Wara

Pengadilan Senapati Jimbun, Ratu Shima, dan Kasus Korupsi Dana Bansos

Sebuah pelajaran dari naskah peradilan era Majapahit, Demak, dan Mataram Islam, terkait hukuman mati bagi koruptor.

Sabtu, 27 Maret 2021

357 Kali

0 Kali

10 Menit

Musibah banyak macamnya. Misalnya ada kabar kerabat yang wafat, terkena badai, gempa bumi, banjir dan longsor, atau pun peristiwa menyedihkan lain yang menimpa. Musim pandemi begini, bagaimana jika seandainya peristiwa-peristiwa tersebut terjadi secara bersamaan? Hidup sudah serba terbatas, penghasilan tak menentu, ada kerabat wafat tak bisa melayat, bagaimana rasanya?
Belum lagi, ada kabar 2 menteri yang ditangkap karena korupsi. Satu di antaranya, diketahui telah mengutil dana bantuan sosial. Si Bapak itu, kedapatan mengutil Rp10 ribu dari total Rp300 ribu per harga paket bantuan sembako untuk satu KK. Bantuan sosial tersebut sedianya hendak disalurkan kepada rakyat dalam rangka penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.
Tentu saja, bantuan tersebut sangat dinantikan oleh rakyat. Katakanlah duit Rp300 ribu itu diterima mentahannya secara utuh. Dipakai buat belanja beras, minyak, serta tempe dan tahu, bisa cukup satu bulan sudah syukur. Itu pun KK yang bersangkutan sudah ikut program KB. Belum lagi kebutuhan lain, seperti token listrik, kuota internet untuk sekolah daring, dan sebagainya.
Apa lagi namanya kalau bukan musibah? Sudah pandemi, dikorupsi pula. Musibah bagi kita semua. Selain masih menahan lapar, dingin dan kehujanan, nampaknya kita juga masih harus menahan malu dan kesal.


Usut punya usut, Si Bapak itu telah menerima duit hasil kutilan dana bansos dari dua kali penyaluran di daerah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Rinciannya, Rp12 miliar dari bansos periode pertama. Ditambah duit Rp8,8 miliar dari bansos periode kedua. Hasil kutilan itu pun dibagi-bagi untuk tim pengutil. Berdasarkan penyidikan KPK, Si Bapak itu telah mengantongi duit sebanyak Rp17 miliar.


Itu baru dua kali penyaluran. Tempo mencatat, ada 22,8 juta paket yang telah disalurkan di wilayah Jabodetabek. Bansos disalurkan sebanyak 12 kali sejak April lalu. Dari jumlah angka tersebut, jika satu paket sembako dikutil Rp10 ribu, berapa jumlah duit yang bisa dikutil? Rp228 miliar. Itu baru Jabodetabek. Belum wilayah yang lain. Duit segitu, jika dibelikan cendol-dawet yang limaratusan itu, bisa menenggelamkan bunderan HI!


Hingga gremengan ini ditulis, proses penyidikan masih berjalan. Sementara itu, wacana hukuman mati bagi koruptor dana bencana kembali mengemuka. Pasalnya, Ketua KPK Firli Bahuri, pada April lalu pernah mengancam hukuman mati bagi koruptor dana bantuan Covid-19.


Ancaman tersebut ia sampaikan saat rapat kerja dengan Komisi III DPR RI. Warganet pun mengungkit pernyataan tersebut. Sebagian ada yang ngotot KPK harus membuktikan ancamannya. Sebagian yang lain berpendapat bahwa hukuman mati tidak dapat menyelesaikan kasus korupsi.


Betul, memang, persoalan korupsi tidak bisa diselesaikan dengan hukuman mati. Korupsi, sebagaimana pengertiannya, adalah tindakan penyelewengan atau penyalahgunaan duit negara untuk keperluan pribadi. Selagi masih ada negara, duit negara, aparatur negara, lebih luas lagi yakni adanya hukum, pelanggaran hukum, kekuasaan, penyalahgunaan kekuasaan, dan niat korupsi tentu saja, maka bukan tidak mungkin korupsi akan selalu ada.

Paling tidak, efek jera dari hukuman mati diharapkan dapat membuat koruptor-koruptor lain bertaubat, serta menyirnakan niat para calon koruptor. Momentum ini merupakan panggung bagi KPK untuk membuktikan keseriusannya dalam penanganan kasus korupsi. Setidaknya KPK tidak asal bunyi saat rapat dengan Komisi III DPR RI pada April lalu. Dengan begitu, negara benar-benar serius menegakkan hukum. Tentu saja, itu semua didasarkan pada bukti yang kuat dan instrumen hukum yang memadai.


Sejarah mencatat, penegakan hukum menjadi satu hal yang penting dalam sistem pemerintahan masa lalu. Hal ini berkaitan dengan perbawa penguasa, baik dalam lingkup internal maupun hubungan diplomatik dengan negara-negara sahabat. Persisnya sebelum Indonesia lahir. Kisah Ratu Shima, misalnya, penguasa Pantura yang masyhur itu barangkali bisa dijadikan kaca benggala.

Kisah ini terjadi pada abad ke-7, saat Ratu Shima bertakhta di Kerajaan Kalingga. Suatu kala, seorang pelancong sengaja menaruh sekantong emas di jalanan wilayah kerajaan. Pelancong itu penasaran dengan ketegasan Ratu Shima, penguasa kerajaan Hindu Jawa itu. Singkat cerita, sudah berbulan-bulan lamanya sekantong emas itu masih tetap berada pada posisi awalnya. Para penduduk yang berlalu-lalang tak berani menyentuhnya. Sebab, sebagaimana aturan kerajaan, hukuman bagi pencuri amatlah berat: dihukum mati!
Pangeran Narayana, putera kesayangan Ratu Shima, suatu hari berkeliling wilayah kerajaan. Ia pun melewati jalanan tempat sekantong emas itu diletakkan. Tak sengaja putera mahkota itu menyenggol sekantong emas yang tergeletak. Celakalah nasib Sang Pangeran.
Rakyat pun gempar. Ketegasan Ratu Shima diuji. Padahal Sang Putera Mahkota hanya menyenggol sekantong emas tersebut dengan kakinya. Namun hukum tetaplah hukum yang harus ditegakkan. Sekalipun hanya tersenggol, Pangeran Narayana didakwa telah menyentuh sesuatu yang bukan haknya. Sebagaimana aturan hukum Sang Ratu.


Ratu Shima tetap memutuskan untuk menghukum mati Pangeran Narayana, putera kesayangannya itu. Namun, para pejabat dan keluarga kerajaan segera mencegahnya. Mereka mengajukan banding kepada Sang Ratu, bahwa tersangka hanya menyenggol sekantong emas itu dengan salah satu kakinya, meskipun tidak sengaja. Tetapi, bagi Ratu Shima, hukum harus ditegakkan. Ahirnya Sang Ratu tetap menjatuhkan hukuman kepada anaknya: salah satu kaki Pangeran Narayana dipotong.


Narasi serupa juga dapat kita jumpai pada masa delapan abad kemudian. Persisnya pada abad 15-16 M, ketika Kasultanan Demak Bintara kali pertama menerapkan konstruksi hukum kerajaan. Sumber-sumber tertulis terkait narasi tersebut masih bisa kita baca saat ini antara lain Serat Angger-Angger Suryangalam dan Serat Suryangalam. Kedua manuskrip tersebut disimpan di Perpustakaan Sonobudoyo Yogyakarta dan Perpustakaan Radyapustaka, Surakarta.

Serat Angger-Angger Suryangalam ditulis pada 1507, sedangkan versi salinannya, Serat Suryangalam ditulis pada 1767. Kedua manuskrip tersebut beraksara dan berbahasa Jawa krama berbentuk prosa. Meskipun terpaut jarak tahun yang cukup jauh, namun berdasarkan studi yang pernah dilakukan, kedua manuskrip secara garis besar memuat substansi yang sama. Manuskrip tersebut berisi undang-undang legislasi Kerajaan Demak.


Behrend (1990), seorang pengkaji manuskrip kuno dari University of Auckland pernah mengulas manuskrip tersebut. Serat Angger-Angger Suryangalam, kata Behrend, berisi tata hukum Islam yang bersumber dari kitab Anwar dan Iqna’. Isinya dikatakan sesuai dengan konsep formulasi Pangeran Adipati Ngadilaga, julukan untuk Senapati Jimbun atau Raden Patah, Sultan pertama Demak Bintara. Nuansa fikihnya cukup kuat, didasarkan pada perintah Allah dan sunnah Nabi, serta ditulis dengan perpaduan peristilahan Jawa yang khas. Teks hukum tersebut sebagian juga berisi catatan peradilan di kerajaan Demak.


Manuskrip tersebut antara lain berisi pasal-pasal yang mengatur tentang perniagaan, wakaf, harta temuan, pernikahan, peternakan, hingga perkara pidana seperti pembunuhan, pencurian dan perampokan. Penganggitnya adalah anak Sang Raja sendiri, yakni Raden Arya Trenggono (kelak bertakhta sebagai Raja Demak yang ketiga) yang kala itu masih bertugas sebagai jaksa kerajaan. Kitab hukum itu pun di kemudian hari dijadikan sebagai sumber perundang-undangan oleh Kerajaan Pajang dan Mataram Islam.
Senada dengan Behrend, berdasarkan studi katalog yang dilakukan Nancy Florida (1990), teks Serat Suryangalam diyakini dikarang oleh Raden Patah sendiri. Kendati jarak waktu penyalinannya cukup jauh, namun teks yang terkandung di dalamnya merupakan salinan dari buah karya Raden Patah. Hal ini nampak dari corak kebahasaan dan substansi tekstualnya.


Kajian terbaru Mason C. Hoadlay dalam The Javanese Way of Law (2019) juga menyebut, teks hukum Serat Suryangalam yang digunakan pada masa kerajaan Mataram pada abad ke-18 itu, sekalipun terdapat nuansa Islam di dalamnya, namun tidak serta-merta meninggalkan tradisi sloka. Demikian pula yang terkandung dalam Serat Angger-Angger Suryangalam.


Sloka-sloka itu tak bisa dilepaskan dari tradisi Jawa Kuno era Majapahit, bahkan dari masa sebelumnya. Misalnya teks-teks berbahasa sankserta seperti Mānavadharmaśāstra, Arthaśāstra, Nītiśāstra, dan Mānawaśāstra yang turut mewarnai proses penulisan teks hukum di Nusantara masa silam.

Sloka-sloka tersebut juga mengekspresikan hukum-hukum adat, yang, dalam penyalinannya di masa-masa berikutnya, selalu disertakan oleh sang pujangga. Artinya, teks hukum yang dipakai dan disalin hingga periode Mataram Islam itu (Serat Suryangalam) bisa dibilang merupakan sebuah ikhtiar para pujangga Jawa untuk merangkul ‘kahanan’ di setiap zaman demi terwujudnya keselarasan.


Upaya penegakan hukum Raden Patah yang dianggit dalam Serat Suryangalam bertujuan untuk kesejahteraan negara, prinsip keadilan, dan terwujudnya keselarasan hubungan antara manusia dan bumi yang dipijak. Hanya saja, Serat Suryangalam tidak mengenal kata ‘korupsi’, seperti kelakuan Si Bapak yang pekan lalu menyerahkan diri ke KPK itu. Serat Suryangalam menggunakan istilah maling untuk menyebut tindakan mencuri.

Dilihat dari substansinya, korupsi maupun mencuri merupakan tindakan memperkaya diri sendiri, atau pun tindakan mengambil sesuatu yang bukan haknya untuk dimiliki. Bedanya, si pelaku yang punya kewenangan tertentu dalam tindakannya disebut korupsi. Sedangkan si pelaku yang tidak punya kewenangan tertentu disebut mencuri. Praktiknya, dampak dari tindakan tersebut menimbulkan kerugian terhadap orang maupun sekelompok orang. Pelaku sama-sama mengutil, maling, menggarong—atau apa pun istilahnya—pada sesuatu yang bukan haknya.


Spesifikasi maling dalam Serat Suryangalam bermacam-macam. Hukuman yang dikenakan juga begitu. Ada yang dihukum denda, dipenjara, dipotong anggota badannya, dibuang, bahkan dihukum mati. Beberapa istilah maling dalam Serat Suryangalam yakni maling pamata, maling kara, maling kenya, maling utama, maling kawanguran, maling temon, astacorah, maling kara, dan banyak lagi.


Maling pamata, misalnya, diartikan sebagai tindakan seseorang yang mencuri di sebuah rumah pada malam hari. Hukumannya didenda oleh si empunya rumah. Demikian juga dengan maling utama. Bedanya, seseorang itu juga menghajar si empunya rumah. Hukuman yang dijatuhkan untuk maling utama adalah denda. Tetapi, tidak semua bentuk hukuman dan denda disebutkan secara pasti. Kepastian tersebut dijatuhkan oleh raja dan dewan jaksa di pengadilan.


Namun demikian, pada bagian berikutnya, ada pasal khusus yang mencatat perihal tingkah laku dan nominal denda yang kudu dibayar oleh pencuri. Contoh kasusnya pun spesifik. Misalnya ada pencuri yang bersembunyi di dalam rumah dan hendak membunuh, maka ia didenda 8000. Kasus lain, apabila ada perempuan mencuri, ia dikenai denda 4000. Lebih lanjut, jika ia mengambil keris dan menggunakannya untuk membunuh, ia didenda 8000. Hanya saja, cukup sulit mengetahui perbandingan nominal angka denda tersebut dengan mata uang sekarang.

Ada juga ketentuan bagi kasus pencurian yang dianggap berat. Tersangka yang bersangkutan, menurut Serat Suryangalam, dikenai hukuman potong tangan (kisas). Tetapi, tolok ukur berat dan ringannya sebuah kasus pencurian tidak disebutkan secara pasti. Kerajaan juga berkomitmen menegakkan hukum yang telah dibuat. Tak peduli si pelaku adalah seorang laki-laki, perempuan, pejabat maupun bangsawan. Semuanya diperlakukan sama di depan hukum. Sebagaimana digambarkan dalam naratif berikut ini.


Yen ana wong memaling kalebu kisas, kisasana tugelen tangane tengen. Yen kongsi genep pindho tugelen kang tangane kiwa. Yen genep ping telu tugelen sukune tengen. Yen geneping pat tugelen sukune kiwa. Ikilah ujare ukum. Ben wong lanang becik wong wadon tugelen tangane ukume maling. Sanajan ingaran ana maling mati angambil donya sasandhangan uripe wong malaku ing wengi yena upeti kang ora agawa obor. Sanadyan pangulu sanadyan mantria, prayia umume maling lan trapena parentahira. (Serat Suryangalam, 31)


Artinya:
Apabila ada orang yang mencuri termasuk kategori kisas, kisaslah potonglah tangan kanannya. Apabila sampai kedua kalinya maka potonglah tangan kirinya. Apabila sampai ketiga kalinya maka potonglah kaki kirinya. Apabila sampai keempat kalinya potonglah kaki kirinya. Itulah bunyi hukum. Baik laki-laki maupun perempuan, potonglah tangannya (sebagai) hukuman (bagi) pencuri. Meskipun, istilah bagi orang yang mencuri harta benda itu (kemudian) mati di dunia, hidupnya ibarat berjalan di malam hari tanpa cahaya obor. Meskipun pengulu, mantri, priyayi, apabila mencuri tetap dikenakan hukuman.


Lain halnya dengan negara Si Bapak yang secara khusus mengatur kejahatan korupsi. Aturan tersebut ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1991 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). UU ini di kemudian hari diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Bunyi ayat 2 pasal tersebut, jika korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu bisa dijatuhi hukuman mati. Subjek hukumnya pun jelas, ditujukan kepada siapa saja. Tidak terbatas kepada pejabat publik maupun swasta, tetapi juga perorangan.


Namun demikian, setelah sebuah keputusan hukum dijatuhkan kepada tersangka, acap kali narasi ‘pembelaan’ atas nama Hak Asasi Manusia (HAM) mengemuka. Apalagi jika tersangka yang bersangkutan dijatuhi hukuman mati. Alih-alih menyebutnya sebagai komitmen dan ketegasan penegakan hukum, narasi-narasi tentang kemanusiaan kerap kali dikumandangkan. Pertanyaannya, HAM siapakah yang dilindungi oleh aturan hukum di Indonesia? Jutaan orang yang haknya telah dikutil, ataukah segelintir orang yang telah mengutilnya?


Entahlah. Coba tanyakan kepada Senapati Jinbun, atau Ratu Shima.



Taufiq Hakim

Penulis

sajjanacarita@gmail.com

eyJtYXBfb3B0aW9ucyI6eyJjZW50ZXJfbGF0IjoiLTcuODA1MTM1NjcxOTUxNTUzIiwiY2VudGVyX2xuZyI6IjExMC4zNjQyMTM4Mjg3MzQ2NiIsInpvb20iOjEwLCJtYXBfdHlwZV9pZCI6IlJPQURNQVAiLCJmaXRfYm91bmRzIjp0cnVlLCJkcmFnZ2FibGUiOnRydWUsInNjcm9sbF93aGVlbCI6dHJ1ZSwiZGlzcGxheV80NV9pbWFnZXJ5IjoiIiwibWFya2VyX2RlZmF1bHRfaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL1wvZGVmYXVsdF9tYXJrZXIucG5nIiwiaW5mb3dpbmRvd19zZXR0aW5nIjoiPGRpdiBjbGFzcz1cImZjLWl0ZW0tYm94IGZjLWl0ZW1jb250ZW50LXBhZGRpbmcgXCI+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS10aXRsZVwiPnttYXJrZXJfdGl0bGV9IDxzcGFuIGNsYXNzPVwiZmMtYmFkZ2UgaW5mb1wiPnttYXJrZXJfY2F0ZWdvcnl9PFwvc3Bhbj48XC9kaXY+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1jb250ZW50IGZjLWl0ZW0tYm9keS10ZXh0LWNvbG9yXCI+XG48ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1mZWF0dXJlZCBmYy1sZWZ0IGZjLWl0ZW0tdG9wX3NwYWNlXCI+XG4gICAgICAgICAgICB7bWFya2VyX2ltYWdlfVxuICAgICAgICA8XC9kaXY+XG48cD4gICAgICAgIHttYXJrZXJfbWVzc2FnZX1cbiAgICA8XC9wPjxcL2Rpdj5cbjxhZGRyZXNzIGNsYXNzPVwiZmMtdGV4dFwiPnttYXJrZXJfYWRkcmVzc308XC9hZGRyZXNzPlxuPFwvZGl2PlxuIiwiaW5mb3dpbmRvd19ib3VuY2VfYW5pbWF0aW9uIjoiY2xpY2siLCJpbmZvd2luZG93X2Ryb3BfYW5pbWF0aW9uIjpmYWxzZSwiY2xvc2VfaW5mb3dpbmRvd19vbl9tYXBfY2xpY2siOmZhbHNlLCJpbmZvd2luZG93X3NraW4iOnsibmFtZSI6ImRlZmF1bHQiLCJ0eXBlIjoiaW5mb3dpbmRvdyIsInNvdXJjZWNvZGUiOiI8ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1ib3ggZmMtaXRlbWNvbnRlbnQtcGFkZGluZyBcIj5cclxuICAgIDxkaXYgY2xhc3M9XCJmYy1pdGVtLXRpdGxlXCI+e21hcmtlcl90aXRsZX0gPHNwYW4gY2xhc3M9XCJmYy1iYWRnZSBpbmZvXCI+e21hcmtlcl9jYXRlZ29yeX08XC9zcGFuPjxcL2Rpdj5cclxuICAgIDxkaXYgY2xhc3M9XCJmYy1pdGVtLWNvbnRlbnQgZmMtaXRlbS1ib2R5LXRleHQtY29sb3JcIj5cclxuICAgICAgICA8ZGl2IGNsYXNzPVwiZmMtaXRlbS1mZWF0dXJlZCBmYy1sZWZ0IGZjLWl0ZW0tdG9wX3NwYWNlXCI+XHJcbiAgICAgICAgICAgIHttYXJrZXJfaW1hZ2V9XHJcbiAgICAgICAgPFwvZGl2PlxyXG4gICAgICAgIHttYXJrZXJfbWVzc2FnZX1cclxuICAgIDxcL2Rpdj5cclxuICAgIDxhZGRyZXNzIGNsYXNzPVwiZmMtdGV4dFwiPnttYXJrZXJfYWRkcmVzc308XC9hZGRyZXNzPlxyXG48XC9kaXY+In0sImRlZmF1bHRfaW5mb3dpbmRvd19vcGVuIjpmYWxzZSwiaW5mb3dpbmRvd19vcGVuX2V2ZW50IjoiY2xpY2siLCJmdWxsX3NjcmVlbl9jb250cm9sIjpmYWxzZSwic2VhcmNoX2NvbnRyb2wiOnRydWUsInpvb21fY29udHJvbCI6dHJ1ZSwibWFwX3R5cGVfY29udHJvbCI6ZmFsc2UsInN0cmVldF92aWV3X2NvbnRyb2wiOmZhbHNlLCJmdWxsX3NjcmVlbl9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJzZWFyY2hfY29udHJvbF9wb3NpdGlvbiI6IlRPUF9MRUZUIiwiem9vbV9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfdHlwZV9jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfdHlwZV9jb250cm9sX3N0eWxlIjoiSE9SSVpPTlRBTF9CQVIiLCJzdHJlZXRfdmlld19jb250cm9sX3Bvc2l0aW9uIjoiVE9QX0xFRlQiLCJtYXBfY29udHJvbCI6dHJ1ZSwibWFwX2NvbnRyb2xfc2V0dGluZ3MiOmZhbHNlLCJtYXBfem9vbV9hZnRlcl9zZWFyY2giOjYsIndpZHRoIjoiIiwiaGVpZ2h0IjoiMzMwIn0sInBsYWNlcyI6W3siaWQiOiIxIiwidGl0bGUiOiJLZXJhdG9uIiwiYWRkcmVzcyI6IktlcmF0b24gSm9namEiLCJzb3VyY2UiOiJtYW51YWwiLCJjb250ZW50IjoiS2VyYXRvbiBOZ2F5b2d5YWthcnRhIEhhZGluaW5ncmF0IGF0YXUgS2VyYXRvbiBZb2d5YWthcnRhIG1lcnVwYWthbiBpc3RhbmEgcmVzbWkgS2VzdWx0YW5hbiBOZ2F5b2d5YWthcnRhIEhhZGluaW5ncmF0IHlhbmcga2luaSBiZXJsb2thc2kgZGkgS290YSBZb2d5YWthcnRhLiBLZXJhdG9uIGluaSBkaWRpcmlrYW4gb2xlaCBTcmkgU3VsdGFuIEhhbWVuZ2t1YnV3YW5hIEkgcGFkYSB0YWh1biAxNzU1IHNlYmFnYWkgSXN0YW5hXC9LZXJhdG9uIFlvZ3lha2FydGEgeWFuZyBiYXJ1IGJlcmRpcmkgYWtpYmF0IHBlcnBlY2FoYW4gTWF0YXJhbSBJc2xhbSBkZW5nYW4gYWRhbnlhIFBlcmphbmppYW4gR2l5YW50aS4gS2VyYXRvbiBpbmkgYWRhbGFoIHBlY2FoYW4gZGFyaSBLZXJhdG9uIFN1cmFrYXJ0YSBIYWRpbmluZ3JhdCBkYXJpIE1hdGFyYW0gSXNsYW0gU3VyYWthcnRhIChLZXJhamFhbiBTdXJha2FydGEpLiBTZWhpbmdnYSBkaW5hc3RpIE1hdGFyYW0gZGl0ZXJ1c2thbiBvbGVoIDIgS2VyYWphYW4geWFrbmkgS2VzdWx0YW5hbiBZb2d5YWthcnRhIGRhbiBLZXN1bmFuYW4gU3VyYWthcnRhLiBUb3RhbCBsdWFzIHdpbGF5YWgga2VzZWx1cnVoYW4ga2VyYXRvbiB5b2d5YWthcnRhIG1lbmNhcGFpIDE0NCBoZWt0YXIsIHlha25pIG1lbGlwdXRpIHNlbHVydWggYXJlYSBkaSBkYWxhbSBiZW50ZW5nIEJhbHV3YXJ0aSwgYWx1bi1hbHVuIExvciwgYWx1bi1hbHVuIEtpZHVsLCBnYXB1cmEgR2xhZGFrLCBkYW4ga29tcGxla3MgTWFzamlkIEdlZGhlIFlvZ3lha2FydGEuIFNlbWVudGFyYSBsdWFzIGRhcmkga2VkaGF0b24gKGludGkga2VyYXRvbikgbWVuY2FwYWkgMTMgaGVrdGFyLiAiLCJsb2NhdGlvbiI6eyJpY29uIjoiaHR0cHM6XC9cL2phbmdrYWguaWRcL3dwLWNvbnRlbnRcL3BsdWdpbnNcL3dwLWdvb2dsZS1tYXAtcGx1Z2luXC9hc3NldHNcL2ltYWdlc1wvXC9kZWZhdWx0X21hcmtlci5wbmciLCJsYXQiOiItNy44MDUxMzU2NzE5NTE1NTMiLCJsbmciOiIxMTAuMzY0MjEzODI4NzM0NjYiLCJjaXR5IjoiWW9neWFrYXJ0YSIsInN0YXRlIjoiRGFlcmFoIElzdGltZXdhIFlvZ3lha2FydGEiLCJjb3VudHJ5IjoiSW5kb25lc2lhIiwib25jbGlja19hY3Rpb24iOiJtYXJrZXIiLCJyZWRpcmVjdF9jdXN0b21fbGluayI6IiIsIm1hcmtlcl9pbWFnZSI6IjxkaXYgY2xhc3M9J2ZjLWZlYXR1cmUtaW1nJz48aW1nIGxvYWRpbmc9J2xhenknIGRlY29kaW5nPSdhc3luYycgYWx0PSdLZXJhdG9uJyBzcmM9J2h0dHBzOlwvXC91cGxvYWQud2lraW1lZGlhLm9yZ1wvd2lraXBlZGlhXC9jb21tb25zXC90aHVtYlwvM1wvMzNcL0tyYXRvbl9Zb2d5YWthcnRhX1BhZ2VsYXJhbi5qcGdcLzEwMjRweC1LcmF0b25fWW9neWFrYXJ0YV9QYWdlbGFyYW4uanBnJyBjbGFzcz0nd3BnbXBfbWFya2VyX2ltYWdlIGZjLWl0ZW0tZmVhdHVyZWRfaW1hZ2UgZmMtaXRlbS1sYXJnZScgXC8+PFwvZGl2PiIsIm9wZW5fbmV3X3RhYiI6InllcyIsInBvc3RhbF9jb2RlIjoiIiwiZHJhZ2dhYmxlIjpmYWxzZSwiaW5mb3dpbmRvd19kZWZhdWx0X29wZW4iOmZhbHNlLCJhbmltYXRpb24iOiJCT1VOQ0UiLCJpbmZvd2luZG93X2Rpc2FibGUiOnRydWUsInpvb20iOjUsImV4dHJhX2ZpZWxkcyI6IiJ9LCJjYXRlZ29yaWVzIjpbeyJpZCI6IiIsIm5hbWUiOiIiLCJ0eXBlIjoiY2F0ZWdvcnkiLCJleHRlbnNpb25fZmllbGRzIjpbXSwiaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL1wvZGVmYXVsdF9tYXJrZXIucG5nIn1dLCJjdXN0b21fZmlsdGVycyI6IiJ9XSwic3R5bGVzIjoiIiwibGlzdGluZyI6IiIsIm1hcmtlcl9jbHVzdGVyIjp7ImdyaWQiOiIxNSIsIm1heF96b29tIjoiMSIsImltYWdlX3BhdGgiOiJodHRwczpcL1wvamFuZ2thaC5pZFwvd3AtY29udGVudFwvcGx1Z2luc1wvd3AtZ29vZ2xlLW1hcC1wbHVnaW5cL2Fzc2V0c1wvaW1hZ2VzXC9tIiwiaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL2NsdXN0ZXJcLzQucG5nIiwiaG92ZXJfaWNvbiI6Imh0dHBzOlwvXC9qYW5na2FoLmlkXC93cC1jb250ZW50XC9wbHVnaW5zXC93cC1nb29nbGUtbWFwLXBsdWdpblwvYXNzZXRzXC9pbWFnZXNcL2NsdXN0ZXJcLzQucG5nIiwiYXBwbHlfc3R5bGUiOmZhbHNlLCJtYXJrZXJfem9vbV9sZXZlbCI6IjEifSwibWFwX3Byb3BlcnR5Ijp7Im1hcF9pZCI6IjEiLCJkZWJ1Z19tb2RlIjpmYWxzZX19

Daksinargastuti, Menyenandungkan Kembali Syair-syair Kuno Yogyakarta

Daksinargastuti merupakan kegiatan Komunitas Jangkah Nusantara yang meliputi pemetaan, preservasi naskah kuno, bengkel sastra-aksara dan macapat, serta alih aksara manuskrip.
Lihat Rekaman Baca Pengantar
poster diskusi