Karas

Pralaya: Kiamat dan Musnahnya bangsa Yadawa dalam Mosalaparwa Jawa Kuna

Kresna, sang pembawa risalah Ilahi itu berakhir musnah. Mengapa?

Jumat, 23 April 2021

1,015 Kali

0 Kali

10 Menit

Kisah tentang berakhirnya dunia beserta peradaban manusia menjadi salah satu tema yang sudah sejak zaman dahulu direpresentasikan dalam berbagai karya fiksi. Sejak abad pertama Masehi, dari kisah Kapal Nabi Nuh, Matsya Purana, Risālat Fādil ibn Nātiq (abad 13), Le Dernier Homme (abad 18),  hingga kini lewat penggambarannya dalam film-film sci-fi abad 21 yang mengusung tokoh berupa alien dan robot sebagai agen yang terlibat dalam pemusnahan bumi misalnya, tema tersebut selalu memiliki ruang untuknya berkembang. Seringnya, formula yang didapati dalam naratif terkait tema itu melibatkan peristiwa kejadian bencana yang kemudian sebagai akhirnya berujung pada tamatnya eksistensi manusia. Tema sastra berupa imajinasi manusia akan kehancurannya sendiri ini terekam pula dalam sastra Jawa Kuna, salah satunya dalam bagian dari kisah Mahābhārata, yakni dalam naskah Mosalaparwa yang bercerita tentang musnahnya bangsa Yadawa. Tulisan ini adalah bentuk telaah sastra akan isinya dan penginterpretasian lebih lanjut hasil penerjemahan naskahnya, sehingga dapat ditunjukkan dalam beberapa poin, bagaimana sejatinya sebuah naskah adalah media penyimpanan dan penyampaian konsep religius masyarakat yang memroduksinya.

Fiksi Apokaliptik dan Pos-Apokaliptik

Pertama, perlu kiranya disinggung sekilas tentang pemosisian karya dengan tema di atas tadi berdasarkan jenis genre literer, karya fiksi yang memuat tema-tema itu menduduki klasifikasi tersendiri yang dinamakan apokaliptik. Kata apokaliptik berasal dari kata apokalypsis dalam bahasa Koine Yunani atau apocalypse dalam Bahasa Inggris yang berarti ‘penyingkapan’ atau ‘pembukaan’, akan tetapi pengertiannya dalam istilah ini cenderung mengacu pada naratif tentang kejadian akhir dunia. Pitetti (2017:438) menyebutkan apokaliptik sebagai istilah yang digunakan bersandingan dengan pos-apokaliptik. Di satu sisi, apokaliptik merujuk pada mode naratif yang mengisahkan kejadian-kejadian yang membawa perubahan besar, yang mewadahi peristiwa bersejarah yang penuh dengan kekacaubalauan dan tidak dapat dimengerti. Kejadian dalam tema apokaliptik itu juga mengisyaratkan putusnya dunia lama dan dunia baru, dan menandai pula perubahan masa. Ide dalam naratif apokaliptik merupakan proses perkembangan sejarah yang di dalamnya terlukis pengalaman manusia dan pergolakannya yang traumatis dalam rangka transisi antara sistem dunia yang berbeda. Di sisi lain, cerita pos-apokaliptik mengisahkan kelangsungan hidup dan kontinuitas yang mengaburkan before/after perubahan besar tadi. Selain itu, ide dalam naratif pos-apokaliptik sendiri tidak berkisar pada perkembangan sejarah, tetapi lebih menitikberatkan pada ketidaktentuan masa depan yang secara konstan muncul sebagai dampak dari masa lalu.

Tema sastra apokaliptik memiliki beberapa karakteristik. Pada dasarnya, tema tersebut muncul dalam masa krisis eskatologis dan penuh dengan simbolisme serta ajaran pada akhir masa atau akhir dari Days of the Lord (Collins, 2014:1-19). Selain itu, beberapa cirinya antara lain adalah: (a) berhadapan dengan informasi tersembunyi yang tersingkap melalui cara supernatural seperti misalnya mimpi, kedatangan malaikat, atau diweruhi sesuatu, (b) melukiskan masa kini yang penuh dengan kemerosotan dan ketidakbenaran, (c) terdapat simbolisme yang diwujudkan dengan angka, warna, malaikat, atau bahkan makhluk jahanam, (d) dikarang secara anonim atau pseudonim, (e) menceritakan sesuatu yang dualistik, misal good-evil serta reward dan punishment bagi masing-masing.

Mosalaparwa  sebagai Naratif Apokaliptik Sekaligus Pos-Apokaliptik

Kedua, dalam penempatan Mosalaparwa  Jawa Kuna sebagai fiksi apokaliptik dan sekaligus juga pos-apokaliptik, terdapat bagian-bagian naratif yang membentuk struktur teks dan mencerminkan karakteristik tadi dalam teks antara lain sebagai berikut. Kisah diawali dengan setting kejadian yang melukiskan degradasi moral bangsa Yadawa berupa penghinaan yang mereka lakukan kepada sekelompok brahmana yang sedang berada di Dwarawati (fol.1B-2B). Dalam hal ini, Samba berpura-pura menjadi perempuan dan memohon untuk dianugerahi seorang anak. Terang saja aksi para Yadu ini hanya membuahkan kutukan yang akan membinasakan mereka semua nantinya, yakni melalui kelahiran sebuah palu gada dari Samba yang adalah lelaki. Usai jatuhnya kutukan ini, bangsa Yadawa yang lantas menjadi kacau balau sebetulnya atas perintah Maharaja Ugrasena telah mengusahakan ruwat lewat laku prihatin dengan tidak meminum minuman memabukkan (fol.3A), namun ternyata konsekuensi punishment tetap harus mereka hadapi. Pada hari di mana mereka dihimbau untuk pergi bersuci ke Prabhaṣa oleh Kresna, terjadilah percekcokan yang berakibat pada kematian dua tokoh Yadu yakni Satyaki dan Kertawarma (fol.6A-7A). Kematian mereka pada gilirannya memicu terbentuknya dua kubu besar yang kemudian saling baku hantam membunuh dalam perang sesama bangsa hingga mengakibatkan kemusnahannya (fol.7B, 8B, 9A). Sebelum bagian naratif ini, terdapat penyingkapan tanda-tanda peristiwa naas itu menggunakan simbolisme melalui beberapa media supernatural (fol.3B-5B), antara lain; (a) kedatangan Sang Hyang Purusangkara yang berwajah amat menakutkan, kuning gelap warnanya, tanpa alis tanpa rambut, mengintipi pintu golongan Yadu pada malam hari tanpa bisa dikalahkan, (b) keganjilan-keganjilan yang menunjukkan kemerosotan dalam berbagai aspek hidup bangsa Yadu dan (c) universalitas mimpi antara para Yadu lelaki dan perempuan dalam melihat Sang Hyang Kala. Adapun bagian naratif setelah kejadian naas itu yakni kedatangan Arjuna dan bagaimana ia menyaksikan kehancuran di depan matanya dan berhadapan dengan itu (fol.11A-14A) berisi usaha-usahanya untuk membentuk kontinuitas dari bangsa Yadu. Atas usul Yudhisthira dia pun pergi menemui Byasa untuk mendapatkan wejangan dan ajaran tentang akhir masa(fol.14B-15A), dan inilah yang sekaligus menjadi bagian akhir naskah Mosalaparwa , seolah sebagai tujuan dari naratif teks secara keseluruhan.

Konsep Pralaya dan Naratif tentang Kiamat atau Kehancuran

Ketiga, setelah jelas bahwa naratif teks tersampaikan menggunakan mode apokaliptik-pos-apokaliptik, maka selanjutnya dapat dicermati hakikat teks yang tidak hanya menampilkan naratif yang demikian tanpa makna yang bisa diinterpretasikan lebih jauh lagi. Mengenai hal ini, banyak penelitian sudah pernah dilakukan. Satu di antaranya yang sangat membantu dalam pengungkapan makna naratif Mosalaparwa  ini adalah studi yang dilakukan oleh Madeleine Biardeau (1971: 17-89). Ide utama yang telah Biardeau kemukakan adalah konsep krisis antara dua zaman ‘yuga’ dan terjadinya penghancuran atau akhir dunia ‘pralaya’. Konsep kehancuran zaman ini menurutnya merupakan imbas dari aksi penghancuran yang diselenggarakan bersama oleh Śiwa dan Wisnu, dewa bhakti dan yoga, yang kemudian memulihkan tatanan baru setelah krisis kosmik yang terjadi bersamaan dengan keruntuhan dharma (Habibah, 2016:108).

Konsep pralaya sangat berkaitan dengan perhitungan waktu dalam mitologi Hindu. Pada banyak keyakinan, kita telah mengetahui beberapa teori tentang penciptaan beserta satu kali masa penghancuran sebagai akhir dari dunia yang dihuni sekarang ini. Pada mitologi Hindu, hal ini berbeda. Perhitungan waktu dalam tradisi Hindu tidak bersifat linier tetapi merupakan sebuah siklus yang dikenal dengan istilah roda waktu kālacakra. Semesta ini, menurut tradisi Puranik, mengalami penciptaan ‘sriṣṭi’, penghancuran ‘pralaya’, dan penciptaan kembali dalam serangkaian siklus yang berputar layaknya sebuah roda dan berulang terus menerus serta tidak mempunyai ujung (Habibah, 2016:109).

Dalam kosmologi Hindu (Oldmeadow, 2007: 273), alam semesta berlangsung selama 311.040 miliar tahun yang disebut dengan satu masa kehidupan Brahma. Satu masa kehidupan Brahma terdiri atas 100 tahun Brahma atau sekitar 36.000 hari Brahma ‘kalpa’. Setelah masa tersebut terlewati, sebuah periode kehancuran akan terjadi, sebelum akhirnya dilakukan penciptaan kembali. Brahma di sini merupakan manifestasi dari Brahma sebagai pencipta. Satu hari Brahma ‘kalpa’ terdiri dari 14 manwantara, sementara satu era manwantara terdiri dari 71 caturyuga/mahayuga. Caturyuga ini meliputi Satyayuga, Tretāyuga, Dwāparayuga, dan Kaliyuga. Pralaya dalam hal ini menunjuk pada periode kehancuran yang terjadi pada setiap akhir masa satu hari Brahma atau kalpa, sedangkan periode penghancuran yang lebih besar yang menandai akhir masa kehidupan Brahma disebut dengan mahāpralaya (Biardeau, 1971: 5).

Konsep Pralaya dalam Mahābhārata

Keempat, seperti diungkapkan Hiltebeitel (1991: 310), Biardeau lebih lanjut menunjukkan tiga fase pralaya yang memiliki metafora dengan tiga peristiwa esensial yang terjadi dalam epos Mahābhārata. Ketiga fase tersebut meliputi (1) bencana kekeringan, (2) penghancuran oleh Kālāgnirudra (Śiwa) melalui api yogis, dan (3) penghancuran kedua oleh aliran atau genangan air tempat Nārāyaṇa (Wiṣṇu) melakukan yoga tidurnya. Ketiga fase pralaya ini kemudian akan diikuti oleh penciptaan kembali oleh Brāhma. Metafora ketiga fase ini ditemukan Biardeau dalam epos Mahābhārata antara lain lewat tiga peristiwa berikut: (1) bencana kekeringan dilihat oleh Biardeau sebagai simbol intrik-intrik yang berujung pada oposisi antara Pāṇḍawa dan Kurawa, antara dharma dan adharma, (2) penghancuran oleh Kālāgnirudra (Śiwa) melalui api yogis tidak lain digambarkan dengan perang Bhāratayuddha sendiri yang menghancurkan garis keturunan dinasti Kuru, dan (3) peran Kresna sebagai awatara Wiṣṇu yang menghidupkan kembali jabang bayi yang dikandung Uttarī untuk menyelamatkan generasi. Peran Kresna ini secara tidak langsung menjaga kelestarian generasi, paralel dengan penciptaan kembali sebagai sebuah awal yang baru oleh Brāhma (Habibah, 2016:112).

Konsep Pralaya dalam Mosalaparwa

Kelima, Habibah (2016:113-117) menunjukkan kemudian bahwa pola dalam melihat konsep pralaya itu dapat pula diterapkan pada teks Mosalaparwa  sebagai bagian dari epos Mahābhārata dengan asumsi bahwa terdapat metafora sejenis antara fase pralaya dengan kejadian pada naratif teks. Melalui gabungan gagasan dari Biardeau dan Hiltebeitel, Habibah menyimpulkan bahwa terjadinya pralaya didahului dengan sebuah krisis eskatologis pada era tertentu. Apabila dalam Mahābhārata Biardeau melihat krisis ini sebagai fase pertama pralaya yakni intrik-intrik yang berujung pada oposisi antara Pāṇḍawa dan Kurawa, antara dharma dan adharma, maka dalam Mosalaparwa  krisis ini dapat dilihat pada penggambaran kejadian-kejadian abnormal pasca para brahmana melayangkan kutukannya kepada bagsa Yadu. Seperti penghancuran oleh Kālāgnirudra (Śiwa) melalui api yogis dalam Bhāratayuddha, Śiwa dalam Mosalaparwa pada fase kedua pralaya melakukan penghancuran melalui kālāgni (atau dalam teks kālabahni) ‘api penghancur dunia’. Fase ini dilukiskan dengan perang saudara antara bangsa Yadu yang diawali dengan keributan kecil antara Satyaki dan Kertawarma dan berujung pada kemusnahan golongan Yadu. Selanjutnya, yang disebut reduplikasi oleh Biardeau dalam penghancuran fase kedua oleh api, adalah penghancuran oleh air. Dalam Mosalaparwa , Kresna berubah menjadi Wiṣṇumūrti setelah dipanah oleh Jara saat melakukan yoga dhāraṇa. Di sini kemudian terlihat kemunculan Wisnu sebagai tokoh yang juga memerankan peran penting dalam fase air pralaya, bersamaan dengan Śiwa. Lebih lanjut, metafora penggambaran Dwārawati sepeninggalan Kresna dan Baladewa terlihat oleh Arjuna sebagai sungai Gangga. Setelah melewati periode kehancuran dalam dua babak, menurut hukum yang berlaku dalam tradisi penciptaan Hindu, diperlukan adanya sebuah awal yang baru. Dalam Mosalaparwa , hal tersebut dilakukan Arjuna dengan mengangkat Bhadra sebagai raja yang didampingi oleh wsYogandhara. Kedua Yadu ini kemudian memulai pemerintahan yang baru.

Kesimpulan

Kita sering mendengar bahwa berdasarkan penelitian filologi dapat diketahui latar belakang kebudayaan suatu masyarakat yang menghasilkan karya tersebut seperti agama, kepercayaan, adat-istiadat, ideologi dan sebagainya. Oleh karena filologi bertujuan mengungkapkan makna teks tersebut dalam segi kebudayaannya (Baroroh-Baried, 1985:3), maka sebetulnya setelah pekerjaan filologis selesai, tugas berlanjut pada pengungkapan makna sehubungan dengan permasalahan tekstual dan kultural. Pengungkapan makna teks ini dapat dilakukan dengan pendekatan kritik sastra. Melalui kritik sastra terhadap Mosalaparwa , dapat kita ketahui bahwa yang termaktub pada teks ternyata bukan hanya naratif tanpa makna yang lebih dalam. Kisah mengenai musnahnya bangsa Yadawa dan kematian Kresna sendiri merupakan pengejawantahan dari konsep pralaya dan bagaimana manusia dalam tradisi Hindu melihat kehancuran sebagai refleksi dari peran yang secara innate menjadi nature sang dewa.

Referensi

Baried, Siti Baroroh, Siti Chamamah Soeratno, Sawu, Sulastin Sutrisno, dan Kun Zachrun Istanti. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Biardeau, Madeleine. 1971. “II. Études de mythologie hindoue (III). I. Cosmogonies purâniques (suite)” dalam Bulletin de l’Ecole française d’Extrême-Orient. Tome 58, 1971. pp. 17-89

                                       1976. “IV. Études de mythologie hindoue (IV) [II. Bhakti et avatàra” dalam Bulletin de l’Ecole française d’Extrême-Orient. Tome 63, 1976. pp. 111-263,

Collins, John J. 2014. The Oxford Handbook of Apocalyptic Literature. New York: Oxford University Press.

Habibah, Nurmalia. 2016. Mosalaparwa Jawa Kuna: Suntingan Teks, Terjemahan, dan Catatan Mengenai Konsep Pralaya. Skripsi, UGM.

Hiltebeitel, Alf. 1990. The Ritual of Battle: Krishna in the Mahabharata. Albany: State University of New York Press.

Oldmeadow, Harry. 2007. Light from the East: Eastern Wisdom for the Modern West. Bloomington: World Wisdom.

Pitetti, Connor. 2017. “Uses of the End of the World: Apocalypse and Postapocalypse as Narrative Modes” dalam Science Fiction Studies. SF-TH Inc.



Nurmalia Habibah

Penulis

gantiemailnya3@email.com

eyJtYXBfb3B0aW9ucyI6eyJjZW50ZXJfbGF0IjoiLTcuODA1MTM1NjcxOTUxNTUzIiwiY2VudGVyX2xuZyI6IjExMC4zNjQyMTM4Mjg3MzQ2NiIsInpvb20iOjEwLCJtYXBfdHlwZV9pZCI6IlJPQURNQVAiLCJmaXRfYm91bmRzIjp0cnVlLCJkcmFnZ2FibGUiOnRydWUsInNjcm9sbF93aGVlbCI6dHJ1ZSwiZGlzcGxheV80NV9pbWFnZXJ5IjoiIiwibWFya2VyX2RlZmF1bHRfaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL1wvZGVmYXVsdF9tYXJrZXIucG5nIiwiaW5mb3dpbmRvd19zZXR0aW5nIjoiPGRpdiBjbGFzcz1cImZjLWl0ZW0tYm94IGZjLWl0ZW1jb250ZW50LXBhZGRpbmcgXCI+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS10aXRsZVwiPnttYXJrZXJfdGl0bGV9IDxzcGFuIGNsYXNzPVwiZmMtYmFkZ2UgaW5mb1wiPnttYXJrZXJfY2F0ZWdvcnl9PFwvc3Bhbj48XC9kaXY+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1jb250ZW50IGZjLWl0ZW0tYm9keS10ZXh0LWNvbG9yXCI+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1mZWF0dXJlZCBmYy1sZWZ0IGZjLWl0ZW0tdG9wX3NwYWNlXCI+XG4gICAgICAgICAgICB7bWFya2VyX2ltYWdlfVxuICAgICAgICA8XC9kaXY+XG48cD4gICAgICAgIHttYXJrZXJfbWVzc2FnZX1cbiAgICA8XC9wPjxcL2Rpdj5cbjxhZGRyZXNzIGNsYXNzPVwiZmMtdGV4dFwiPnttYXJrZXJfYWRkcmVzc308XC9hZGRyZXNzPlxuPFwvZGl2PlxuIiwiaW5mb3dpbmRvd19ib3VuY2VfYW5pbWF0aW9uIjoiY2xpY2siLCJpbmZvd2luZG93X2Ryb3BfYW5pbWF0aW9uIjpmYWxzZSwiY2xvc2VfaW5mb3dpbmRvd19vbl9tYXBfY2xpY2siOmZhbHNlLCJpbmZvd2luZG93X3NraW4iOnsibmFtZSI6ImRlZmF1bHQiLCJ0eXBlIjoiaW5mb3dpbmRvdyIsInNvdXJjZWNvZGUiOiI8ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1ib3ggZmMtaXRlbWNvbnRlbnQtcGFkZGluZyBcIj5cclxuICAgIDxkaXYgY2xhc3M9XCJmYy1pdGVtLXRpdGxlXCI+e21hcmtlcl90aXRsZX0gPHNwYW4gY2xhc3M9XCJmYy1iYWRnZSBpbmZvXCI+e21hcmtlcl9jYXRlZ29yeX08XC9zcGFuPjxcL2Rpdj5cclxuICAgIDxkaXYgY2xhc3M9XCJmYy1pdGVtLWNvbnRlbnQgZmMtaXRlbS1ib2R5LXRleHQtY29sb3JcIj5cclxuICAgICAgICA8ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1mZWF0dXJlZCBmYy1sZWZ0IGZjLWl0ZW0tdG9wX3NwYWNlXCI+XHJcbiAgICAgICAgICAgIHttYXJrZXJfaW1hZ2V9XHJcbiAgICAgICAgPFwvZGl2PlxyXG4gICAgICAgIHttYXJrZXJfbWVzc2FnZX1cclxuICAgIDxcL2Rpdj5cclxuICAgIDxhZGRyZXNzIGNsYXNzPVwiZmMtdGV4dFwiPnttYXJrZXJfYWRkcmVzc308XC9hZGRyZXNzPlxyXG48XC9kaXY+In0sImRlZmF1bHRfaW5mb3dpbmRvd19vcGVuIjpmYWxzZSwiaW5mb3dpbmRvd19vcGVuX2V2ZW50IjoiY2xpY2siLCJmdWxsX3NjcmVlbl9jb250cm9sIjpmYWxzZSwic2VhcmNoX2NvbnRyb2wiOnRydWUsInpvb21fY29udHJvbCI6dHJ1ZSwibWFwX3R5cGVfY29udHJvbCI6ZmFsc2UsInN0cmVldF92aWV3X2NvbnRyb2wiOmZhbHNlLCJmdWxsX3NjcmVlbl9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJzZWFyY2hfY29udHJvbF9wb3NpdGlvbiI6IlRPUF9MRUZUIiwiem9vbV9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfdHlwZV9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfdHlwZV9jb250cm9sX3N0eWxlIjoiSE9SSVpPTlRBTF9CQVIiLCJzdHJlZXRfdmlld19jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfY29udHJvbCI6dHJ1ZSwibWFwX2NvbnRyb2xfc2V0dGluZ3MiOmZhbHNlLCJtYXBfem9vbV9hZnRlcl9zZWFyY2giOjYsIndpZHRoIjoiIiwiaGVpZ2h0IjoiMzMwIn0sInBsYWNlcyI6W3siaWQiOiIxIiwidGl0bGUiOiJLZXJhdG9uIiwiYWRkcmVzcyI6IktlcmF0b24gSm9namEiLCJzb3VyY2UiOiJtYW51YWwiLCJjb250ZW50IjoiS2VyYXRvbiBOZ2F5b2d5YWthcnRhIEhhZGluaW5ncmF0IGF0YXUgS2VyYXRvbiBZb2d5YWthcnRhIG1lcnVwYWthbiBpc3RhbmEgcmVzbWkgS2VzdWx0YW5hbiBOZ2F5b2d5YWthcnRhIEhhZGluaW5ncmF0IHlhbmcga2luaSBiZXJsb2thc2kgZGkgS290YSBZb2d5YWthcnRhLiBLZXJhdG9uIGluaSBkaWRpcmlrYW4gb2xlaCBTcmkgU3VsdGFuIEhhbWVuZ2t1YnV3YW5hIEkgcGFkYSB0YWh1biAxNzU1IHNlYmFnYWkgSXN0YW5hXC9LZXJhdG9uIFlvZ3lha2FydGEgeWFuZyBiYXJ1IGJlcmRpcmkgYWtpYmF0IHBlcnBlY2FoYW4gTWF0YXJhbSBJc2xhbSBkZW5nYW4gYWRhbnlhIFBlcmphbmppYW4gR2l5YW50aS4gS2VyYXRvbiBpbmkgYWRhbGFoIHBlY2FoYW4gZGFyaSBLZXJhdG9uIFN1cmFrYXJ0YSBIYWRpbmluZ3JhdCBkYXJpIE1hdGFyYW0gSXNsYW0gU3VyYWthcnRhIChLZXJhamFhbiBTdXJha2FydGEpLiBTZWhpbmdnYSBkaW5hc3RpIE1hdGFyYW0gZGl0ZXJ1c2thbiBvbGVoIDIgS2VyYWphYW4geWFrbmkgS2VzdWx0YW5hbiBZb2d5YWthcnRhIGRhbiBLZXN1bmFuYW4gU3VyYWthcnRhLiBUb3RhbCBsdWFzIHdpbGF5YWgga2VzZWx1cnVoYW4ga2VyYXRvbiB5b2d5YWthcnRhIG1lbmNhcGFpIDE0NCBoZWt0YXIsIHlha25pIG1lbGlwdXRpIHNlbHVydWggYXJlYSBkaSBkYWxhbSBiZW50ZW5nIEJhbHV3YXJ0aSwgYWx1bi1hbHVuIExvciwgYWx1bi1hbHVuIEtpZHVsLCBnYXB1cmEgR2xhZGFrLCBkYW4ga29tcGxla3MgTWFzamlkIEdlZGhlIFlvZ3lha2FydGEuIFNlbWVudGFyYSBsdWFzIGRhcmkga2VkaGF0b24gKGludGkga2VyYXRvbikgbWVuY2FwYWkgMTMgaGVrdGFyLiAiLCJsb2NhdGlvbiI6eyJpY29uIjoiaHR0cHM6XC9cL2phbmdrYWguaWRcL3dwLWNvbnRlbnRcL3BsdWdpbnNcL3dwLWdvb2dsZS1tYXAtcGx1Z2luXC9hc3NldHNcL2ltYWdlc1wvXC9kZWZhdWx0X21hcmtlci5wbmciLCJsYXQiOiItNy44MDUxMzU2NzE5NTE1NTMiLCJsbmciOiIxMTAuMzY0MjEzODI4NzM0NjYiLCJjaXR5IjoiWW9neWFrYXJ0YSIsInN0YXRlIjoiRGFlcmFoIElzdGltZXdhIFlvZ3lha2FydGEiLCJjb3VudHJ5IjoiSW5kb25lc2lhIiwib25jbGlja19hY3Rpb24iOiJtYXJrZXIiLCJyZWRpcmVjdF9jdXN0b21fbGluayI6IiIsIm1hcmtlcl9pbWFnZSI6IjxkaXYgY2xhc3M9J2ZjLWZlYXR1cmUtaW1nJz48aW1nIGxvYWRpbmc9J2xhenknIGRlY29kaW5nPSdhc3luYycgYWx0PSdLZXJhdG9uJyBzcmM9J2h0dHBzOlwvXC91cGxvYWQud2lraW1lZGlhLm9yZ1wvd2lraXBlZGlhXC9jb21tb25zXC90aHVtYlwvM1wvMzNcL0tyYXRvbl9Zb2d5YWthcnRhX1BhZ2VsYXJhbi5qcGdcLzEwMjRweC1LcmF0b25fWW9neWFrYXJ0YV9QYWdlbGFyYW4uanBnJyBjbGFzcz0nd3BnbXBfbWFya2VyX2ltYWdlIGZjLWl0ZW0tZmVhdHVyZWRfaW1hZ2UgZmMtaXRlbS1sYXJnZScgXC8+PFwvZGl2PiIsIm9wZW5fbmV3X3RhYiI6InllcyIsInBvc3RhbF9jb2RlIjoiIiwiZHJhZ2dhYmxlIjpmYWxzZSwiaW5mb3dpbmRvd19kZWZhdWx0X29wZW4iOmZhbHNlLCJhbmltYXRpb24iOiJCT1VOQ0UiLCJpbmZvd2luZG93X2Rpc2FibGUiOnRydWUsInpvb20iOjUsImV4dHJhX2ZpZWxkcyI6IiJ9LCJjYXRlZ29yaWVzIjpbeyJpZCI6IiIsIm5hbWUiOiIiLCJ0eXBlIjoiY2F0ZWdvcnkiLCJleHRlbnNpb25fZmllbGRzIjpbXSwiaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL1wvZGVmYXVsdF9tYXJrZXIucG5nIn1dLCJjdXN0b21fZmlsdGVycyI6IiJ9XSwic3R5bGVzIjoiIiwibGlzdGluZyI6IiIsIm1hcmtlcl9jbHVzdGVyIjp7ImdyaWQiOiIxNSIsIm1heF96b29tIjoiMSIsImltYWdlX3BhdGgiOiJodHRwczpcL1wvamFuZ2thaC5pZFwvd3AtY29udGVudFwvcGx1Z2luc1wvd3AtZ29vZ2xlLW1hcC1wbHVnaW5cL2Fzc2V0c1wvaW1hZ2VzXC9tIiwiaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL2NsdXN0ZXJcLzQucG5nIiwiaG92ZXJfaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL2NsdXN0ZXJcLzQucG5nIiwiYXBwbHlfc3R5bGUiOmZhbHNlLCJtYXJrZXJfem9vbV9sZXZlbCI6IjEifSwibWFwX3Byb3BlcnR5Ijp7Im1hcF9pZCI6IjEiLCJkZWJ1Z19tb2RlIjpmYWxzZX19

Daksinargastuti, Menyenandungkan Kembali Syair-syair Kuno Yogyakarta

Daksinargastuti merupakan kegiatan Komunitas Jangkah Nusantara yang meliputi pemetaan, preservasi naskah kuno, bengkel sastra-aksara dan macapat, serta alih aksara manuskrip.
Lihat Rekaman Baca Pengantar
poster diskusi