Karas

Tasawuf dan Komunikasi Sosial Masyarakat Jawa, Nilai-nilai Ajaran Dewa Ruci dan Suluk Sunan Kalijaga

Ajaran Dewa Ruci, Kitab Bima Suci yang ramai dalam tradisi religiusitas jawa, khususnya tasawuf jawa, dapat dilihat dari ragam perspektif. Hal ini mengacu kepada apa yang disampaikan oleh Muhammad Abed al-Jabiry bahwa untuk melihat segala sesuatu memerlukan pranata wacana (Nidlam al-Khitabi) dan pranata cara berpikir (Nidlamu al-‘Aql)[i]

Selasa, 7 Juni 2022

366 Kali

0 Kali

8 Menit

Ajaran Dewa Ruci, Kitab Bima Suci yang ramai dalam tradisi religiusitas jawa, khususnya tasawuf jawa, dapat dilihat dari ragam perspektif. Hal ini mengacu kepada apa yang disampaikan oleh Muhammad Abed al-Jabiry bahwa untuk melihat segala sesuatu memerlukan pranata wacana (Nidlam al-Khitabi) dan pranata cara berpikir (Nidlamu al-‘Aql)[i] dalam menyikapi ragam perkembangan. Temasuk ideologi dan peradaban pun kepercayaan. Agar sampai kepada ruang objektivitas (Maudu’iyyah al-Qira’ah) maka perlu adanya rembuk persepsi. Dewa Ruci, dalam pandangan masyarakat Jawa dipahami dengan beragam perspektif. Meliputi ruang sastra, budaya, pengetahuan dan agama.

Mula-mula kita perlu menelisik awal mula Dewa Ruci itu diperkenalkan. Pertama, wayang merupakan media dakwah di masa Sunan Kalijaga. Penyeberan Islam melalui media wayang adalah bagian sejarah penting sebuah akulturasi budaya yang waton mathuk. Hal ini pernah disampaikan oleh Ki Narto Sabdo bahwa budaya adalah angen-angen kang mbabar kaendahan,[ii] bahwa budaya adalah sebuah ide yang diinterpretasikan sehingga muncul nilai estetika. 

Sehingga wayang menjadi salah satu media dakwah Mbah Sunan Kali Jaga, baik dalam tatanan sosial pun tatanan agama. Oleh sebab itu tidak heran bahwa menurut Agus Sunyoto, Sunan Kalijaga memiliki peran dakwah yang sangat besar melalui seni dan budaya. Ia tidak hanya piawai dalam mendalang, tetapi juga menciptakan lakon carangan yang kemudian dimasuki nilai-nilai Islam.[iii] 

Sunan Kalijaga atau Raden Sahid adalah putra Bupati Tuban; Wilatikta. Ia diusir karena mencuri dan sifat kenakalan yang lain. Namun pasca diusir ia malah membuat kerusuhan di Hutan Jatisari, bahkan ia merampok Sunan Bonang di tengah perjalanannya. Namun ia akhirnya mengikuti apa yang dikatakan oleh Sunan Bonang, karena Sunan Bonang menunjukan kemampuannya dengan mengubah buah aren menjadi emas. Selepas itu ia malah mengikuti Sunan Bonang dan diminta untuk semadi atau bertapa di pinggir kali. Hal ini merujuk pada gelarnya di kemudian hari, Sunan Kalijaga yaitu Lokajaya.

Menurut Agus Sunyoto, gelar Lokajaya berarti penguasa bumi. Gelar ini berkaitan dengan simbol-simbol tantrisme. Menurut Agus Sunyoto Lokajaya semakna dengan Wisesa Dharani (Penguasa Bumi), Chakrabumi (Pemimpin Lingkar Cakra), Chakrabuwana, Hal ini lazim digunakan oleh penganut Bhairawa – Tantra. Jika hal ini relevan dengan sebutan Lokajaya maka tentu berkaitan dengan Kalijaga.[iv] 

Selain itu, Sunan Kalijaga juga memiliki nama lain, Syekh Malaya. Hal ini berkaitan dengan asal-usul Sunan Kalijaga yang merupakan putera Tumenggung Melayakusumo di Jepara, lalu diperintah oleh Brawijaya untuk menjadi Bupati di Tuban. Hal ini berkaitan pula dengan Sunan Bonan yang berdakwah di Kediri dan dihalang-halangi oleh para penganut Bhairawa-Tantra. Pun Bhairawa-Tantra memiliki keterkaitan dengan sebutan Atta-Anggin atau kehilangan semua anggota badannya (rahu), sedangkan Tumenggung Melayakusumo berasal dari negeri di atas angin. Hal ini menarik, karena bisa jadi ada salah ucap terkait Atta-Anggin yang berkaitan dengan Bhairawa-Tantra. Maka layak, ketika Sunan Kalijaga dikait-kaitkan dengan ajaran Bhairawa-Tantra.

Perjalanan dakwah Sunan Kalijaga sering kali melakukan penyamaran-penyamaran, terkadang juga menampilkan kelemahannya pun melakukan kemaksiatan untuk menutupi ketakwaannya. Hal ini seperti yang dituturkan Agus Sunyoto ketika mengutip dari Hoesein Djayadiningrat terkait isi Sejarah Banten Rante-rante sebagai berikut:

Para wali sedaya sami ma’lum/ jebeng Kalijaga/ masyhur akeh lelewane/ walisaturul ‘adalah/ kang tinilad// ngatokaken ma’siyat ginawe singlu/ mungguh kang bebasan/ pinter aling-aling bodoh/ jalma luwih alingan bidak walaka//”[v]

Artinya:

Bahwa seperti para wali-wali yang sudah diketahui/ di masa muda Kalijaga/ kerap menunjukkan tingkah yang bertentangan[vi]/ ia dikenal dengan kebajikan-kebajikannya[vii]/ kemudian menjadi panutan// ia menyembunyikan jati dirinya dengan menunjukkan kemaksiatan[viii]/ seperti tanpa beban/ ia pandai menyembunyikan jati diri/ ia memilih menutupi dirinya daripada berterusterang// (ungkapan ini banyak dipahami maksudnya ketika proses dakwah Sunan Kalijaga yang kerap menggunakan media seni dan tradisi masyarakat saat itu yang digemari, seperti pewayangan dan tari).

Sunan Kalijaga dimaklumi oleh para wali yang lain ketika ia melakukan lelewane atau hal yang bersifat tidak baik, artinya menyembunyikan jati dirinya dengan menampilkan kemaksiatannya bahkan menunjukkan kelemahannya. Kita tahu bahwa Mbah Sunan Kalijaga menyebarkan agama Islam lebih sering menggunakan media pewayangan. Artinya Sunan Kalijaga menjadi dalang dari tempat ke tempat yang lain. Maka tak heran jika kelak di wilayah Mataram; tepatnya di padepokan (pondok) Jejeran penyampaian ajaran islam tidak hanya melalui al-Quran dan Hadis semata, melainkan juga serat-serat, tari, dan wayangan.

Pewayangan yang menampilkan lakon-lakon dalam setiap ceritanya tentu dibarengi dengan ajaran dan nilai-nilai Islam. Artinya kreativitas dakwah itu sudah dijalankan sejak masa Walisanga. Sunan Kalijaga khususnya, ia berdakwah tanpa harus mengucilkan ajaran lama, melainkan membaur dengan ajaran lama, yakni mengakulturasikan budaya lama dengan Islam.  Seperti munculnya lakon “Punakawan” dalam pewayangan, cerita pewayangan dari India tentu tidak ada lakon tersebut.

Sunan Kalijaga memunculkan lakon Punawakan yang di antaranya adalah Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Menurut Prof. K.MA Machfoel yang dikutip oleh Jamal Ghofir dari bukunya Haryanto; Bayang-bayang Adiluhung mengatakan bahwa keempat karakter atau tokoh di atas tidak ada dalam tradisi Hindu.[ix] Sehingga asumsi yang muncul adalah jika keempat tokoh itu muncul di kemudian hari dan melalui pewayangan yang digelar oleh Sunan Kalijaga, maka keempat karakter itu berasal dari tradisi Islam Jawa.

Sehingga, muncul spekulasi sejarah tentang keempat tokoh di atas berasal dari istilah-istilah Arab[x] yang kemudian dimasukkan ke dalam tradisi Islam Jawa. Hal ini mengacu pada perspektif kejawaan. Serapan nama Semar berasal dari kata ismar yang artinya paku, yang memiliki fungsi penguat atau pengokoh. Analisis yang muncul adalah ketika masa peralihan Majapahit ke Demak yang memerlukan banyak penguatan agar sejalan dengan kemaslahatan yang dicita-citakan wali sanga.

Kemudian Nala Gareng. Nama ini merupakan serapan dari Naala Qoriin dalam pengucapan Jawa, menjadi Nala Gareng yang artinya adalah memiliki banyak teman. Hal ini sejalan dengan tujuan Walisanga yang berdakwah sehingga memperoleh banyak kawan. Tujuannya di samping kembali ke jalan yang benar, juga menjadi piranti untuk memakmurkan dan memaslahahkan umat manusia. Petruk berasal dari kata fatruk, dalam lidah Jawa menjadi Petruk. Kata tersebut dalam perspektif tasawuf memiliki makna yang sangat dalam yaitu Fat-ruk kulla maa siwallahi (tinggalkan semua apapun selain Allah SWT). Pendekatan tasawuf kala itu menjadi pendekatan yang paling efektif dan dapat diterima di masyarakat jawa.

Bagong berasal dari kata Baghaa yang berarti berontak, yaitu berontak terhadap perilaku kebatilan dan kemungkaran yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Ada versi lain yang menjelaskan bahwa Bagong berasal dari kata baqa’ (kekal) yang disimbulkan bahwasanya semua makhluk di akhirat nanti akan kekal adanya. Namun para dalang mementaskan Bagong sebagai tokoh yang menghibur dan memberi tuntunan. Sehingga Bagong digambarkan sebagai tokoh punakawan yang kritis, blakasuta dan tidak gentar serta segan melakukan kritik yang tajam tanpa harus takut atau pakewuh apabila hal tersebut dipandang tidak sesuai dan keluar dari ajaran Islam.

Tasawuf menjadi ruang dakwah paling efektif bagi Sunan Kalijaga dengan menggelar pewayangan lakon Dewa Ruci atau Nawa Ruci. Ia adalah Sang Mahardining Rat Sang Ruci Batara. Mengapa Tasawuf? Agaknya hal ini adalah perjuangan lanjutan sejak runtuhnya Dinasti Abbasiyah yang jatuh ke tangan Mongolia, bangsa Tartar yang dipimpin Hulagu Khan.[xi]  Sehingga Banyak pedagang-pedangan Islam yang kemudian bergerak ke arah selatan, Asia Tengah dan Asia Tenggara. Maka ketika pelabuhan-pelabuhan ramai dengan datangnya pedagang Islam, begitu juga dengan Nusantara. Di antaranya adalah Barus, Palembang, Sunda Kelapa, Tuban, Gresik dan lain sebagainya.

Karya sastra Jawa yang menyimpan sejarah perkembangan Islam adalah bukti bahwa tasawuf menjadi ruang paling efektif. Ketika pemaknaan tasawuf cenderung diartikan mistik, bahkan mistik yang heterodoks justru membenarkan bahwa peran tasawuf dalam perkembangan Islam di Nusantara sangat penting. Peradaban Islam mulai berkembang ketika Kerajaan Demak berdiri. Artinya ketika Majapahit runtuh dan beberapa daerah di area pelabuhan atau pesisir utara mulai memisahkan diri, maka segala aspek perkembangan sosial, pendidikan dan keagamaan mengalami perubahan di setiap wilayah. Dan Islam dengan basis pesantrennya menempati ruang utama dalam membentuk peradaban Islam jawa.

Hal ini tentu memberi peluang pada penulis untuk lebih luas lagi berselancar dalam ragam teori dan informasi tentang peran dan gerak dakwah Sunan Kalijaga, pun tentang Serat Dewa Ruci. Karena bagaimanapun, penelitian ini akan selalu berkembang, apalagi dengan ruang dan waktu yang berbeda, pun aspek pendekatannya. Penulis ingin menegaskan bahwa diskursif tentang Dewa Ruci dan tasawuf adalah bagian dari diskursif pesantren dan masyarakat Islam Jawa.[]


[i] Muhammad Abed al-Jabiri, Buniyat aql araby, Markaz Dirasat al-wahdah al-‘araby, Beirut, Cet. Ke-2, 2009. H. 41-42

[ii] Ide yang mengejawantahkan sebuah keindahan. Tentu hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan dalam Hadits Nabi bahwa Allah al Jamil, wa yukhibbu al Jamal, Bahwa Tuhan meniscayakan sebuah keindahan, karena Iapun Maha Indah. Dalam; Dr. Suwardi, Mamayu Hayuning Bawana, laku menuju keselamatan dan kebahagiaan hidup orang jawa. Narasi; Yogyakarta. 2013. H. 30

[iii] Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo,  Tanggerang, Pustaka IIMaN, 2017. H. 256

[iv] Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo,  Tanggerang, Pustaka IIMaN, 2017. H. 264

[v] Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo,  Tanggerang, Pustaka IIMaN, 2017. H. 267

[vi] Bertentangan dengan maksud dianggap bersifat tidak baik, tidak sesuai Islam, karena wayang adalah tradisi jawa kuno atau agama sebelum datangnya islam.

[vii] Kebajikannya ini karena Sunan Kalijaga menyampaikan pengetahuan atau islam kepada masyarakat dengan menggunakan pewayangan, sebagai dalang, aksinya sangat memukau dan menakjubkan sehingga pesannya tersampaikan dan menjadi panutan bagi masyarakat saat itu.

[viii]  Menurut Kisah Sunan Kalijaga Brnadal Loka Jaya adalah sorang yang menyembunyikan jati dirinya dengan melakukan hal yang diluar norma seperti mencuri, bahkan mendalang dan menari pada masa itu dianggap bid’ah sekali, namun pendekatan sunan kalijaga ini justru mendapatkan tempat di hati masyarakat jawa saat itu.

[ix] Haryanto, Bayang-bayang Adi Luhung, Semarang : Dahara Prize, 1992, H. 78 dalam Jurnal Dakwah Vol. XIV, No.2 Tahun 2013 oleh Jamal Ghofir yang berjudul “Nilai dakwah dalam budaya wayang”

[x] Jamal Ghofir, Nilai dakwah dalam budaya wayang. Jurnal Dakwah Vol. XIV, No,2 Tahun 2013. H. 239-241

[xi] Gibb, H.A.R., dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopedia of Islam, Leiden: E,J,, Brill, 1953, H. 12



A. Dahri

Penulis

lekdah91@gmail.com

eyJtYXBfb3B0aW9ucyI6eyJjZW50ZXJfbGF0IjoiLTcuODA1MTM1NjcxOTUxNTUzIiwiY2VudGVyX2xuZyI6IjExMC4zNjQyMTM4Mjg3MzQ2NiIsInpvb20iOjEwLCJtYXBfdHlwZV9pZCI6IlJPQURNQVAiLCJmaXRfYm91bmRzIjp0cnVlLCJkcmFnZ2FibGUiOnRydWUsInNjcm9sbF93aGVlbCI6dHJ1ZSwiZGlzcGxheV80NV9pbWFnZXJ5IjoiIiwibWFya2VyX2RlZmF1bHRfaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL1wvZGVmYXVsdF9tYXJrZXIucG5nIiwiaW5mb3dpbmRvd19zZXR0aW5nIjoiPGRpdiBjbGFzcz1cImZjLWl0ZW0tYm94IGZjLWl0ZW1jb250ZW50LXBhZGRpbmcgXCI+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS10aXRsZVwiPnttYXJrZXJfdGl0bGV9IDxzcGFuIGNsYXNzPVwiZmMtYmFkZ2UgaW5mb1wiPnttYXJrZXJfY2F0ZWdvcnl9PFwvc3Bhbj48XC9kaXY+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1jb250ZW50IGZjLWl0ZW0tYm9keS10ZXh0LWNvbG9yXCI+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1mZWF0dXJlZCBmYy1sZWZ0IGZjLWl0ZW0tdG9wX3NwYWNlXCI+XG4gICAgICAgICAgICB7bWFya2VyX2ltYWdlfVxuICAgICAgICA8XC9kaXY+XG48cD4gICAgICAgIHttYXJrZXJfbWVzc2FnZX1cbiAgICA8XC9wPjxcL2Rpdj5cbjxhZGRyZXNzIGNsYXNzPVwiZmMtdGV4dFwiPnttYXJrZXJfYWRkcmVzc308XC9hZGRyZXNzPlxuPFwvZGl2PlxuIiwiaW5mb3dpbmRvd19ib3VuY2VfYW5pbWF0aW9uIjoiY2xpY2siLCJpbmZvd2luZG93X2Ryb3BfYW5pbWF0aW9uIjpmYWxzZSwiY2xvc2VfaW5mb3dpbmRvd19vbl9tYXBfY2xpY2siOmZhbHNlLCJpbmZvd2luZG93X3NraW4iOnsibmFtZSI6ImRlZmF1bHQiLCJ0eXBlIjoiaW5mb3dpbmRvdyIsInNvdXJjZWNvZGUiOiI8ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1ib3ggZmMtaXRlbWNvbnRlbnQtcGFkZGluZyBcIj5cclxuICAgIDxkaXYgY2xhc3M9XCJmYy1pdGVtLXRpdGxlXCI+e21hcmtlcl90aXRsZX0gPHNwYW4gY2xhc3M9XCJmYy1iYWRnZSBpbmZvXCI+e21hcmtlcl9jYXRlZ29yeX08XC9zcGFuPjxcL2Rpdj5cclxuICAgIDxkaXYgY2xhc3M9XCJmYy1pdGVtLWNvbnRlbnQgZmMtaXRlbS1ib2R5LXRleHQtY29sb3JcIj5cclxuICAgICAgICA8ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1mZWF0dXJlZCBmYy1sZWZ0IGZjLWl0ZW0tdG9wX3NwYWNlXCI+XHJcbiAgICAgICAgICAgIHttYXJrZXJfaW1hZ2V9XHJcbiAgICAgICAgPFwvZGl2PlxyXG4gICAgICAgIHttYXJrZXJfbWVzc2FnZX1cclxuICAgIDxcL2Rpdj5cclxuICAgIDxhZGRyZXNzIGNsYXNzPVwiZmMtdGV4dFwiPnttYXJrZXJfYWRkcmVzc308XC9hZGRyZXNzPlxyXG48XC9kaXY+In0sImRlZmF1bHRfaW5mb3dpbmRvd19vcGVuIjpmYWxzZSwiaW5mb3dpbmRvd19vcGVuX2V2ZW50IjoiY2xpY2siLCJmdWxsX3NjcmVlbl9jb250cm9sIjpmYWxzZSwic2VhcmNoX2NvbnRyb2wiOnRydWUsInpvb21fY29udHJvbCI6dHJ1ZSwibWFwX3R5cGVfY29udHJvbCI6ZmFsc2UsInN0cmVldF92aWV3X2NvbnRyb2wiOmZhbHNlLCJmdWxsX3NjcmVlbl9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJzZWFyY2hfY29udHJvbF9wb3NpdGlvbiI6IlRPUF9MRUZUIiwiem9vbV9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfdHlwZV9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfdHlwZV9jb250cm9sX3N0eWxlIjoiSE9SSVpPTlRBTF9CQVIiLCJzdHJlZXRfdmlld19jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfY29udHJvbCI6dHJ1ZSwibWFwX2NvbnRyb2xfc2V0dGluZ3MiOmZhbHNlLCJtYXBfem9vbV9hZnRlcl9zZWFyY2giOjYsIndpZHRoIjoiIiwiaGVpZ2h0IjoiMzMwIn0sInBsYWNlcyI6W3siaWQiOiIxIiwidGl0bGUiOiJLZXJhdG9uIiwiYWRkcmVzcyI6IktlcmF0b24gSm9namEiLCJzb3VyY2UiOiJtYW51YWwiLCJjb250ZW50IjoiS2VyYXRvbiBOZ2F5b2d5YWthcnRhIEhhZGluaW5ncmF0IGF0YXUgS2VyYXRvbiBZb2d5YWthcnRhIG1lcnVwYWthbiBpc3RhbmEgcmVzbWkgS2VzdWx0YW5hbiBOZ2F5b2d5YWthcnRhIEhhZGluaW5ncmF0IHlhbmcga2luaSBiZXJsb2thc2kgZGkgS290YSBZb2d5YWthcnRhLiBLZXJhdG9uIGluaSBkaWRpcmlrYW4gb2xlaCBTcmkgU3VsdGFuIEhhbWVuZ2t1YnV3YW5hIEkgcGFkYSB0YWh1biAxNzU1IHNlYmFnYWkgSXN0YW5hXC9LZXJhdG9uIFlvZ3lha2FydGEgeWFuZyBiYXJ1IGJlcmRpcmkgYWtpYmF0IHBlcnBlY2FoYW4gTWF0YXJhbSBJc2xhbSBkZW5nYW4gYWRhbnlhIFBlcmphbmppYW4gR2l5YW50aS4gS2VyYXRvbiBpbmkgYWRhbGFoIHBlY2FoYW4gZGFyaSBLZXJhdG9uIFN1cmFrYXJ0YSBIYWRpbmluZ3JhdCBkYXJpIE1hdGFyYW0gSXNsYW0gU3VyYWthcnRhIChLZXJhamFhbiBTdXJha2FydGEpLiBTZWhpbmdnYSBkaW5hc3RpIE1hdGFyYW0gZGl0ZXJ1c2thbiBvbGVoIDIgS2VyYWphYW4geWFrbmkgS2VzdWx0YW5hbiBZb2d5YWthcnRhIGRhbiBLZXN1bmFuYW4gU3VyYWthcnRhLiBUb3RhbCBsdWFzIHdpbGF5YWgga2VzZWx1cnVoYW4ga2VyYXRvbiB5b2d5YWthcnRhIG1lbmNhcGFpIDE0NCBoZWt0YXIsIHlha25pIG1lbGlwdXRpIHNlbHVydWggYXJlYSBkaSBkYWxhbSBiZW50ZW5nIEJhbHV3YXJ0aSwgYWx1bi1hbHVuIExvciwgYWx1bi1hbHVuIEtpZHVsLCBnYXB1cmEgR2xhZGFrLCBkYW4ga29tcGxla3MgTWFzamlkIEdlZGhlIFlvZ3lha2FydGEuIFNlbWVudGFyYSBsdWFzIGRhcmkga2VkaGF0b24gKGludGkga2VyYXRvbikgbWVuY2FwYWkgMTMgaGVrdGFyLiAiLCJsb2NhdGlvbiI6eyJpY29uIjoiaHR0cHM6XC9cL2phbmdrYWguaWRcL3dwLWNvbnRlbnRcL3BsdWdpbnNcL3dwLWdvb2dsZS1tYXAtcGx1Z2luXC9hc3NldHNcL2ltYWdlc1wvXC9kZWZhdWx0X21hcmtlci5wbmciLCJsYXQiOiItNy44MDUxMzU2NzE5NTE1NTMiLCJsbmciOiIxMTAuMzY0MjEzODI4NzM0NjYiLCJjaXR5IjoiWW9neWFrYXJ0YSIsInN0YXRlIjoiRGFlcmFoIElzdGltZXdhIFlvZ3lha2FydGEiLCJjb3VudHJ5IjoiSW5kb25lc2lhIiwib25jbGlja19hY3Rpb24iOiJtYXJrZXIiLCJyZWRpcmVjdF9jdXN0b21fbGluayI6IiIsIm1hcmtlcl9pbWFnZSI6IjxkaXYgY2xhc3M9J2ZjLWZlYXR1cmUtaW1nJz48aW1nIGxvYWRpbmc9J2xhenknIGRlY29kaW5nPSdhc3luYycgYWx0PSdLZXJhdG9uJyBzcmM9J2h0dHBzOlwvXC91cGxvYWQud2lraW1lZGlhLm9yZ1wvd2lraXBlZGlhXC9jb21tb25zXC90aHVtYlwvM1wvMzNcL0tyYXRvbl9Zb2d5YWthcnRhX1BhZ2VsYXJhbi5qcGdcLzEwMjRweC1LcmF0b25fWW9neWFrYXJ0YV9QYWdlbGFyYW4uanBnJyBjbGFzcz0nd3BnbXBfbWFya2VyX2ltYWdlIGZjLWl0ZW0tZmVhdHVyZWRfaW1hZ2UgZmMtaXRlbS1sYXJnZScgXC8+PFwvZGl2PiIsIm9wZW5fbmV3X3RhYiI6InllcyIsInBvc3RhbF9jb2RlIjoiIiwiZHJhZ2dhYmxlIjpmYWxzZSwiaW5mb3dpbmRvd19kZWZhdWx0X29wZW4iOmZhbHNlLCJhbmltYXRpb24iOiJCT1VOQ0UiLCJpbmZvd2luZG93X2Rpc2FibGUiOnRydWUsInpvb20iOjUsImV4dHJhX2ZpZWxkcyI6IiJ9LCJjYXRlZ29yaWVzIjpbeyJpZCI6IiIsIm5hbWUiOiIiLCJ0eXBlIjoiY2F0ZWdvcnkiLCJleHRlbnNpb25fZmllbGRzIjpbXSwiaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL1wvZGVmYXVsdF9tYXJrZXIucG5nIn1dLCJjdXN0b21fZmlsdGVycyI6IiJ9XSwic3R5bGVzIjoiIiwibGlzdGluZyI6IiIsIm1hcmtlcl9jbHVzdGVyIjp7ImdyaWQiOiIxNSIsIm1heF96b29tIjoiMSIsImltYWdlX3BhdGgiOiJodHRwczpcL1wvamFuZ2thaC5pZFwvd3AtY29udGVudFwvcGx1Z2luc1wvd3AtZ29vZ2xlLW1hcC1wbHVnaW5cL2Fzc2V0c1wvaW1hZ2VzXC9tIiwiaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL2NsdXN0ZXJcLzQucG5nIiwiaG92ZXJfaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL2NsdXN0ZXJcLzQucG5nIiwiYXBwbHlfc3R5bGUiOmZhbHNlLCJtYXJrZXJfem9vbV9sZXZlbCI6IjEifSwibWFwX3Byb3BlcnR5Ijp7Im1hcF9pZCI6IjEiLCJkZWJ1Z19tb2RlIjpmYWxzZX19

Daksinargastuti, Menyenandungkan Kembali Syair-syair Kuno Yogyakarta

Daksinargastuti merupakan kegiatan Komunitas Jangkah Nusantara yang meliputi pemetaan, preservasi naskah kuno, bengkel sastra-aksara dan macapat, serta alih aksara manuskrip.
Lihat Rekaman Baca Pengantar
poster diskusi