikorbankan untukmu, terus bertanya di mana pemilik mereka berada. Kau tak tahu, kebenaran diciptakan agar perkara menjadi jelas. Tidak disembunyikan seperti peniti di lipatan baju: seseorang harus tertusuk lebih awal ketika berhasil menemukannya.

Kau tak mengerti apa-apa selain pamor sisik ayam atau di gelanggang mana pesta sabung telah berlangsung, kau tak mengerti apa-apa.

Di sini tampak kegelisahan si budak. Si budak tidak lagi menjadi juru bicara kegelisahan dari para tokoh utama (bangsawan) seperti yang terlihat pada bait-bait puisi sebelumnya. Kita bisa membaca dan merasakan betapa si budak di sini menunjukkan hierarki tanpa memberi kita penjelasan yang gamblang.

Dari keseluruhan narasi, hanya ini yang dipunya oleh si budak. Tetap saja budak diceritakan sebagaimana budak itu seharusnya. Ketika Faisal mengatakan, “saya ingin mem­beri tempat kepada budak-budak itu, saya ingin mendengarkan suara mereka” yang saya bayangkan adalah sebuah kisah tentang budak atau gugatan lantang terhadap tokoh-tokoh besar dalam La Galigo. Memang, Faisal membuat budak itu bersuara, menggugat dengan mengajukan tiga belas pertanyaan, tetapi pertanyaan-pertanyaan itu hanya membuat kita memahami bahwa budak akan selamanya menjadi budak dan penguasa akan selamanya menjadi penguasa.[]


Rujukan

Oddang, F. (2017). Manurung 13 Pertanyaan untuk Tiga Nama. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Toa, R. K. C. P. A. P. (Ed.). (2017). La Galigo Menurut Naskah NBG 188 jilid 1. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.



Naufal Mahdi

Penulis

muhammad.naufal.mahdi@mail.ugm.ac.id

eyJtYXBfb3B0aW9ucyI6eyJjZW50ZXJfbGF0IjoiLTcuODA1MTM1NjcxOTUxNTUzIiwiY2VudGVyX2xuZyI6IjExMC4zNjQyMTM4Mjg3MzQ2NiIsInpvb20iOjEwLCJtYXBfdHlwZV9pZCI6IlJPQURNQVAiLCJmaXRfYm91bmRzIjp0cnVlLCJkcmFnZ2FibGUiOnRydWUsInNjcm9sbF93aGVlbCI6dHJ1ZSwiZGlzcGxheV80NV9pbWFnZXJ5IjoiIiwibWFya2VyX2RlZmF1bHRfaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL1wvZGVmYXVsdF9tYXJrZXIucG5nIiwiaW5mb3dpbmRvd19zZXR0aW5nIjoiPGRpdiBjbGFzcz1cImZjLWl0ZW0tYm94IGZjLWl0ZW1jb250ZW50LXBhZGRpbmcgXCI+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS10aXRsZVwiPnttYXJrZXJfdGl0bGV9IDxzcGFuIGNsYXNzPVwiZmMtYmFkZ2UgaW5mb1wiPnttYXJrZXJfY2F0ZWdvcnl9PFwvc3Bhbj48XC9kaXY+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1jb250ZW50IGZjLWl0ZW0tYm9keS10ZXh0LWNvbG9yXCI+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1mZWF0dXJlZCBmYy1sZWZ0IGZjLWl0ZW0tdG9wX3NwYWNlXCI+XG4gICAgICAgICAgICB7bWFya2VyX2ltYWdlfVxuICAgICAgICA8XC9kaXY+XG48cD4gICAgICAgIHttYXJrZXJfbWVzc2FnZX1cbiAgICA8XC9wPjxcL2Rpdj5cbjxhZGRyZXNzIGNsYXNzPVwiZmMtdGV4dFwiPnttYXJrZXJfYWRkcmVzc308XC9hZGRyZXNzPlxuPFwvZGl2PlxuIiwiaW5mb3dpbmRvd19ib3VuY2VfYW5pbWF0aW9uIjoiY2xpY2siLCJpbmZvd2luZG93X2Ryb3BfYW5pbWF0aW9uIjpmYWxzZSwiY2xvc2VfaW5mb3dpbmRvd19vbl9tYXBfY2xpY2siOmZhbHNlLCJpbmZvd2luZG93X3NraW4iOnsibmFtZSI6ImRlZmF1bHQiLCJ0eXBlIjoiaW5mb3dpbmRvdyIsInNvdXJjZWNvZGUiOiI8ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1ib3ggZmMtaXRlbWNvbnRlbnQtcGFkZGluZyBcIj5cclxuICAgIDxkaXYgY2xhc3M9XCJmYy1pdGVtLXRpdGxlXCI+e21hcmtlcl90aXRsZX0gPHNwYW4gY2xhc3M9XCJmYy1iYWRnZSBpbmZvXCI+e21hcmtlcl9jYXRlZ29yeX08XC9zcGFuPjxcL2Rpdj5cclxuICAgIDxkaXYgY2xhc3M9XCJmYy1pdGVtLWNvbnRlbnQgZmMtaXRlbS1ib2R5LXRleHQtY29sb3JcIj5cclxuICAgICAgICA8ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1mZWF0dXJlZCBmYy1sZWZ0IGZjLWl0ZW0tdG9wX3NwYWNlXCI+XHJcbiAgICAgICAgICAgIHttYXJrZXJfaW1hZ2V9XHJcbiAgICAgICAgPFwvZGl2PlxyXG4gICAgICAgIHttYXJrZXJfbWVzc2FnZX1cclxuICAgIDxcL2Rpdj5cclxuICAgIDxhZGRyZXNzIGNsYXNzPVwiZmMtdGV4dFwiPnttYXJrZXJfYWRkcmVzc308XC9hZGRyZXNzPlxyXG48XC9kaXY+In0sImRlZmF1bHRfaW5mb3dpbmRvd19vcGVuIjpmYWxzZSwiaW5mb3dpbmRvd19vcGVuX2V2ZW50IjoiY2xpY2siLCJmdWxsX3NjcmVlbl9jb250cm9sIjpmYWxzZSwic2VhcmNoX2NvbnRyb2wiOnRydWUsInpvb21fY29udHJvbCI6dHJ1ZSwibWFwX3R5cGVfY29udHJvbCI6ZmFsc2UsInN0cmVldF92aWV3X2NvbnRyb2wiOmZhbHNlLCJmdWxsX3NjcmVlbl9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJzZWFyY2hfY29udHJvbF9wb3NpdGlvbiI6IlRPUF9MRUZUIiwiem9vbV9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfdHlwZV9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfdHlwZV9jb250cm9sX3N0eWxlIjoiSE9SSVpPTlRBTF9CQVIiLCJzdHJlZXRfdmlld19jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfY29udHJvbCI6dHJ1ZSwibWFwX2NvbnRyb2xfc2V0dGluZ3MiOmZhbHNlLCJtYXBfem9vbV9hZnRlcl9zZWFyY2giOjYsIndpZHRoIjoiIiwiaGVpZ2h0IjoiMzMwIn0sInBsYWNlcyI6W3siaWQiOiIxIiwidGl0bGUiOiJLZXJhdG9uIiwiYWRkcmVzcyI6IktlcmF0b24gSm9namEiLCJzb3VyY2UiOiJtYW51YWwiLCJjb250ZW50IjoiS2VyYXRvbiBOZ2F5b2d5YWthcnRhIEhhZGluaW5ncmF0IGF0YXUgS2VyYXRvbiBZb2d5YWthcnRhIG1lcnVwYWthbiBpc3RhbmEgcmVzbWkgS2VzdWx0YW5hbiBOZ2F5b2d5YWthcnRhIEhhZGluaW5ncmF0IHlhbmcga2luaSBiZXJsb2thc2kgZGkgS290YSBZb2d5YWthcnRhLiBLZXJhdG9uIGluaSBkaWRpcmlrYW4gb2xlaCBTcmkgU3VsdGFuIEhhbWVuZ2t1YnV3YW5hIEkgcGFkYSB0YWh1biAxNzU1IHNlYmFnYWkgSXN0YW5hXC9LZXJhdG9uIFlvZ3lha2FydGEgeWFuZyBiYXJ1IGJlcmRpcmkgYWtpYmF0IHBlcnBlY2FoYW4gTWF0YXJhbSBJc2xhbSBkZW5nYW4gYWRhbnlhIFBlcmphbmppYW4gR2l5YW50aS4gS2VyYXRvbiBpbmkgYWRhbGFoIHBlY2FoYW4gZGFyaSBLZXJhdG9uIFN1cmFrYXJ0YSBIYWRpbmluZ3JhdCBkYXJpIE1hdGFyYW0gSXNsYW0gU3VyYWthcnRhIChLZXJhamFhbiBTdXJha2FydGEpLiBTZWhpbmdnYSBkaW5hc3RpIE1hdGFyYW0gZGl0ZXJ1c2thbiBvbGVoIDIgS2VyYWphYW4geWFrbmkgS2VzdWx0YW5hbiBZb2d5YWthcnRhIGRhbiBLZXN1bmFuYW4gU3VyYWthcnRhLiBUb3RhbCBsdWFzIHdpbGF5YWgga2VzZWx1cnVoYW4ga2VyYXRvbiB5b2d5YWthcnRhIG1lbmNhcGFpIDE0NCBoZWt0YXIsIHlha25pIG1lbGlwdXRpIHNlbHVydWggYXJlYSBkaSBkYWxhbSBiZW50ZW5nIEJhbHV3YXJ0aSwgYWx1bi1hbHVuIExvciwgYWx1bi1hbHVuIEtpZHVsLCBnYXB1cmEgR2xhZGFrLCBkYW4ga29tcGxla3MgTWFzamlkIEdlZGhlIFlvZ3lha2FydGEuIFNlbWVudGFyYSBsdWFzIGRhcmkga2VkaGF0b24gKGludGkga2VyYXRvbikgbWVuY2FwYWkgMTMgaGVrdGFyLiAiLCJsb2NhdGlvbiI6eyJpY29uIjoiaHR0cHM6XC9cL2phbmdrYWguaWRcL3dwLWNvbnRlbnRcL3BsdWdpbnNcL3dwLWdvb2dsZS1tYXAtcGx1Z2luXC9hc3NldHNcL2ltYWdlc1wvXC9kZWZhdWx0X21hcmtlci5wbmciLCJsYXQiOiItNy44MDUxMzU2NzE5NTE1NTMiLCJsbmciOiIxMTAuMzY0MjEzODI4NzM0NjYiLCJjaXR5IjoiWW9neWFrYXJ0YSIsInN0YXRlIjoiRGFlcmFoIElzdGltZXdhIFlvZ3lha2FydGEiLCJjb3VudHJ5IjoiSW5kb25lc2lhIiwib25jbGlja19hY3Rpb24iOiJtYXJrZXIiLCJyZWRpcmVjdF9jdXN0b21fbGluayI6IiIsIm1hcmtlcl9pbWFnZSI6IjxkaXYgY2xhc3M9J2ZjLWZlYXR1cmUtaW1nJz48aW1nIGxvYWRpbmc9J2xhenknIGRlY29kaW5nPSdhc3luYycgYWx0PSdLZXJhdG9uJyBzcmM9J2h0dHBzOlwvXC91cGxvYWQud2lraW1lZGlhLm9yZ1wvd2lraXBlZGlhXC9jb21tb25zXC90aHVtYlwvM1wvMzNcL0tyYXRvbl9Zb2d5YWthcnRhX1BhZ2VsYXJhbi5qcGdcLzEwMjRweC1LcmF0b25fWW9neWFrYXJ0YV9QYWdlbGFyYW4uanBnJyBjbGFzcz0nd3BnbXBfbWFya2VyX2ltYWdlIGZjLWl0ZW0tZmVhdHVyZWRfaW1hZ2UgZmMtaXRlbS1sYXJnZScgXC8+PFwvZGl2PiIsIm9wZW5fbmV3X3RhYiI6InllcyIsInBvc3RhbF9jb2RlIjoiIiwiZHJhZ2dhYmxlIjpmYWxzZSwiaW5mb3dpbmRvd19kZWZhdWx0X29wZW4iOmZhbHNlLCJhbmltYXRpb24iOiJCT1VOQ0UiLCJpbmZvd2luZG93X2Rpc2FibGUiOnRydWUsInpvb20iOjUsImV4dHJhX2ZpZWxkcyI6IiJ9LCJjYXRlZ29yaWVzIjpbeyJpZCI6IiIsIm5hbWUiOiIiLCJ0eXBlIjoiY2F0ZWdvcnkiLCJleHRlbnNpb25fZmllbGRzIjpbXSwiaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL1wvZGVmYXVsdF9tYXJrZXIucG5nIn1dLCJjdXN0b21fZmlsdGVycyI6IiJ9XSwic3R5bGVzIjoiIiwibGlzdGluZyI6IiIsIm1hcmtlcl9jbHVzdGVyIjp7ImdyaWQiOiIxNSIsIm1heF96b29tIjoiMSIsImltYWdlX3BhdGgiOiJodHRwczpcL1wvamFuZ2thaC5pZFwvd3AtY29udGVudFwvcGx1Z2luc1wvd3AtZ29vZ2xlLW1hcC1wbHVnaW5cL2Fzc2V0c1wvaW1hZ2VzXC9tIiwiaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL2NsdXN0ZXJcLzQucG5nIiwiaG92ZXJfaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL2NsdXN0ZXJcLzQucG5nIiwiYXBwbHlfc3R5bGUiOmZhbHNlLCJtYXJrZXJfem9vbV9sZXZlbCI6IjEifSwibWFwX3Byb3BlcnR5Ijp7Im1hcF9pZCI6IjEiLCJkZWJ1Z19tb2RlIjpmYWxzZX19

Daksinargastuti, Menyenandungkan Kembali Syair-syair Kuno Yogyakarta

Daksinargastuti merupakan kegiatan Komunitas Jangkah Nusantara yang meliputi pemetaan, preservasi naskah kuno, bengkel sastra-aksara dan macapat, serta alih aksara manuskrip.
Lihat Rekaman Baca Pengantar
poster diskusi